15 Jan

Kombinasi Animasi 3D dan Isu Kekinian

Bagi mahasiswa jurusan Public Relation film ini mungkin saja bakal mengantarkan pada pembahasan menyoal Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau lebih karib dengan sebutan Corporate Social Responsibility (CSR). Film yang secara tersirat menyentil Etika Bisnis banyak korporat—di Indonesia khususnya—yang bukannya mengelola lingkungannya dengan baik malah menjadikan sekelilingnya harus rela dipusingkan imbas proyek-proyek tak bertanggung jawab.

Karya Fajar Ramayel yang diberi judul WachtenStaad ini menceritakan perjalanan tiga orang anak yang berasal dari sebuah kota bernama WachtenStaad yang penasaran dan belum sekalipun merasakan hangatnya sinar matahari karena awan tebal yang kerap menyelimuti kota mereka tersebut. Nama ‘WachtenStaad’ diambil sang sutradara dengan memadukan dua kata dalam bahasa Belanda yaitu ‘Wachten’ yang berarti ‘menunggu’ dan ‘Staat’ yang artinya ‘kota’. Jadi secara harfiah ‘WachtenStaad’ boleh diartikan sebagai ‘kota yang menunggu untuk diselamatkan’.

Film animasi dengan format 3D ini dibuka dengan narasi yang menjelaskan mengapa kota WachtenStaad selama 20 tahun belum juga terpapar sinar matahari. Jika di Indonesia sempat diramaikan dengan kasus Teluk Buyat yang dimanfaatkan oleh PT Newmont Minahasa Raya sebagai aliran penempatan limbah untuk aktivitas pertambangan emasnya, dalam film ini proyek bernama ‘Betterworld’ yang ditengarai menjadi biang keladi.

Proyek ‘Betterworld’ pada awalnya memang mendapat kecaman keras dari beberapa negara. Meskipun proyek ini diklaim penting untuk keberlangsungan hidup masyarakat luas, namun nyatanya tidak sesuai dengan namanya karena malah menyimpan dampak sebaliknya. Proyek ‘Betterworld’ mendapat potes keras dari berbagai kalangan pada tahun-tahun pertamanya, hingga tahun ke-5 protes-protes itu mulai berkurang, dan kini menginjak tahun ke-20 masyarakat tampaknya telah melupakan efek samping dari proyek tersebut. Jika ingin ditarik dalam konteks masa kini, hal di atas mungkin mirip-mirip dengan penolakan reklamasi Teluk Benoa di Bali dari berbagai kalangan karena dianggap bakal merusak ekosistem dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungannya-nya (AMDAL) yang dinilai janggal.

Singkat cerita, mengetahui negerinya telah puluhan tahun tidak terpapar sinar matahari akibat ‘Betterworld’, membuat generasi baru kota WachtenStaad mempertanyakan tentang keadaan tak normal kotanya tersebut. Tiga karakter utama bernama Bayu, Wira, dan Otto akhirnya memutuskan untuk meninggalkan kotanya tersebut demi menyaksikan secara langsung bagaimana rupa matahari. Sayangnya tidak semudah itu, WachtenStaad ternyata telah diisolasi. Tembok besi maha besar nan gagah mengelilingi kota yang tengah dirundung kemalangan tersebut. Di sinilah “petualangan” mereka mulai menemukan sandungan demi sandungan.

Karakter ketiganya memang mewakili tabiat khas anak muda seusianya. Rasa ingin tahu yang tinggi misalnya, tersaji sudah dalam prolog film ketika mereka memutuskan untuk meninggalkan WachtenStaad demi melihat matahari. Jelang akhir film, Fajar Ramayel secara tersirat kembali menyisipi filmnnya kali ini dengan ciri lain anak muda kebanyakan yaitu kecenderungan abai dengan petuah yang mereka anggap “menggurui”. Hal-hal yang membuat film ini menjadi layik ditonton oleh beragam usia. Film perdana karya studio animasi asal Indonesia, Dawn Animation, ini juga menyelipkan unsur thriller dalam WachtenStaad. Tidak sepanjang film memang, namun sangat menunjang premis cerita film rilisan 2014 ini.

WachtenStaad pun malang melintang di berbagai festival film. Mulai dari XXI Short Film Festival 2015, Europe on Screen 2015, hingga yang terakhir menjadi salah satu nomine dalam kategori ‘Animasi Terpilih’ Piala Maya 2015. Animasi berdurasi 16 menit ini pula sukses mencatatkan namanya dalam Indonesia Film Trailer Awards (IFTA) 2015 dan Indonesia Short Film Festival (ISFF) 2015.