06 Nov

Review : Hide and Sleep

Apakah Anda pernah mengalami terbangun di suatu pagi dan mendapati barang-barang di sekitar kamar berada dalam posisi yang tidak semestinya? Kekacauan tidak disebabkan oleh orang lain yang (mungkin) mengendap-ngendap masuk ke kamar, melainkan diri Anda sendiri… dalam posisi tidur!  Ya, semacam sleepwalking. Meski tidak sampai menciptakan kekacauan, saya pernah mengalaminya sekali dua kali – setidaknya itu yang diungkapkan oleh teman satu kos saya – yang berdampak pada terbuka lebar-lebarnya pintu kamar mandi yang semula terkunci rapat. Entah apa yang sesungguhnya terjadi, saya pun sama sekali tidak mengingatnya. Bahkan diri ini terperanjat saat mendengar kisah itu. Susah dipercaya! Peristiwa serupa (tapi tak sama) inilah yang dikulik oleh Ismail Basbeth dalam film fiksi pendek perdananya yang dipertontonkan ke khalayak ramai, Hide and Sleep.

Seorang protagonis dalam wujud seorang mahasiswa berambut kribo bernama Ramlan bangun di suatu pagi hanya untuk mendapati ada yang sesuatu yang salah di kamar kosnya (atau malah pada dirinya?). HideAndSleep

Tahu-tahu, tanpa sebab musabab yang jelas, sejumlah perempuan tak dikenal tidur di samping si lelaki kribo dalam keadaan setengah telanjang dan pacar si lelaki kribo yang bermaksud datang membangunkan memergokinya. Keduanya pun putus. Tidak mampu mengumpulkan secuil memori sekalipun mengenai apa yang sebetulnya terjadi semalam, si lelaki kribo itu pun memasang kamera di kamarnya. Belum juga diketahui pangkal permasalahannya, peristiwa ganjil di hari sebelumnya kembali terulang di keesokan harinya. Tidak lagi dalam bentuk hadirnya perempuan-perempuan secara misterius, melainkan kehancuran beberapa titik di dalam kamar kos si lelaki kribo yang turut melibatkan korban; kamera dan ikan hias.

Jadi, apa yang sebetulnya terjadi di kamar kos ini? Atau, apa yang ‘merasuki’ Ramlan hingga bertindak liar seperti ini? Apakah ini hanya sekadar dampak dari sleepwalking akut atau jangan-jangan si lelaki kribo ini mengidap Dissociative Identitiy Disorder tanpa pernah disadarinya? Tidak ada kebenaran absolut di sini. Anda bebas menciptakan berbagai macam teori, hipotesis, dan lain-lain guna mengungkap kebenaran di balik peristiwa ‘suatu pagi yang kacau di kamar kos Ramlan’. Dengan suka rela dan dipenuhi kepercayaan, Ismail Basbeth mempersilahkan penonton untuk mempreteli, menyambung ulang, dan mengintepretasi secara mandiri tuturan kisah yang dirangkainya bersama Astit Pramadani. Ada sedikit petunjuk yang tertinggal di salah satu adegan. Tapi yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, mengapa kita sebegitu ingin tahunya untuk mencari penyebab dari kegilaan ini? Kenapa sedemikian kepo? Apakah ini penting? Bukankah banyak misteri di dunia ini yang pemicunya tidak juga terungkap hingga kini?

Pertanyaan-pertanyaan ini cukup menghantui pikiran seusai melahap Hide and Sleep. Dan itu bukan satu-satunya. Tangkapan kamera di sini pun tak kalah menghantui, dalam artian mampu menciptakan rasa tidak nyaman, risau, dan aneh. Ini terjadi sejak menit pertama hingga film menyelesaikan pengisahannya di menit ke-16. Tidak seperti Shelter dimana posisi kamera cenderung statis yang bermaksud memunculkan nada pengulangan, maka kamera di Hide and Sleep ini cenderung liar. Enggan untuk menuruti kemauan penonton yang menginginkan si kamera untuk tetap tenang, menghasilkan gambar-gambar yang sedap dipandang. Kesan pertama yang didapat memang pusing, namun melalui shot-shot yang dihasilkan oleh kamera ini penonton dapat turut merasakan apa yang dirasakan oleh si lelaki kribo; risau, bingung, dan mumet tidak karuan.

Untuk mengantisipasi agar penonton tidak kelewat mabok, ya sebagai pelumer ketegangan lah, maka si pembuat film memunculkan tokoh penting lain berwujud ikan hias yang meliuk-liuk riang di dalam bejana yang kehadirannya senantiasa disorot oleh kamera setiap beberapa menit (atau malah justru detik) sekali. Selain itu, si ikan hias pun memegang peranan penting lain dalam kaitannya dengan cerita, bisa dikatakan si ikan hias adalah sahabat satu-satunya Ramlan dalam film dan nasib tragis yang ditemuinya menjelang penghujung film tentunya membawa dampak psikologis kepada si lelaki kribo sekaligus menimbulkan efek pedih terhadap penonton. Ada pengaruh besar yang ditinggalkan oleh si ikan hias yang kemudian memaksa sang protagonis untuk mengambil tindakan lebih jauh. Terbilang unik, bukan?

Ya, keunikan dan kekhasan di dalam karya-karya Ismail Basbeth memang telah terdeteksi semenjak Hide and Sleep ini. Anda akan menemukan dialog yang benar-benar minim, konflik yang kelihatannya sepele namun kaya akan intrepetasi dan makna di dalamnya, ruang gerak yang serba terbatas dengan tokoh dan waktu yang juga terbatas, suasana yang cenderung sunyi sepi, hingga cara penyampaian yang terbilang unik di sini yang juga bisa ditemukan di film-film Ismail Basbeth berikutnya. Tuturan cerita Hide and Sleep memang boleh dibilang tidak terlampau mengikat penonton, akan tetapi cara penyampaian yang tidak biasa lewat tangkapan gambar yang liar menjadikan film ini menarik untuk disimak. Penonton serasa turut dilibatkan ke dalam film lantaran shot-shot yang mampu ‘mengundang’ masuk penonton untuk turut merasakan apa yang dirasakan si lelaki kribo di Hide and Sleep.