31 Oct

Review : Shelter

Jika memperbincangkan tentang film pendek di Indonesia dewasa ini, rasanya kok terasa ada yang kurang kalau tidak menyebut nama Ismail Basbeth. Sineas asal Yogyakarta ini mendapatkan sorotan lantaran karya-karyanya yang telah berkeliling ke berbagai festival film tingkat internasional ini dipresentasikan secara unik, bergaya, dan berani. Ada pula sesuatu yang khas dalam gaya bertutur di dalam setiap karyanya. Mengingat tidak adanya aturan yang mengikat di dunia film pendek – kerap diasosiasikan sebagai medium penuh kemerdekaan, maka Ismail Basbeth pun kerap melakukan eksperimen sehingga Anda tidak akan menemukan pengulangan cara menyajikan hidangan di karyanya yang berikutnya. Apa yang terjadi di film berikutnya adalah bentuk dari penyempurnaan. Itu dilakukannya dalam ‘Shelter’, salah satu karyanya yang tersohor dan banyak diperbincangkan, yang menyempurnakan sisi artistik dari ‘Hide and Sleep’ serta ‘Harry van Yogya’.

Apa yang dicelotehkan oleh si pembuat film di dalam ‘Shelter’? Itu yang harus Anda kulik sendiri. Sinopsis resmi yang dipublikasikan sama sekali tidak membantu, hanya sekadar berbunyi, “cintailah seseorang yang sedang bersamamu, selagi masih ada waktu.” Merentang hingga 15 menit, film memang tidak dibekali oleh plot berlapis-lapis atau minimal hadir dengan secuil konflik yang

menimbulkan rasa penasaran. Terdiri dari satu shot saja, Ismail Basbeth membawa kita ke dalam sebuah bus dengan hanya ada dua penumpang, seorang lelaki dan seorang perempuan, pada suatu larut malam (atau setidaknya itu yang kita ketahui). Sang lelaki menyandarkan kepalanya ke sang perempuan yang tampak kelelahan. Tanpa diberi aba-aba, secara mendadak lelaki itu menegakkan tubuhnya dan mulai mencumbu sang perempuan. Yang mengherankan dan tampak ganjil di sini, perempuan tersebut tidak memberikan respon apapun. Hanya air mukanya yang menyiratkan kepada penonton bahwa pikirannya sedang tidak tenang. Apakah yang sesungguhnya terjadi di sini?

Ismail Basbeth sengaja tidak menebarkan informasi sama sekali kala menggulirkan ‘Shelter’, bahkan termasuk informasi paling dasar sekalipun. Siapakah kedua orang di dalam bus ini? Apakah mereka adalah sepasang kekasih, suami istri, pasangan selingkuh, atau hanya dua orang asing yang tidak saling mengenal? Dari manakah mereka di larut malam ini; makan malam, berasyik masyuk di suatu tempat, atau hanya pulang kerja? Lalu kemanakah tujuan mereka; rumah, warung, hotel, atau tempat hiburan malam? Dan ada keterkaitan apa antara judul dengan adegan yang senantiasa dipenuhi oleh grepe-grepe manis ini? Ini tak pernah ditebar oleh si pembuat film pada menit-menit awal film yang biasanya dimanfaatkan oleh sineas kebanyakan sebagai momen perkenalan terhadap para tokoh dan latar belakang.  Imajinasi penonton yang cenderung liar dan dipenuhi oleh prasangka pun dibebaskan untuk bermain-main, melayang-layang, dan menerka-nerka nyaris sepanjang film.

‘Shelter’ menjadi terasa unik, bergaya, dan berani bukan hanya lantaran jalinan pengisahannya yang tidak biasa dan cenderung ‘berkabut’, tetapi juga cara Ismail Basbeth mempresentasikannya. Hampir sepanjang durasi film, yang dilihat oleh penonton hanyalah pengulangan, pengulangan, dan pengulangan dalam satu shot tanpa putus. Seolah ditempatkan sebagai salah satu penumpang yang kebosanan di bis yang nyaris kosong tersebut yang tengah melihat pasangan di bangku belakang tengah bermesraan. Dari sang lelaki merebahkan tubuh, menegakkan tubuh, hingga meraba-raba tubuh sang perempuan. Adegan tersebut terus diulang-ulang hingga bus berhenti di suatu tempat. Yang menyeruak pertama kali di pikiran melihat adegan ini adalah sesuatu yang tidak pantas. Tercium aroma penghakiman berlandaskan moral dan norma terhadap suatu tindakan yang menjurus ke aktifitas seksual. Ya, seperti yang tertulis di paragraf sebelumnya, imajinasi yang bukan-bukan pun turut terpancing. Apakah ini niatan dari si pembuat film?

Ya, itu jelas. Lantaran menyimak sesuatu yang akar permasalahannya masih berkabut, kita pun terpaksa mengeluarkan sejumlah tuduhan terhadap pasangan mesum tersebut agar tidak ‘tersesat’. Di sinilah Ismail Basbeth seolah ingin menyentil masyarakat kebanyakan secara halus yang dengan mudahnya memberikan asumsi meski hanya mengetahui sekelumit (atau malah tidak tahu sama sekali) dari apa yang sebenarnya terjadi. Berkaca dan menyadari bahwa diri ini diliputi tafsiran-tafsiran negatif yang ngeres tak tertahankan, ada rasa sakit tertampar, malu, geli serta menyesal telah berpikir yang tidak-tidak usai Ismail Basbeth memaparkan fakta mengenai maksud dan tujuan dari adegan grepe-grepe tak berkesudahan tersebut melalui sebuah konklusi yang singkat namun mengena. Apakah Anda juga mengalami hal yang sama dengan saya?

Sekilas, ‘Shelter’ memang tampak menjemukan terlebih kala adegan pengulangan-pengulangan tersebut terjadi tak ada sokongan cerita yang kuat hingga melahirkan pertanyaan “apa motif yang mendasari adegan ini?” dan membuat dahi mengerut. Namun harus diakui cara yang ditempuh oleh Ismail Basbeth ini terbilang orisinil di dunia film pendek Indonesia. Bukan perkara mudah untuk menyajikan sebuah film yang pesannya tergolong cukup menonjok hanya lewat satu shot panjang tanpa putus di ruang gerak serba terbatas dengan dua aktor yang melakukan gerakan yang sama berulang kali tanpa dilengkapi dialog hampir di sepanjang film. Sebuah temuan gaya berkisah yang sungguh menarik. Rasa-rasanya layak untuk menempatkan ‘Shelter’ sebagai salah satu film pendek Indonesia yang penting dan patut disimak.