26 Mar

Ulasan Film “The Unlovables”

Film tanpa komunikasi verbal langsung ini mungkin saja tampak terinspirasi dengan novel karangan Junot Diaz berjudul The Brief Wondrous Life of Oscar Wao. Novel yang pula meraih Pulitzer Award atau penghargaan tertinggi dalam bidang jurnalisme di Amerika Serikat untuk kategori fiksi pada tahun 2008.

Priesnanda Dwisatria, sutradara film ini, sempat memberi “mimbar” untuk novel tersebut. Ya, tepat di fragmen ketika si tokoh laki-laki terusik cumbu rayu satu pasangan yang sedang kasmaran di sebuah areal kampus. Hal yang saling memunggungi antara tabiat si tokoh dan realita lapangan.

Jika dalam The Brief Wondrous Life of Oscar Wao, Diaz menjabarkan bahwa Read More

31 Oct

Review : Shelter

Jika memperbincangkan tentang film pendek di Indonesia dewasa ini, rasanya kok terasa ada yang kurang kalau tidak menyebut nama Ismail Basbeth. Sineas asal Yogyakarta ini mendapatkan sorotan lantaran karya-karyanya yang telah berkeliling ke berbagai festival film tingkat internasional ini dipresentasikan secara unik, bergaya, dan berani. Ada pula sesuatu yang khas dalam gaya bertutur di dalam setiap karyanya. Mengingat tidak adanya aturan yang mengikat di dunia film pendek – kerap diasosiasikan sebagai medium penuh kemerdekaan, maka Ismail Basbeth pun kerap melakukan eksperimen sehingga Anda tidak akan menemukan pengulangan cara menyajikan hidangan di karyanya yang berikutnya. Apa yang terjadi di film berikutnya adalah bentuk dari penyempurnaan. Itu dilakukannya dalam ‘Shelter’, salah satu karyanya yang tersohor dan banyak diperbincangkan, yang menyempurnakan sisi artistik dari ‘Hide and Sleep’ serta ‘Harry van Yogya’.

Apa yang dicelotehkan oleh si pembuat film di dalam ‘Shelter’? Itu yang harus Anda kulik sendiri. Sinopsis resmi yang dipublikasikan sama sekali tidak membantu, hanya sekadar berbunyi, “cintailah seseorang yang sedang bersamamu, selagi masih ada waktu.” Merentang hingga 15 menit, film memang Read More

24 Oct

Ulasan Film: “Purnama di Pesisir”

Bagi sebagian orang, purnama berarti keindahan. Memandangi bulan yang menampakkan wujudnya secara penuh, membulat, dan bersinar benderang adalah kenikmatan dari Tuhan yang sulit kamu sangkal. Ini adalah salah satu fenomena alam menarik nan memikat hati yang kehadirannya kerap kali dinanti-nanti oleh beragam lapisan masyarakat di berbagai penjuru dunia … pengecualian untuk warga di pesisir pantai, tentu saja.

Bagi mereka, purnama berarti ancaman. Bukan sekadar membawa keanggunan yang kemunculannya sepatutnya dirayakan secara suka cita, tetapi juga menggiring malapetaka yang keberadaanya butuh diantisipasi secara serius. Sekilas, terdengar mengada-ada sekaligus berlebih-lebihan. Tapi, kalau kita mengingat kembali, bulan purnama faktanya berkontribusi besar terhadap pasangnya air laut yang lalu menciptakan gelombang ombak besar, mengancam keberadaan masyarakat yang bermukim di rumah-rumah seputaran pantai. Kondisi semacam inilah yang menyebabkan warga pesisir pantai bukan termasuk ke dalam golongan penyambut datangnya bulan purnama.

Fakta unik seputar dampak bulan purnama terhadap kondisi masyarakat di sekitar pesisir pantai ini lantas diimplementasikan oleh Chairun Nissa ke dalam film pendek arahannya yang digarap sebagai bagian dari tugas akhirnya di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta berjudul “Purnama di Pesisir”. Read More

23 Sep

Ulasan Film: “Indo Nesia?”

Di semesta film pendek pelajar Indonesia, nasionalisme adalah salah satu dari sedikit tema yang begitu digandrungi untuk diracik berulang-ulang. Paparan kisahnya pun seringkali tidak jauh berbeda antara satu dengan lainnya. Memiliki keterkaitan erat dengan sekolah, Sang Saka Merah Putih, serta upacara yang dikombinasikan bersama wejangan-wejangan (maunya) bijak, narasi puitis menghanyutkan, dan orasi nasionalistik.

Secara langsung, film meminta penontonnya – target utama adalah pelajar SMA – menghargai bumi pertiwi ini melalui cara yang sederhana. Apapun masalah yang diaplikasikan oleh si pembuat film pada tokoh-tokoh rekaannya, solusi terbaik yang bisa diberikan adalah memberi penghormatan kepada bendera merah putih yang tengah berkibar-kibar membanggakan di atas tiang. Read More

23 Sep

Ulasan Film: “Lawuh Boled”

Di era ketika teknologi informasi telah merajalela begitu cepat, kenyataan bahwa angka penduduk yang mengalami buta huruf masih terbilang tinggi adalah suatu perkara mengejutkan sekaligus tamparan keras bagi pemerintah. Berdasarkan data statistik yang dirilis oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) beberapa bulan silam, setidaknya 4,2 persen dari jumlah penduduk Indonesia belum melek huruf. Bahkan, tak perlu menengok jauh-jauh ke Papua, Nusa Tenggara Timur, atau Kalimantan, kasus ini bisa pula ditemukan secara mudah di Jawa. Akses serba mudah tidak menjadi alasan pendidikan dapat serta merta berkembang dengan mudahnya, terlebih mendapati fakta bahwa masyarakat di Jawa Barat, Jawa Tengah, maupun Jawa Timur, masih dihadang oleh masalah ini. Ini adalah sebuah pekerjaan rumah yang harus dituntaskan segera oleh Kemendikbud, mereduksi jumlah masyarakat buta huruf sampai sekecil-kecilnya.

Fenomena memilukan ini lantas ditangkap oleh seorang siswi SMK Negeri 1 Rembang Purbalingga, Misyatun, melalui film arahannya yang sarat akan kritik, “Lawuh Boled”. Misyatun bersama konco-konconya dari Pedati Film memperlihatkan bahwa buta huruf masih menjadi salah satu permasalahan yang menghinggapi negeri ini. Read More

22 Sep

Ulasan Film: “Valse Clandestine”

Apa yang pertama kali terlintas di benak Anda saat mendengar kata “Paris”? Bisa jadi, jika itu terkait ungkapan-ungkapan kekaguman, maka tidaklah jauh-jauh dari indah, cantik, hingga mengagumkan. Banyak orang bahkan berani melabelinya sebagai surga dunia karena Anda bisa menemukan apapun – dalam hal ini busana, kuliner, wisata sejarah, serta sinema – dalam kualitas amat prima. Bahkan ada pula yang menganggapnya terbaik dari terbaik di dunia. Sungguh mengesankan, bukan? Tetapi lebih dari itu, ada satu hal yang kerap melekat erat dengan Paris … kota yang romantis. Menyimpan banyak sudut, ruang, dan lokasi yang terasa begitu tepat dipergunakan untuk menciptakan kenangan manis bersama orang terkasih. Berjalan-jalan seraya bergandengan tangan, bercanda ria, mengenang perjumpaan di masa silam, bertukar kisah, dan sebagainya dengan tujuan utama “quality time” – mempererat hubungan di sela-sela waktu senggang. Persis seperti yang terjadi di salah satu film romantis favorit penulis, “Before Sunset”. Ah!

Akan tetapi, di balik tampilannya yang begitu menggiurkan dengan bangunan-bangunan megah macam Eiffel, Notre Dame, atau Louvre, maupun kafe-kafe kecil serta sungai Seine yang ikonis, Paris tidak selalu menyimpan cerita menyenangkan. Selayaknya kota lain di dunia, pahitnya hidup pun bisa Anda temukan di sini. Read More

22 Sep

Ulasan Film: “Sale”

Bukan, bukan. “Sale” bukanlah film dokumenter yang bertutur soal proses pembuatan makanan tradisional bernama sale pisang – kenikmatannya tiada tara – berbahan dasar buah pisang yang disisir tipis-tipis lalu dijemur. Walau ada sedikit pengharapan dari penulis bahwa film akan mengambil kupasan tersebut, tentunya ini mustahil terwujud, terlebih deretan materi promosinya sama sekali tidak mengindikasikan film akan memiliki keterkaitan erat dengan pisang. Tentu, “Sale” yang dimaksud oleh Kevin Anderson, sang sutradara, tak ada relasinya dengan makanan tersebut. Sama sekali tidak ada. “Sale” cenderung merujuk kepada kegiatan jual-beli, utamanya di bidang properti (apartemen). Terdengar seperti sebuah film pendek yang serius dan, errr … berat?

Serius, iya. Berat, tidak. Kenyataannya, selain “Sale” ini tidak menjajaki genre food movie – seperti dikira oleh orang-orang yang kelaparan – film juga menjauhi peliknya dunia bisnis sebagai bahan kupasan utama. Apa yang dicelotehkan oleh “Sale” jauh lebih sederhana dari itu. Ini adalah sebuah film pendek crowd pleaser yang tujuan utamanya sedari awal hanyalah memberikan hiburan bagi penonton alih-alih mengincar festival film ini-itu. Kevin Anderson tidak menuntut penonton mendayagunakan otak secara maksimal demi mencari pemecahan atas sederetan metafora-metafora membingungkan, perenungan mendalam, simbol-simbol ambigu penuh penafsiran, maupun ceceran teka-teki yang perlu disusun secara utuh untuk memperoleh jawaban sebenarnya di dalam film arahannya ini. Yang ingin disampaikannya, sederhana saja. Penonton pun cukup duduk, raih popcorn sebagai camilan menonton – atau jika ada, sale pisang – dan menikmati saja apa yang disuguhkan oleh si pembuat film. Read More

21 Aug

Ulasan Film: “Djanggal”

Entah disangkal habis-habisan atau diterima dengan ikhlas, tagline yang diusung oleh “Djanggal” betul adanya. Hidup memang kian aneh. Film pendek arahan Adyatma Abhirama ini merupakan gambaran dari kehidupan sehari-hari yang tingkat kewajarannya makin dipertanyakan dari hari ke hari.

Tidak perlu terlampau jauh memikirkan kejanggalan yang tercipta akibat campur tangan dari dunia gaib, manusia di sekitar pun dewasa ini terbilang ahli menciptakan sesuatu yang tidak biasa. Contoh terhangat, digunjingkan beragam lapisan masyarakat tanpa berkesudahan lantaran terlampau unik menjadi drama yang menyertai pemilihan presiden tahun 2014. Apakah ada dari Anda yang menganggap ini sebagai sesuatu yang, errr … biasa-biasa saja? Mungkin saja nyaris tidak ada karena “lelucon abad ini” dipenuhi beragam keanehan, kegilaan, dan (tentu saja) keganjilan.

Tapi, ah sudahlah, toh Adyatma Abhirama juga bukan memperbincangkan ketidakwajaran ini di dalam filmnya. Yang dicupliknya bukan menyentil keanehan di dunia politik, melainkan cenderung masalah sosial dan kemanusiaan. Bersama rekan-rekannya di Sinematografi Universitas Indonesia, si pembuat film menyoroti perilaku-perilaku aneh – beberapa orang bahkan berani melabelinya dengan menyimpang – yang sulit diuraikan penyebabnya secara detail (selain karena gila, tentunya), sesuatu yang bisa jadi kerap dijumpai di tempat-tempat umum. Read More