10 Jul

Ironi di Kota Santri

Jika Anda ingin merasakan bagaimana kehidupan pesantren namun ogah masuk pesantren yang hanya diizinkan pulang ke rumah setahun dua kali, Ramadan ini adalah momentum Anda. Gerakan Nasional “Ayo! Mondok” atau pesantren-pesantren kilat lainnya yang mewajibkan pesertanya untuk belajar dan menginap untuk beberapa hari saja bisa menjadi solusi. Jadi jangan takut-takut rindu pacar rumah, tak bisa menggerayangi ponsel, atau khawatir tak lagi dapat melancong ke mal esok hari, lha kan paling absennya cuma 3-4 hari atau lebih lha dikit. Masih ga mau juga? Ya sudah, mungkin memang saatnya Anda menyimak film karya Orizon Astonia ini. Jiwa-jiwa muda yang terkungkung yang akhirnya menemukan “passion” mereka masing-masing. Ya, Lewat Sepertiga Malam menawarkan tontonan yang agaknya bakal dinyinyiri oleh para penganut ajaran Pondok Pesantren Baitul Facebook, Darul Twitter, atau gerakan muslim-musliman di media siber lainnya.

Sebelum masuk ke inti cerita, muncul pertanyaan “kapan ya kira-kira sepertiga malam (terakhir) itu?”. Betul, malam tiba sejak matahari terbenam dan kelar saat matahari terbit. Jika kita sepakat waktu Maghrib di pukul 18.00 dan Subuh di pukul 05.00, maka total waktu malam jika kita hitung berarti 11 jam, artinya masing-masing sepertiga malam itu sekitar 3,5 jam. Sepertiga malam paling masyhur dalam keislaman yaitu sepertiga malam terakhir (pukul 01.30-05.00), karena di waktu-waktu itulah (disebut dalam beberapa ayat di Al-Quran) yang sangat dianjurkan untuk digunakan dengan mendekatkan diri kepadaNYA. Sebuah ironi tersendiri dalam film yang melakonkan tiga anak pesantren “berjilbab” ini.

Kertas tata tertib seadanya yang diketik dalam bahasa Arab dengan terjemahan bahasa Indonesia di bawahnya menjadi frame pembuka. Belum apa-apa film ini sudah menyuguhkan adegan ala-ala film thriller. Tiga santriwati yang mencoba mengendap-endap mengelabui petugas piket demi menghirup udara bebas. Pekatnya malam dengan pencahayaan ala kadarnya tampak memudahkan ketiganya kabur sesaat untuk sekadar mengobati kejenuhan di dalam asrama. Sukseskah mereka melewati satu per satu halangan dengan mudah? Cukup menegangkan memang pengalaman melakukan hal “nakal” demikian.

Menuju ke mana mereka? Entahlah. Tapi yang pasti masing-masing mulai membuka jilbab dan pakaian luarnya, mengisap sebatang rokok, dan menenggak sekaleng minuman beralkohol. Lagi-lagi sebuah hal yang bertentangan dengan semangat mondok. Karena bukan isapan jempol lagi jika sebuah pesantren identik dengan analogi “bengkel” anak nakal, kolot, dan tertinggal. Tabiat ketiganya saat ini, dipastikan belum bisa berbanding lurus dengan visi-misi pesantren tempat mereka menimba ilmu. Oh, atau memang visi-misi pesantren tersebut penuh dengan pengekangan-pengekangan tidak perlu yang malah membuat peserta didiknya mencari pembenaran sendiri? Untuk hal itu Orizon Astonia jeli memilah cast dan berhasil mengarahkan ketiga aktrisnya tersebut—plus satu aktor pendukung—dengan cermat, sehingga menghasilkan akting yang cair dan membuat film minim dialog ini sama sekali tak terkesan monoton.

Hmm…jika memerhatikan bahasa yang digunakan, naga-naganya pesantren ini terletak—atau memang ingin dikesankan—berada di daerah Jawa Timur. Bukan rahasia juga sih jika Jawa Timur lekat dengan yang namanya Kota Santri. Mulai dari Jombang, Pasuruan, hingga Probolinggo sah mendapat julukan tersebut. Nama-nama pesantren sebangsa Gontor, Tebuireng, hingga YAPI sekalipun bukan lagi nama yang terdengar asing di telinga. Barangkali pula yang menjadi pesan tersirat dalam film layak tonton ini adalah seks edukasi yang nyatanya vital namun masih belum juga diterapkan dalam sistem kurikulum pendidikan formal maupun informal—tak terkecuali pondok-pondok pesantren di atas—.

Ya, semoga saja film yang menyerempet isu seks bebas di lingkungan pesantren ini tidak menjadi Perempuan Berkalung Sorban jilid dua. Film karya Hanung Bramantyo adaptasi novel berjudul serupa pada 2009 yang menuai kontroversi karena dinilai (beberapa pihak) berpotensi merusak citra dan berisi fitnah terhadap pesantren.