23 Sep

Wregas Bhanuteja, Menjadi Tukang Film, dan Seluloid 16 mm

Menjadi Sutradara Muda Terbaik dalam Festival Film Online Kineria (FFOK) 2015 lewat Senyawa-nya, Wregas Bhanuteja mengaku kurang tertarik menonton film, sungguh? Kepada Kineria, lelaki gondrong yang bakal menginjak usia ke-23-nya Oktober mendatang ini pun berbagi cerita perihal awal mula ia terjun sebagai “tukang film”, konflik batinnya dengan sang ibu, hingga pengalaman syuting menggunakan seluloid 16 milimeter (mm).

Mari simak interviunya…

K (Kineria): Halo Wregas, bagaimana menurutmu apresiasi masyarakat untuk film pendek di Indonesia?

WB (Wregas Bhanuteja): Halo…Saya berpendapat bahwa apresiasi masyarakat terhadap film pendek semakin meningkat. Penonton memiliki tontonan alternatif selain film di bioskop. Film pendek dapat menjadi sebuah media yang dapat menyampaikan pesan secara baik dalam waktu yang singkat.

K: Lalu bagaimana pendapatmu tentang FFOK atau ajang-ajang kompetisi dan apresiasi lainnya yang dikhususkan untuk film pendek di Indonesia? Menjadi salah satu motivasi untukmu kah?

WB: Keberadaan FFOK mampu menjangkau seluruh penonton yang ada di Indonesia. Keberadaan internet (online), memungkinkan para penonton tetap dapat menonton film pendek meskipun di daerahnya tidak ada sebuah festival atau pemutaran film. Maka dari itu, tentu para filmmaker dapat memiliki akses yang semakin besar untuk menunjukkan filmnya dan menjadi makin bersemangat dalam berproduksi.

K: Secara umum, pandanganmu tentang tren film pendek di Indonesia sekarang seperti apa?

WB: Film pendek sekarang makin beragam mengeksplorasi style dan ide ceritanya. Semakin luasnya referensi terhadap film-film pendek dari berbagai negara, memperkaya juga ide-ide kita. Eksekusi pun juga semakin mudah. Dengan keberadaan kamera DSLR maupun mirrorless membuat kita dapat melakukan produksi dengan biaya terjangkau namun dengan hasil yang maksimal.

K: Boleh diceritakan bagaimana Wregas kecil hingga akhirnya mantap menekuni profesi sebagai seorang filmmaker?

WB: Saya tidak begitu suka nonton film saat kecil. Saat SMA, di SMA Kolese De Britto Yogyakarta, saya mulai mengikuti ekskul sinematografi. Disitulah saya pertama kali menemukan keasyikan membuat film dan saya merasa itulah satu-satunya bakat saya.

Semenjak itu saya ingin masuk Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Namun Ibu saya tidak mengizinkannya. Maka saya perlu membuat sebuah pembuktian pada Ibu. Saya membuat sebuah film pendek berjudul ‘Muffler’ dan menjadi nominasi di Festival Film Tawuran! 2009 di (Yayasan) Konfiden, Jakarta. Semenjak saat itu Ibu mengizinkan saya untuk masuk IKJ, dengan syarat bahwa saya harus membuktikan bahwa jalan yang saya pilih adalah benar.

Di IKJ saya menemukan banyak hal. Membuat film dengan seluloid 16 mm, bekerja bersama teman-teman dari berbagai mayor, magang bersama sutradara Riri Riza di film ‘Sokola Rimba’ (2013), dan lain-lain. Saya lulus di tahun 2014, dengan film tugas akhir berjudul ‘Lemantun’ yang mendapat tiga penghargaan di XXI Short Film Festival. Juga film pendek saya ‘Lembusura’ terpilih berkompetisi dalam kelompok film pendek di Berlin International Film Festival (Berlinale) yang ke-65, Februari lalu.

K: Bergeser ke film ‘Senyawa’, seseru apa sih pengalaman syuting menggunakan seluloid 16 mm?

WB: Syuting Senyawa adalah pengalaman berharga karena memakai seluloid 16 mm. Saat itu Mario, kameramen saya, perlu me-loading seluloid tersebut ke dalam magazine kamera di dalam sebuah changing bag yang mana kita tidak bisa melihatnya. Dia cukup tegang, sehingga butuh waktu setengah jam dalam loading-nya. Tidak boleh ada kebocoran cahaya sedikitpun, karena seluloid bisa terbakar. Saat merekam, kita juga tidak bisa melihat preview adegan sebelumnya, karena seluloid mesti dicuci di lab terlebih dahulu. Jadi kita harus yakin dengan setiap shot yang kita ambil, karena satu kaleng seluloid hanya bisa merekam 10 menit.

K: Kemudian?

WB: Di hari kedua syuting, seluloid kami sempat berbunyi sangat keras karena mungkin kesalahan saat loading. Hal itu membuat kami deg-degan karena gambar bisa jadi scratch. Bahkan sampai saat take-up seluloid dari magazine-nya, seluloid tersebut sempat terburai dan tidak bisa digulung secara rapi. Maka kameramen kami memutuskan untuk memasukkan buraian itu langsung ke dalam kaleng dan langsung membawanya ke Laboratorium Inter Studio. Sekali lagi, kami deg-degan menunggu hasilnya.

Beberapa hari kemudian, kami dipanggil oleh pihak lab untuk datang. Kami deg-degan lagi, apa jangan-jangan pihak lab ingin memberitahu bahwa film kami terbakar…

Ternyata film kami aman, dan petugas lab hanya ingin menasihati kami untuk lebih berhati-hati ketika take-up. Alhasil film kami aman, meski ada scratch di beberapa adegan. Namun kami merasa bersyukur masih sempat syuting menggunakan seluloid yang kini sulit sekali didapat.

~

Ya, Senyawa, dibuka dengan indah lewat alunan Ave Maria gubahan Jay Wijayanto—tokoh yang juga bermain dalam film tersebut—serta ditutup dengan epik lewat harmonisasi Ave Maria dan lantunan Al-Quran. Tidak ada tuh kontroversi selama penayangan film yang sukses terpilih dalam Europe On Screen Film Festival 2012, Jogja Asian Film Festival 2012, Festival Sinema Prancis 2013, hingga menjadi yang terbaik dalam Justin Louis Award, Freedom Film Festival (FFF), Malaysia 2013 tersebut.

Hmm…keelokan apa lagi yang bakal dihadirkan Wregas Bhanuteja dalam karya-karyanya selanjutnya? Nantikan film-film kreasi jebolan Fakultas Film dan Televisi (FFTV) IKJ itu di Kineria