14 Mar

Figuran di Balik Layar

Menjadi figuran dalam sebuah produksi film atau sinetron tidak melulu sesederhana yang terlihat di permukaan layar bioskop atau televisi kita. Jika pada akhirnya hanya terekam kamera dalam hitungan menit bahkan detik, waktu tunggu yang para figuran korbankan untuk itu nyatanya jauh lebih lama dari waktu tunggu penumpang Lion Air saat pesawatnya dikabarkan delay.

Belum lagi keluhan-keluhan dari para figuran yang merasa ditelantarkan tanpa kejelasan menanti fragmen yang mengharuskan mereka inframe, sampai imbalan yang jauh dari kata sebanding dengan pengorbanan yang sudah mereka lakukan, dibahas secara utuh dalam dokumenter pendek berjudul “Figuran” karya Vania Ivena ini. Kali ini Vania coba memotret realitas yang selama ini bias dari mata kamera.

Ironis, mungkin menjadi kata yang tepat saat film ini memuat pengakuan seorang Asisten Sutradara yang menyebutkan betapa pentingnya peran para figuran tersebut dalam mengatrol rating dan share program yang sedang dikerjakannya. Namun di lain sisi, “uang lelah” yang para figuran itu terima, jauh dari kata sebanding dengan kelelahan yang mereka dapat. Lalu mengapa “profesi” ini masih dianggap seksi oleh beberapa kalangan? Apa motivasi mereka? Dan apa komentar para selebriti yang juga terlibat dalam produksi tersebut? Ya, jawabannya ada di film berdurasi 10 menit lebih ini.

Pola bagi hasil antara agen penyalur figuran dengan talent-talent figuran bawaannya gamblang dijabarkan oleh Jasmine sebagai perwakilan agen, hingga bagaimana lokasi syuting yang mereka anggap sebagai rumah kedua. Fenomena yang memaksa rumah utama mereka beralih fungsi menjadi tempat “numpang tidur” saja.

Menariknya, sang sutradara juga melibatkan mantan-mantan figuran yang kini memilih jalan hidup berbeda. Salah satunya adalah Angela, perempuan yang kini memilih menjadi karyawati ini mengungkapkan perlakuan agen atau koordinatornya yang pada saat itu sangat tidak memanusiakan dirinya dan teman-teman sesama figuran. Satu dari sekian banyak hal yang membuat dirinya mantap memutuskan untuk pensiun dini dari dunia per-figuran-an.

Mungkin masih banyak yang bertanya-tanya, “apa sih bedanya cameo dengan figuran?”, “Kenapa mereka disebutnya figuran?”. Ya, tidak ada yang salah memang dengan sebutan yang disematkan kepada mereka-mereka yang belum dikenal luas tersebut, karena yang dimaksud dengan cameo adalah peran selintas yang dimainkan oleh orang yang sudah dikenal masyarakat, dan biasanya pula sang cameo berperan sebagai dirinya sendiri. Iko Uwais, Yayan Ruhian, dan Cecep Arif Rahman menjadi salah tiga yang boleh dibilang menjadi cameo dalam Star Wars: The Force Awakens. Efek kejut ketiganya sangat terasa di Indonesia bukan?

Jika dihubungkan dengan konteks figuran-cameo, film ini kembali menyuguhkan pemandangan kontras. Figuran dan cameo adalah karakter yang sama-sama menunjang alur cerita namun sangat timpang diperlakukan, setidaknya dalam film ini. Vania sukses menyuguhkan pemandangan orang-orang “terpinggirkan” dari balik layar.

Dalam karyanya kali ini, Vania menghadirkan beragam karakterisasi yang biasa dimainkan oleh para figuran-figuran tersebut. Nah, ini yang biasanya bisa dilihat oleh mata penonton. Ada yang berperan sebagai narapidana, polisi, emak-emak kampung, hingga kuntilanak. Terlihat pula bagaimana etos kerja mereka di depan layar yang tak tampak menyimpan kedongkolan dari balik layar. Bentuk profesionalitas yang layak disejajarkan dengan mereka-mereka yang mengaku sebagai artis-artis profesional itu.

Hmm…mengetahui proses produksi dari balik layar membuat kita menjadi paham bagaimana pengeluaran untuk memberi upah kepada para figuran terasa tidak berarti jika dibandingkan dengan keuntungan yang rumah-rumah produksi itu raup tiap harinya. Miris