23 Sep

Ulasan Film: “Lawuh Boled”

Di era ketika teknologi informasi telah merajalela begitu cepat, kenyataan bahwa angka penduduk yang mengalami buta huruf masih terbilang tinggi adalah suatu perkara mengejutkan sekaligus tamparan keras bagi pemerintah. Berdasarkan data statistik yang dirilis oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) beberapa bulan silam, setidaknya 4,2 persen dari jumlah penduduk Indonesia belum melek huruf. Bahkan, tak perlu menengok jauh-jauh ke Papua, Nusa Tenggara Timur, atau Kalimantan, kasus ini bisa pula ditemukan secara mudah di Jawa. Akses serba mudah tidak menjadi alasan pendidikan dapat serta merta berkembang dengan mudahnya, terlebih mendapati fakta bahwa masyarakat di Jawa Barat, Jawa Tengah, maupun Jawa Timur, masih dihadang oleh masalah ini. Ini adalah sebuah pekerjaan rumah yang harus dituntaskan segera oleh Kemendikbud, mereduksi jumlah masyarakat buta huruf sampai sekecil-kecilnya.

Fenomena memilukan ini lantas ditangkap oleh seorang siswi SMK Negeri 1 Rembang Purbalingga, Misyatun, melalui film arahannya yang sarat akan kritik, “Lawuh Boled”. Misyatun bersama konco-konconya dari Pedati Film memperlihatkan bahwa buta huruf masih menjadi salah satu permasalahan yang menghinggapi negeri ini. LawuhBoled-PosterMeski kerap dijumpai di desa-desa terpencil, tetapi ini tak menutupi fakta bahwa menginjak usia 69 tahun kemerdekaan, Indonesia masih belum sepenuhnya merdeka. Jika Jawa yang selama ini dianggap sebagai pulau dengan perkembangan terpesat saja masih menyumbang angka di sektor buta aksara, maka bagaimana dengan pulau-pulau lain yang infrastrukturnya masih serba tertinggal? Tentu, bisa jadi angkanya lebih tinggi ketimbang data yang dilepas oleh Kemendikbud, mengingat pemerintah pun masih sering menganggap permasalahan ini sebagai sebuah aib. Bisa jadi.

Buta huruf tidak menjadi satu-satunya masalah yang menggelisahkan Misyatun. Dalam “Lawuh Boled”, si pembuat film turut menyandingkannya bersama distribusi pangan yang (pula) tidak merata. Ketimpangan pangan adalah perkara lain yang menghantui negeri ini. Masyarakat miskin digambarkan membutuhkan perjuangan lebih hanya untuk menyajikan sepiring nasi di meja makan, lewat prosedur-prosedur yang tidak juga memberi kemudahan. Jika raskin (beras jatah diperuntukkan bagi warga tak mampu secara finansial) gagal digenggam, maka cara yang ditempuh untuk memenuhi kebutuhan nutrisi – setidaknya bagi masyarakat Jawa – adalah memakan boled (atau singkong) yang boleh dikatakan sebagai makanan paling murah. Ini menjadi semacam simbol ketidakmampuan seseorang, atau sebuah keluarga, saat boled adalah satu-satunya menu yang dihidangkan tatkala jam santap makan datang.

Inilah yang menimpa Sutimah (Widi Astuti). Kehabisan beras membuatnya mau tak mau menyajikan singkong sebagai menu sarapan bagi putrinya, Aminah (Puji Lestari), yang hendak berangkat sekolah. Lantaran tidak memiliki cukup uang untuk membelinya, Sutimah pun mengandalkan persediaan raskin. Konflik dimulai saat Sutimah mengunjungi Pak RT (Baskara Anton Rahadi) untuk memperoleh kupon … dan dia tidak bisa membaca. Alih-alih membantu, Pak RT justru dengan santainya bercakap-cakap bersama kawan lama lewat telepon genggamnya. Sutimah pun kebingungan karena berdasar bantuan-setengah-setengah dari Pak RT, setidaknya terdapat lima kupon yang kemungkinan adalah miliknya. Dikejar oleh waktu, Sutimah pun mengambil secara acak salah satu dari lima kupon tersebut dan mengantri di bawah matahari yang tengah bersinar begitu teriknya. Hasilnya? Perjuangan yang sia-sia karena Sutimah salah mengambil kupon. Beras gagal didapat dan sekali lagi, Aminah harus memakan singkong sebelum memulai hari.

Walau dikepung oleh serentetan kritik dalam tatanan pengisahannya, “Lawuh Boled” tidak berkesan ceriwis maupun menceramahi sehingga bikin dahi mengernyit dan telinga berdengung. Tidak. Misyatun menghadirkan film garapannya yang telah meraih beragam penghargaan ini – beberapa diantaranya adalah film fiksi pendek terbaik di  South to South Film Festival 2014, Malang Film Festival 2013, dan Festival Film Solo 2013, serta penghargaan khusus Iqbal Rais di Piala Maya 2013 – secara polos, jenaka, pula menghibur. Konten berat disulapnya menjadi sebuah hidangan yang mudah dicerna oleh penonton dari berbagai tingkatan usia maupun latar belakang sosial. Dengan metode semacam ini, sederet protes dan keluh kesah si pembuat film atas kondisi sosial memprihatinkan di sekelilingnya menjadi lebih mengena sekaligus menyentil tanpa harus menyakiti pihak-pihak tertentu. Apa adanya, tapi tetap lucu.

Lihat saja bagaimana Misyatun menggambarkan perjuangan Sutimah untuk mendapatkan jatah raskin. Bukan melalui deraian air mata yang disela-selanya disisipi narasi puitis dan dialog yang disesaki pesan moral, namun justru lewat tingkah polah yang akan membuat penonton tertawa terbahak-bahak. Adegan Sutimah mengiba-ngiba pada Pak RT agar bersedia membantunya mencarikan kupon bertuliskan namanya atau saat Sutimah ngeyel ke panitia pembagi jatah raskin itu begitu kocak. Dituturkan menggunakan Bahasa Banyumasan, kedekatannya pun semakin terasa – juga menjadi personal bagi beberapa penonton – dan tidak bisa dielakkan, terdengar lucu pula bagi penonton yang tidak mempergunakannya sebagai bahasa tutur sehari-hari. Tatkala menertawakan “jurus-jurus” yang dilancarkan oleh Sutimah demi mendapat belas kasih, tanpa disadari penonton sebetulnya tengah mendengarkan bagaimana Misyatun dan kawan-kawan mendendangkan kritik pedas terhadap pemerintah yang seolah enggan peduli terhadap nasib wong cilik utamanya yang jauh dari ibukota negara. Mengesankan.

Ingin menonton film “Lawuh Boled” di Kineria? Silakan kunjungi tautan ini.