16 Oct

Ulasan Film “Untold”

Poster Untold

Kisah percintaan remaja memang seolah tiada habisnya untuk dikupas. Tidak peduli telah berapa kali problematikanya dibicarakan, selalu saja mengapung satu dua hal baru yang menarik perhatian. Bahkan, terkadang pokok permasalahannya pun tidak jauh beda dari sudah-sudah, hanya bergantung kepada kreatifitas si pembuat film dalam mengemasnya sehingga tampak menyerupai sajian segar yang belum pernah dipergunjingkan sebelumnya. Inilah yang lantas membuat film romansa dengan pangsa pasar utama remaja tergolong ‘gampang-gampang susah’ untuk dibuat mengingat lapangan konflik telah nyaris habis dikeruk oleh berbagai sineas, hanya menyisakan keklisean atau pengulangan semata terlebih bagi mereka yang enggan bersusah payah mencari tuturan kisah yang menggebrak, atau katakanlah masih jarang dipergunjingkan. Tapi apakah ini berarti sudah habis kemungkinan film percintaan remaja mengeluarkan aroma semerbak mewangi di semesta perfilman? Tidak juga… dan sulit menjawabnya.

Poster UntoldSeperti penulis turut singgung, premis usang tidak lantas menjamin film akan terasa menjengkelkan untuk disimak lantaran hanya berisi pengulangan semata. Bagaimanapun, kunci berada di tangan sutradara. Kepiawaian nahkoda dalam mengarahkan menjadi penentu apakah film bersangkutan mampu melaju secara lancar atau malah justru tertatih-tatih, dan pada akhirnya tenggelam di palung. ‘Untold’ arahan Ayu Dwi Astiti – tergabung dalam komunitas Sinematografi Universitas Airlangga – adalah salah satu contoh dari sebuah film pendek yang bergerak di ranah romansa remaja. Gagasan utamanya adalah seputar ketakutan untuk mengutarakan perasaan yang sesungguhnya kepada seseorang yang dicintai hingga segalanya terlambat. “Bagaimana jika saya ditolak?”, “bagaimana jika ternyata dia telah memiliki seorang tambatan hati”, atau “bagaimana jika ternyata dia sama sekali tidak mencintai saya dan menganggap selama ini tidak lebih dari sekadar teman?” adalah sederetan kekhawatiran tak berdasar yang kerap menghinggapi remaja dilanda asmara dan menjadi penyebab utama terhambatnya percikan asmara yang lebih besar.

Dalam ‘Untold’, penonton tidak seketika diberi kabar siapa sesungguhnya diantara Pria (Febryan Saputra) dan Laras (Septya Kurnia Pratiwi) yang memiliki ketakuran untuk mengungkapkan cinta. Diiringi oleh narasi bernada puitis nan syahdu, kita melihat pertemuan singkat pula canggung kedua tokoh utama ini di sebuah kafe. Melalui rangkaian kisah balik, penonton mendapat gambaran mengenai hubungan yang melilit keduanya. Dulu, Laras adalah seorang gadis aneh penyendiri yang asyik dengan dunianya sendiri sementara Pria adalah seorang playboy yang bolak-balik ganti pasangan. Diam-diam, Laras menyimpan perasaan pada Pria dan dia tidak berani mengatakannya secara langsung, berdasar pada satu dan lain hal. Hingga upaya main-mainnya – yang begitu klise – menarik perhatian Pria. Tanpa disangka-sangka, timbul kecocokan sehingga tidak perlu waktu lama bagi mereka untuk akrab satu sama lain.

Membaca ringkasan cerita ini, ‘Untold’ sekilas tak menyimpan permasalahan besar yang cukup membebani sang tokoh utama sampai-sampai terjadi pertentangan batin. Ada semacam indikasi yang menyiratkan semua baik-baik saja, kecocokan itu berlanjut ke tahapan lebih serius. Entah itu peresmian hubungan dalam wujud sekadar berpacaran, bertunangan, atau malah justru pernikahan. Kenyataannya, ‘Untold’ tidak berakhir sesederhana itu. Ayu Dwi Astiti yang turut merancang skenarionya bersama Indiana Yanuar – kabarnya, ada inspirasi lagu ‘Oh I Never Know’ yang dibawakan oleh Sarasvati – berusaha memberi kelokan terhadap penceritaan sehingga sedikit banyak mengecoh penonton yang sedari awal, bisa jadi, telah menerka akhir film menjelma semacam pola sebab-akibat yang mudah.

Nyatanya, Ayu Dwi Astiti menyadari bahwa dasar cerita yang dipergunakannya tidak kuat-kuat amat jadi dibutuhkan pendayagunaan kreatifitas agar tuturan menjauhi kemonotonan yang telah siap sedia menerkam. Untuk itu, ‘Untold’ pun disampaikan menggunakaan gaya penyampaian flashback, mencampurkannya di tengah-tengah alur yang mengalir normal diantara reuni kecil-kecilan Pria dan Laras. Sudut pandang penceritaan pun dipegang oleh kedua tokoh, memberi penonton kesempatan untuk melihat perspektif cerita dari dua arah berlainan agar kebenaran mengenai misteri percintaan ini dapat tersusun secara utuh. Ketika kilasan-kilasan di masa lampau yang melompat-lompat bergantian ini lantas berkelindan, penonton pun akan secara otomatis berkata, “Ooo… ternyata begitu to, selama ini.” Perasaan pun bercampur-campur, antara lega, gemas, jengkel, atau malah justru sedih tidak karuan.

Sepintas terkesan sepele, tapi ‘Untold’ mencoba mengingatkan kepada generasi muda untuk lebih berani. Dalam konteks dalam film ini mungkin hanya sekadar mengutarakan cinta namun pada lingkup lebih luas, Ayu Dwi Astiti berharap penonton bisa berani bersuara, menyampaikan pendapat, atau menunjukkan prinsip yang dipegang teguh, karena ketakutan untuk mengutarakan suara yang membuncah di dalam dada (maupun kepala) hanya berujung pada penyesalan tak berkesudahan. Ya, itulah yang menimpa kedua tokoh utama di film ini. Memutuskan menyimpan rapat-rapat apa yang sejatinya menjadi salah satu harapan terbesar karena tidak memiliki keberanian untuk menyampaikannya berakhir pada rasa sesal dan kekecewaan semata. Sebuah pesan mendalam dari sebuah film percintaan remaja yang sepintas klise dan dangkal namun sebetulnya cenderung berisi ketimbang beberapa film sejenis. Menarik.