22 Sep

Ulasan Film: “Valse Clandestine”

Apa yang pertama kali terlintas di benak Anda saat mendengar kata “Paris”? Bisa jadi, jika itu terkait ungkapan-ungkapan kekaguman, maka tidaklah jauh-jauh dari indah, cantik, hingga mengagumkan. Banyak orang bahkan berani melabelinya sebagai surga dunia karena Anda bisa menemukan apapun – dalam hal ini busana, kuliner, wisata sejarah, serta sinema – dalam kualitas amat prima. Bahkan ada pula yang menganggapnya terbaik dari terbaik di dunia. Sungguh mengesankan, bukan? Tetapi lebih dari itu, ada satu hal yang kerap melekat erat dengan Paris … kota yang romantis. Menyimpan banyak sudut, ruang, dan lokasi yang terasa begitu tepat dipergunakan untuk menciptakan kenangan manis bersama orang terkasih. Berjalan-jalan seraya bergandengan tangan, bercanda ria, mengenang perjumpaan di masa silam, bertukar kisah, dan sebagainya dengan tujuan utama “quality time” – mempererat hubungan di sela-sela waktu senggang. Persis seperti yang terjadi di salah satu film romantis favorit penulis, “Before Sunset”. Ah!

Akan tetapi, di balik tampilannya yang begitu menggiurkan dengan bangunan-bangunan megah macam Eiffel, Notre Dame, atau Louvre, maupun kafe-kafe kecil serta sungai Seine yang ikonis, Paris tidak selalu menyimpan cerita menyenangkan. Selayaknya kota lain di dunia, pahitnya hidup pun bisa Anda temukan di sini. ValseClandestine-PosterOh, bahkan beberapa situs wisata ternama pun menempatkan Paris sebagai salah satu kota terkotor di daratan Eropa. Mengejutkan? Tidak terlalu. Terlebih, seringkali penampilan luar bisa menipu dan, walau ini klise, tak ada kesempurnaan di dunia ini.

Beberapa sineas dunia pun kerap memanfaatkan keindahan lanskap kota ini sebagai latar kisah sarat misteri dan kekerasan. Ingat “The Da Vinci Code”? Itu salah satunya. Film omnibus yang digarap keroyokan, “Paris Je t’aime” pun tak terlampau mengkultuskan kota ini. Pahit dan manisnya dikupas secara berimbang, memberi penonton beberapa gambaran sisi kehidupan yang bisa ditemukan di Paris yang mungkin saja kurang diketahui oleh kebanyakan orang.

Meski masih berada di ranah romansa, film pendek arahan sutradara Indonesia, Ali Munandar – dikerjakan sebagai bagian dari tugas untuk merampungkan studinya – yang bertajuk “Valse Clandestine” kurang lebih serupa dengan beberapa judul terakhir: menilik sisi gelap kota yang kerap diagung-agungkan oleh warga dunia. Dalam hal ini, percintaan terlarang. Mungkin Anda berpikir, bagaimana bisa terdapat pasangan yang jenuh dengan kehidupan percintaan mereka sementara mereka tinggal di sebuah kota yang (tampaknya) sempurna, begitu romantis, dan cantik bukan main? Ternyata, ini tetap bisa terjadi. Keindahan sebuah kota tidak lantas berbanding lurus dengan kehidupan asmara yang baik-baik saja. Dalam “Valse Clandestine”, kita melihat adanya ketidakberesan dalam hubungan pasangan suami istri, Emma (Fanny Escobar) dan Klaus (Raphael Caraty). Menahun membina rumah tangga, Emma mulai merasakan kemonotonan dalam keseharian yang dijalaninya. Percik-percik asmara tidak lagi terlihat, hanya menyisakan kekosongan belaka.

Harapan Emma untuk kembali merasakan nikmatnya kehidupan sedikit banyak mengemuka setelah berjumpa dengan Franz (Ludovic Salvador), salah satu teman Klaus, dalam sebuah makan malam. Berbincang-bincang seru sejenak, keduanya dengan cepat menemukan kecocokan satu sama lain hingga tidak ragu untuk memberikan kecupan. Emma dan Franz pun menjalin hubungan gelap di balik punggung Klaus yang senantiasa sibuk dengan pekerjaannya. Akan tetapi, seperti halnya yang dikhawatirkan oleh Franz, sampai kapan jalinan asmara ini akan disembunyikan dari Klaus? Rasa-rasanya mustahil bagi Emma dan Franz menjalani percintaan ini selamanya secara diam-diam karena kebahagiaan tentu muskil terwujud, hanya sakit hati di antara satu sama lain. Merasa bahwa tentu tidak adil bagi ketiganya jika hubungan ini terus ditutupi, Franz pun berinisiatif memproklamirkannya di depan Klaus yang lantas ditentang oleh Emma. Kebimbangan Emma dalam menentukan pilihan ini tak menghentikan langkah Franz  … hingga sebuah tragedi terjadi merenggut nyawa salah satu dari mereka dan rahasia gelap ini pun terancam terpendam.

Ya, “Valse Clandestine” ini mungkin tidak seperti bayangan sebagian besar dari Anda yang menduga film akan bertutur secara lembut mengingat landasan kisahnya adalah romansa dan latar tempat mengambil lokasi di Paris, Perancis – walau sebagian besar berada di dalam ruangan. Sebaliknya, sejak menit pembuka yang menampilkan adu mulut cukup intens antara Emma dan Franz di suatu taman kota, Ali Munandar telah menggiring “Valse Clandestine” ke arah yang terbilang muram dan cenderung depresif mewakili sosok Emma yang sepertinya telah kehilangan arah. Tidak mengetahui lagi apa arti yang sebenarnya dari kebahagiaan. Usai pembuka yang mengejutkan, penonton lantas diberi sedikit gambaran bagaimana perjumpaan pertama Emma dan Franz hingga keduanya memutuskan untuk bertama serta seperti apa guncangan dihadapi Emma saat berusaha keras menutupi rahasia kelamnya dari sang suami sekaligus melupakan Franz.

Tidak seperti film perselingkuhan semacam “Unfaithful” maupun “Fatal Attraction” yang secara berkala seiring berjalannya durasi berubah wajah menjadi thriller saat salah satu memutuskan balas dendam, “Valse Clandestine” tetap berjalan wajar. Lebih menekankan pada sisi psikologis salah satu (atau salah dua) pelaku yang sedikit banyak terobrak-abrik lantaran terlalu berusaha keras menyangkal setiap perbuatannya. Penggambaran si pembuat film dalam memberikan hukuman setimpal bagi para pezinah pun tidak kelewat seram, melainkan cenderung apa adanya meski jika ingin sedikit memberi teori konspirasi, akan muncul satu pemikiran di penghujung film, “Jangan-jangan, si suami selama ini telah mengetahui kebenarannya dan kecelakaan yang menimpa salah satu tokoh bukanlah kecelakaan melainkan….” Jeng jeng!

Ingin menonton film “Valse Clandestine” di Kineria? Silakan kunjungi tautan ini.