21 Aug

Ulasan Film: “Djanggal”

Entah disangkal habis-habisan atau diterima dengan ikhlas, tagline yang diusung oleh “Djanggal” betul adanya. Hidup memang kian aneh. Film pendek arahan Adyatma Abhirama ini merupakan gambaran dari kehidupan sehari-hari yang tingkat kewajarannya makin dipertanyakan dari hari ke hari.

Tidak perlu terlampau jauh memikirkan kejanggalan yang tercipta akibat campur tangan dari dunia gaib, manusia di sekitar pun dewasa ini terbilang ahli menciptakan sesuatu yang tidak biasa. Contoh terhangat, digunjingkan beragam lapisan masyarakat tanpa berkesudahan lantaran terlampau unik menjadi drama yang menyertai pemilihan presiden tahun 2014. Apakah ada dari Anda yang menganggap ini sebagai sesuatu yang, errr … biasa-biasa saja? Mungkin saja nyaris tidak ada karena “lelucon abad ini” dipenuhi beragam keanehan, kegilaan, dan (tentu saja) keganjilan.

Tapi, ah sudahlah, toh Adyatma Abhirama juga bukan memperbincangkan ketidakwajaran ini di dalam filmnya. Yang dicupliknya bukan menyentil keanehan di dunia politik, melainkan cenderung masalah sosial dan kemanusiaan. Bersama rekan-rekannya di Sinematografi Universitas Indonesia, si pembuat film menyoroti perilaku-perilaku aneh – beberapa orang bahkan berani melabelinya dengan menyimpang – yang sulit diuraikan penyebabnya secara detail (selain karena gila, tentunya), sesuatu yang bisa jadi kerap dijumpai di tempat-tempat umum. Read More

21 Aug

Ulasan Film: “Konjak Julio”

Referendum pemisahan diri Timor Timur dari Indonesia yang berlangsung pada tahun 1999 menyisakan cerita-cerita pahit di benak banyak keluarga yang dipaksa tercerai-berai lantaran keadaan. Sebagian eksodus ke daerah-daerah terdekat di wilayah Indonesia, sementara sebagian lain memutuskan mendiami tanah kelahiran yang telah beralih rupa menjadi negara republik baru, Timor Leste.

Seolah perpisahan ini belum cukup menyakitkan, bertahun-tahun berada di bawah terjangan konflik membawa kondisi serba memprihatinkan bagi warga sipil yang bermukim di sekitar dengan infrastruktur rusak parah, logistik relatif terbatas, ekonomi di bawah ambang batas, pendidikan tak memadai, hingga penyakit mengintai di mana-mana. Jauh dari kata nyaman, aman, apalagi ideal. Seolah kehidupan yang terpapar dalam opera sabun di televisi swasta nasional saban hari hanyalah angan-angan belaka, muskil terwujud. Read More

21 Aug

Ulasan Film: “Langka Receh”

Saya teringat kembali tatkala dulu tertawa ngikik berderai-derai ketika pertama kali menyimak “Langka Receh”. Film ini merupakan sebuah tontonan sederhana sarat makna yang sukses menyentil, tanpa pernah sekalipun terkesan ceriwis, yang ide dasarnya beranjak dari kehidupan sehari-hari.

Bersama dengan ratusan penonton yang menghadiri Malam Penghargaan di Festival Film Solo 2012, tepuk tangan riuh bergemuruh dihaturkan kepada dua pembuat film, Miftakhatun dan Eka Susilawati, atas kegemilangan mereka dalam menyalurkan kritik sosial dalam “Langka Receh” melalui cara yang jenaka, menghindari segala sesuatu berbau klise maupun menggurui, namun tanpa kehilangan esensi gagasannya.

Kemenangan berhasil mereka genggam kala itu. Bahkan yang lebih penting dari itu, “Langka Receh” pun berhasil memenangkan hati dari para penonton, terutama saya yang hingga kini selalu merekomendasikan film ini ke beberapa teman lantaran menganggapnya sebagai salah satu film pendek terbaik yang pernah dibuat. Read More

21 Aug

Ulasan Film: “Gending Tengah Malam”

Tidak seperti dalam film panjang, genre horor bisa dibilang kurang populer di semesta film pendek. Terbatasnya lahan untuk komersialisasi dan minimnya festival film yang mengkhususkan diri untuk berkecimpung di genre ini – nyaris seluruhnya berada di negara lain – menjadi kendala utama. Sineas enggan mengambil resiko, lebih memilih mengeksplorasi kemampuan diri di ranah lain. Akibatnya, begitu sulit menjumpai film pendek yang bermain-main dengan para memedi di Indonesia. Jumlah yang dipertontonkan ke khalayak ramai setiap tahunnya bisa dihitung menggunakan jari tangan. Itulah mengapa, ketika ada satu yang menonjol, perbincangan di antara para pecinta film pun seolah tak akan menemui titik ujungnya.

Dedy Syahputra berpotensi menggiring film arahannya, “Gending Tengah Malam”, ke arah itu – menjadi bahan pembicaraan mengasyikkan bagi mereka yang mengapresiasi film pendek. Komposisi yang dipersiapkan mengingatkan pada “Titisan Naya” milik Riri Riza, atau jika diperkenankan mencatut film panjang sebagai referensi, maka “Keramat” garapan Monty Tiwa muncul pertama kali ke permukaan. Read More