24 Oct

Ulasan Film: “Purnama di Pesisir”

Bagi sebagian orang, purnama berarti keindahan. Memandangi bulan yang menampakkan wujudnya secara penuh, membulat, dan bersinar benderang adalah kenikmatan dari Tuhan yang sulit kamu sangkal. Ini adalah salah satu fenomena alam menarik nan memikat hati yang kehadirannya kerap kali dinanti-nanti oleh beragam lapisan masyarakat di berbagai penjuru dunia … pengecualian untuk warga di pesisir pantai, tentu saja.

Bagi mereka, purnama berarti ancaman. Bukan sekadar membawa keanggunan yang kemunculannya sepatutnya dirayakan secara suka cita, tetapi juga menggiring malapetaka yang keberadaanya butuh diantisipasi secara serius. Sekilas, terdengar mengada-ada sekaligus berlebih-lebihan. Tapi, kalau kita mengingat kembali, bulan purnama faktanya berkontribusi besar terhadap pasangnya air laut yang lalu menciptakan gelombang ombak besar, mengancam keberadaan masyarakat yang bermukim di rumah-rumah seputaran pantai. Kondisi semacam inilah yang menyebabkan warga pesisir pantai bukan termasuk ke dalam golongan penyambut datangnya bulan purnama.

Fakta unik seputar dampak bulan purnama terhadap kondisi masyarakat di sekitar pesisir pantai ini lantas diimplementasikan oleh Chairun Nissa ke dalam film pendek arahannya yang digarap sebagai bagian dari tugas akhirnya di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta berjudul “Purnama di Pesisir”. Cetak biru gagasan ceritanya sendiri telah terbentuk sejak tahun 2006, namun kesempatan eksekusi baru menghampirinya pada tahun 2009. Untuk mematangkan ide cerita yang telah dikantonginya tersebut, maka Chairun Nissa – atau akrab disapa Mbak Ilun – beserta tim melakukan riset yang menghabiskan waktu sekitar 4 bulan. Perjuangan yang tidak main-main ini pun turut dibarengi bujet produksi yang juga tidak main-main besarnya menurut ukuran film pendek, yakni sebesar kurang lebih Rp 50 juta! Sebagian besar dana dialokasikan untuk penggunaan pita film seluloid (35mm) – sesuatu yang tidak murah – yang dipersyaratkan bagi film berdurasi di bawah 20 menit.

Beruntung, hasil manis dituai oleh Chairun Nissa dari “Purnama di Pesisir”. Selain berkesempatan untuk bertarung sebagai salah satu peraih nominasi kategori Film Pendek di Festival Film Indonesia tahun 2009, film ini pun mendapat kehormatan tampil di International Film Festival Rotterdam, Indonesian Film Festival yang berlangsung di Australia, dan Roma Independent Film Festival yang membuahkannya penghargaan Special Mention. Tentu, “Purnama di Pesisir” ini layak memperoleh penghargaan dari beragam festival film semacam ini. Selain paparan kisahnya terbilang berbeda – bahkan nyaris jarang (atau bahkan tidak pernah) disentuh oleh sineas film dalam negeri – isu yang diapungkannya pun menarik sekaligus mengikat, memberikan rasa penasaran kepada penonton mengenai apa yang sebetulnya terjadi di gubuk kecil yang menjadi sumber permasalahan utama bagi para karakter di filmnya.

Ya, warga di Kampung Bandar sedikit banyak terusik dengan keberadaan rumah Nirma (Desca Intan Camila), seorang perempuan berusia 8 tahun, yang berada di tepi laut. Pasalnya, para warga yang tengah bersiap-siap membangun sebuah tanggul penahan ombak untuk mengatasi datangnya air pasang saat purnama datang menganggap rumah milik Nirma yang berada di lokasi proyek sebagai penghambat. Salah seorang preman (Ence Bagus) yang terlibat dalam proyek ini berusaha mencari cara menggusur rumah tersebut. Sebelum menjatuhkan keputusan, dia terlebih dahulu menanti kedatangan ayah Nirma yang seorang nelayan dan telah lama tidak terlihat batang hidungnya. Menyadari posisinya semakin terhimpit, Nirma pun mati-matian mempertahankan keberadaan rumahnya tersebut sekaligus menutup rapat-rapat informasi seputar sang ayah yang tanpa dinyana-nyana terbilang mengejutkan.

Menilai dari sebatas lapisan luar, “Purnama di Pesisir” seperti hanya bentuk kritik sosial dari si pembuat film terhadap penggusuran lahan yang semena-mena di pesisir pantai. Memang, sebetulnya itulah gagasan utama yang dikupas dalam film berdurasi 16 menit ini. Lalu, saat penonton semakin menyelam ke dalam, ternyata gusur-menggusur bukanlah satu-satunya yang hendak ingin diutarakannya lewat “Purnama di Pesisir”. Turut terdeteksi pula soal kehilangan dan seperti yang telah disinggung di paragraf-paragraf awal, ancaman bulan purnama – yang dianggap cantik bagi sebagian kalangan – bagi warga di pesisir pantai. Gagasan-gagasan ini lantas dikembangkan oleh Damas Cendikia selaku penulis skenario menjadi sebuah konflik besar yang menarik dan diterjemahkan oleh Chairun Nissa menjadi bahasa gambar yang mengikat. Penonton berhasil dibuat peduli untuk berpihak kepada tokoh utama dalam film sekaligus mencari kebenaran sesungguhnya dari misteri yang melingkupi Nirma.

Berbincang soal kehilangan, “Purnama di Pesisir” bukan hanya soal Nirma yang kehilangan sebuah rumah tempatnya berlindung dari keganasan alam, tetapi juga Nirma yang kehilangan sosok orang tua yang menghilang entah kemana – nasib sang ayah terungkap di akhir film – serta cinta kasih, dan sang preman bersama para warga Kampung Bandar yang kehilangan sisi manusiawinya hingga tega menggusur rumah anak kecil polos tanpa pernah ditampakkan usaha mereka untuk mencari solusi agar Nirma tak luntang-lantung tanpa kejelasan.

Sebuah shot di penghujung film yang memperlihatkan proyek berjalan sesuai rencana, Nirma berdiri sendirian ditemani bonekanya, telah menyimpulkan bahwa tak seorang pun peduli kehilangan bertubi-tubi yang diterima oleh Nirma. Menjadi lebih ironis, saat satu-satunya orang yang bersedia mengulurkan tangan untuk memberi bantuan kepada Nirma malah memiliki gangguan jiwa sementara mereka yang menyebut dirinya waras justru menutup mata dan telinga demi tercapainya kepentingan masing-masing. Menyesakkan.

Ingin menonton film “Purnama di Pesisir” di Kineria? Silakan kunjungi tautan ini.