07 Jan

Review : Maling (The Thieves)

Apa yang terlintas di benak Anda tatkala mendengar kata ‘maling’? Seseorang (atau sekelompok orang) yang kejam, perampokan, barang-barang hilang, atau yang lainnya? Yang jelas, apapun itu, erat konotasinya dengan sesuatu yang negatif, buruk, dan mengerikan. Itu tidak salah. Bagaimanapun, maling adalah salah satu ‘pekerjaan’ tak halal yang dilakoni lantaran ingin mendulang harta dalam waktu yang singkat, tanpa perlu mengusap keringat, atau semata-mata tidak ada pilihan lain. Di khasanah film Indonesia, maling identik dengan penjahat sementara lawan si maling adalah lakon (jagoan). Kalaupun ditempatkan sebagai hero, biasanya hanya untuk seru-seruan atau lucu-lucuan semata. Jarang (atau malah tak ada) yang memanusiawikan si maling, seolah-olah tidak ada kebaikan yang dimiliki. Melalui Maling (The Thieves), Ismail Basbeth mencoba untuk membalik konsep yang biasanya Read More

18 Nov

Review : Harry van Yogya

Setelah memulai langkah yang meyakinkan lewat ‘Hide and Sleep’ yang dipenuhi shot bernada eksperimental, Ismail Basbeth mengemas film keduanya yang diberi tajuk ‘Harry van Yogya’ secara sederhana. Anda tidak akan menemukan sesuatu yang aneh di sini, segalanya dialirkan dengan cara yang terbilang normal untuk ukuran Ismail Basbeth, berlangsung singkat, tetapi lagi-lagi menyimpan kritikan sosial terhadap kondisi sosial di sekitar kita yang begitu menohok. Jika ada bentuk percobaan yang kentara terasa di film kedua si pembuat film ini, maka itu bukanlah soal gaya pengambilan gambar atau tatanan pengisahannya. Itu berkaitan dengan aliran jenis film yang dipilihnya. Tidak lagi bermain-main di ranah fiksi, Ismail Basbeth mencoba untuk mengambil jalur dokumenter demi menghantarkan gagasan yang ingin disampaikannya melalui ‘Harry van Yogya’.

Dengan durasi yang hanya merentang sepanjang 6 menit, ‘Harry van Yogya’ mengalir secara ringkas, padat, dan jelas. Apa yang dikuliknya pun sejatinya sederhana, Read More

06 Nov

Review : Hide and Sleep

Apakah Anda pernah mengalami terbangun di suatu pagi dan mendapati barang-barang di sekitar kamar berada dalam posisi yang tidak semestinya? Kekacauan tidak disebabkan oleh orang lain yang (mungkin) mengendap-ngendap masuk ke kamar, melainkan diri Anda sendiri… dalam posisi tidur!  Ya, semacam sleepwalking. Meski tidak sampai menciptakan kekacauan, saya pernah mengalaminya sekali dua kali – setidaknya itu yang diungkapkan oleh teman satu kos saya – yang berdampak pada terbuka lebar-lebarnya pintu kamar mandi yang semula terkunci rapat. Entah apa yang sesungguhnya terjadi, saya pun sama sekali tidak mengingatnya. Bahkan diri ini terperanjat saat mendengar kisah itu. Susah dipercaya! Peristiwa serupa (tapi tak sama) inilah yang dikulik oleh Ismail Basbeth dalam film fiksi pendek perdananya yang dipertontonkan ke khalayak ramai, Hide and Sleep.

Seorang protagonis dalam wujud seorang mahasiswa berambut kribo bernama Ramlan bangun di suatu pagi hanya untuk mendapati ada yang sesuatu yang salah di kamar kosnya (atau malah pada dirinya?). Read More

31 Oct

Review : Shelter

Jika memperbincangkan tentang film pendek di Indonesia dewasa ini, rasanya kok terasa ada yang kurang kalau tidak menyebut nama Ismail Basbeth. Sineas asal Yogyakarta ini mendapatkan sorotan lantaran karya-karyanya yang telah berkeliling ke berbagai festival film tingkat internasional ini dipresentasikan secara unik, bergaya, dan berani. Ada pula sesuatu yang khas dalam gaya bertutur di dalam setiap karyanya. Mengingat tidak adanya aturan yang mengikat di dunia film pendek – kerap diasosiasikan sebagai medium penuh kemerdekaan, maka Ismail Basbeth pun kerap melakukan eksperimen sehingga Anda tidak akan menemukan pengulangan cara menyajikan hidangan di karyanya yang berikutnya. Apa yang terjadi di film berikutnya adalah bentuk dari penyempurnaan. Itu dilakukannya dalam ‘Shelter’, salah satu karyanya yang tersohor dan banyak diperbincangkan, yang menyempurnakan sisi artistik dari ‘Hide and Sleep’ serta ‘Harry van Yogya’.

Apa yang dicelotehkan oleh si pembuat film di dalam ‘Shelter’? Itu yang harus Anda kulik sendiri. Sinopsis resmi yang dipublikasikan sama sekali tidak membantu, hanya sekadar berbunyi, “cintailah seseorang yang sedang bersamamu, selagi masih ada waktu.” Merentang hingga 15 menit, film memang Read More

22 Sep

Ulasan Film: “400 Words”

Setidaknya, ada tiga fase terpenting dalam kehidupan manusia: kelahiran, pernikahan, dan kematian. Fase terakhir disambut dengan tangisan pilu bermuram durja, sementara kedua fase lainnya dirayakan dengan semangat penuh cita. Akan tetapi, di balik segala gegap gempita dan senyum mengembang, pernikahan kerap kali menyimpan segudang cerita, khususnya di detik-detik terakhir menuju hari-H – dan itu tak selalu menggembirakan, walau pastinya layak untuk dikenang.

Ismail Basbeth, melalui karya terbarunya yang berjudul “400 Words”, menganggap bahwa persiapan pernikahan adalah sesuatu yang unik, penting, dan menarik sehingga dirasa perlu untuk diabadikan melalui lensa kamera. Namun, bentuknya tidak melalui tuturan fiksi, melainkan menempuh jalur dokumenter. Yang dijadikannya sebagai obyek penceritaan sekali ini bukan lagi orang asing dengan setumpuk pengalaman dan latar belakang yang menggugah rasa penasaran, melainkan orang yang paling dikenalnya luar dalam di dunia ini. Dirinya sendiri. Read More