28 Jan

Fajar Ramayel, Terinspirasi Tim Burton

Keseluruhan film ini barangkali mengingkatkan kita pada halaman depan salah satu media nasional di Indonesia. Ya, pada edisi Kamis (8/10/2015), Republika dengan satir menggambarkan dampak negatif dari kepulan asap di Riau. Melalui media berbeda, Fajar Ramayel duluan mengutarakan kegundahannya pada isu lingkungan yang terjadi di tengah Sumatera itu.

Diberi judul WachtenStaad, animasi ini bercerita tentang tiga bocah dari kota bernama WachtenStaad yang berpetualang mencari penyebab kotanya tersebut tak pernah sekalipun disinari matahari. Langit WachtenStaad yang melulu diselimuti awan pekat mungkin saja menjadi gambaran langit Riau yang tertutup asap kala itu.

Kineria pun berkesempatan meng-interviu Fajar Ramayel. Bagaimana akhirnya ia mengangkat isu lingkungan dalam karyanya kali ini hingga rencananya untuk membuat WachtenStaad dalam versi film panjang lengkap dituturkan animator jebolan Desain Komunikasi Visual (DKV) Bina Nusantara (Binus) ini.

Yuk disimak…

Kineria (K): Mengapa memilih atau tertarik mengangkat isu “anomali alam” dalam WachtenStaad?

Fajar Ramayel (FR): Sebenarnya pada awalnya saya terinspirasi style Tim Burton yang identik dengan style dark, lalu saya mencoba menciptakan sebuah setting yang mengharuskan setting tersebut gelap sepanjang waktu.

K: Lalu…

FR: Maka dari itu saya pun berimajinasi, bagaimana jika sebuah kota tidak pernah disinari matahari, yang menggiring sebuah imajinasi lain tentang isu awan tebal yang menutupi sinar matahari. Karena hal tersebut pernah pula terjadi di masa lalu setelah letusan Gunung Krakatau dan Tambora.

Saya sempat merinding, ternyata imajinasi saya itu bisa terjadi di dunia nyata, salah satunya Pulau Miyakejima di Jepang yang diselimuti abu vulkanik dan menyebabkan gas beracun bocor dari bumi yang memaksa 3.600 warga pulau untuk dievakuasi pada tahun 2000. Satu lagi yaitu apa yang terjadi di Riau akibat kebakaran hutan beberapa waktu lalu.

K: Ada tendensi untuk sekalian menyentil banyak perusahaan di Indonesia yang belum memerhatikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) mereka? Atau proyek reklamasi Teluk Benoa dan Teluk Jakarta oleh pemda misalnya?

FR: Sejauh ini saya lebih concern pada kasus pembakaran hutan yang terjadi di Riau dua tahun belakangan. Karena dampaknya benar-benar nyata, seluruh kota tertutup kabut tebal yang merusak kesehatan. Saya berharap film saya bisa meningkatkan awareness terhadap isu tersebut.

K: Berama lama penggarapan WachtenStaad hingga akhirnya rilis?

FR: Dari sekitar Juli 2013 sampai Januari 2014, sekitar 1,5 tahun.

K: Ada yang menarik saat pengerjaan WachtenStaad? Sempat ada silang pendapat tentang inti cerita kah?

FR: Bisa dibilang setiap step dari proses produksi WachtenStaad ada kisah menariknya tersendiri. Kalau silang pendapat soal cerita tidak ada. Hmm…paling silang pendapat sempat terjadi sewaktu penggarapan score music yang digarap oleh Farre Soeratman dari Farmhouse Audiohouse. Kami punya pandangan masing-masing demi yang terbaik bagi film ini, namun akhirnya dapat kami satukan dengan sebaik-baiknya. Waktu itu saya sampai menginap berhari-hari di studio Farmhouse Audiohouse untuk membicarakan tentang scoring music-nya.

K: Ada rencana untuk membuat WachtenStaad dalam versi film panjang?

FR: Kepinginnya sih gitu, tapi sudah dua tahun sejak 2014-2015 kita propose ke beberapa Production House (PH) dan produser tapi belum ada yang oke. Beberapa lebih mempermasalahkan waktu produksinya yang lebih lama daripada produksi film biasa. Makanya sekarang kita lagi garap film animasi pendek lagi. Judulnya ‘Lukisan Nafas’, bisa dilihat project-nya di wujudkan.com (search: Lukisan Nafas). Film ini bisa ditonton semua usia dan rencananya bakal diikutkan dalam festival luar negeri untuk menjaring investor sana yang kira-kira tertarik.

K: Kalau boleh tahu; pernah tayang dimana, masuk nominasi, dan memenangkan penghargaan apa saja WachtenStaad?

FR: Pernah diputar di Europe on Screen 2014, Hellofest 2014, XXI Short Film Festival 2015, penghargaan yang didapat hanya Juara 3 di Industry Creative Festival (Increfest) oleh Departemen Perindustrian, selebihnya menjadi nominasi Indonesia Film Trailer Awards (IFTA) 2015, Indonesian Short Film Festival (ISFF) 2015, Piala Maya 2015 kategori animasi dan kategori Piala Iqbal Rais.

K: Oiya…bagaimana awalnya masuk dunia per-animasi-an terus bikin film?

FR: Pertama kali karena tugas akhir saya pada tahun 2009 lalu bikin film animasi pendek tentang Gajah Mada berjudul Hamukti Palapa. Setelah itu saya bekerja sebagai motion graphic animator di sebuah stasiun televisi lokal. Di sana saya banyak belajar tentang animasi. Lalu awal tahun 2012 saya resign dari sana dan mulai mencoba membuat Wachtenstaad dengan beberapa teman.

K: Sutradara atau animator idolanya siapa sih, Mas?

FR: Sutradara animasi favorit saya Hayao Miyazaki, beliau sangat menginspirasi mulai dari karya-karya-nya hingga etos kerjanya.

K: Film animasi favorit sejauh ini?

FR: Film animasi yang paling sangat saya suka sejauh ini “Kung Fu Panda 2”.

Ya, semoga saja isu yang diangkat dalam WachtenStaad menjadi bahan penyadaran bagi mereka yang tidak sayang lingkungan sekaligus pelecut bagi filmmaker lain untuk mengangkat tema lingkungan yang memang belum banyak menjadi pilihan.

Filmografi Fajar Ramayel:
Hamukti Palapa (2009)
The Gift (2011)
WachtenStaad (2014)