23 Sep

Ulasan Film: “Indo Nesia?”

Di semesta film pendek pelajar Indonesia, nasionalisme adalah salah satu dari sedikit tema yang begitu digandrungi untuk diracik berulang-ulang. Paparan kisahnya pun seringkali tidak jauh berbeda antara satu dengan lainnya. Memiliki keterkaitan erat dengan sekolah, Sang Saka Merah Putih, serta upacara yang dikombinasikan bersama wejangan-wejangan (maunya) bijak, narasi puitis menghanyutkan, dan orasi nasionalistik.

Secara langsung, film meminta penontonnya – target utama adalah pelajar SMA – menghargai bumi pertiwi ini melalui cara yang sederhana. Apapun masalah yang diaplikasikan oleh si pembuat film pada tokoh-tokoh rekaannya, solusi terbaik yang bisa diberikan adalah memberi penghormatan kepada bendera merah putih yang tengah berkibar-kibar membanggakan di atas tiang.

Ketika Zed Ridlo Ichsan Asyhari yang notabene masih duduk manis di bangku SMA ini memberi kita “Indo Nesia?” yang juga produk hasil gotong royong bersama rekan-rekannya dalam sebuah ekstrakurikuler sekolah bernama Xfilis, mudah untuk mencibirnya. Lagi-lagi, film pelajar yang berkoar-koar soal mencintai Indonesia, dan judulnya pun telah menyiratkan secara teramat sangat jelas. Keresahan bahwa film ini akan berakhir seperti yang sudah-sudah semakin tidak terbendung saat film membuka gelarannya dengan gaya klasik: iringan narasi yang disusun atas kalimat-kalimat bernada puitis, guyonan slapstick, dan sosok guru yang tiba-tiba memberi petuah pada murid.

Tapi, ternyata si pembuat film tidak patuh-patuh amat, malah dia mencoba bernakal-nakal ria. Adegan pembuka berkonsep usang tersebut seolah dipergunakannya hanya untuk “menggugurkan syarat dan kewajiban.” Selebihnya, Zed Ridlo bebas bereksperimen sesuka hati. Bahkan, pokok permasalahan dalam penceritaan yang dipanggulnya pun tidak mempunyai hubungan dengan “hormat grak – tegak grak“, melainkan mencoba menyentil persoalan bakti sosial penggalangan dana yang umumnya digelar sesaat setelah sebuah wilayah terkena musibah yang menyebabkan kerugian besar.

Yang patut diapresiasi dari langkah si pembuat film di “Indo Nesia?” adalah keberaniannya berbicara apa adanya tanpa mencoba menutup-nutupi, apalagi mengkultuskan pihak-pihak tertentu yang biasa dilakoni oleh film berlabel film pelajar. Bagusnya, melalui banyaknya senda gurau – pola pengisahan yang juga jauh dari kesan serius – menjadikan tembakan-tembakannya tidak terasa menyakitkan, malah justru menggelitik.

“Indo Nesia?” mengambil latar penceritaan di sebuah SMA di kota Salatiga, sesaat setelah meletusnya Gunung Kelud yang juga membawa “oleh-oleh” berupa abu vulkanik ke beberapa kota kurang beruntung. Tokoh utama film ini adalah Umar (Adik Ivan), seorang siswa andalan yang dipaksa oleh para pemangku otoritas di sekolahnya untuk menggalang bakti sosial bagi para korban letusan Gunung Kelud. Tidak mudah bagi Umar untuk menyadarkan teman-temannya yang seolah enggan tahu menahu atau mengulurkan tangan. Ada saja alasan untuk berkelit. Beragam cara pun ditempuhnya, dari meminta pakaian-pakaian bekas layak pakai – namun malah justru memperoleh setumpuk pakaian yang lebih cocok dimanfaatkan sebagai kain pel atau semacamnya – hingga donasi berupa uang yang membuatnya didamprat para guru. Bahkan, Umar pun turut mendatangkan seorang kyai untuk mengadakan doa bersama.

Dari ringkasan ini kita telah mengetahui bahwa segala praduga yang dilayangkan untuk “Indo Nesia?” terkesan seperti kekhawatiran berlebihan yang lantas tidak terbukti. Zed Ridlo membuat penonton kecele dan seolah-olah bilang, “Makanya jangan keburu suudzon. Ditonton dulu, baru berkomentar.” Nakal sekali dia. Tapi memang, begitulah dia menuturkan film arahannya yang diproduksi berdasarkan naskah rancangan Candra Prasetiatama dan Yashinta Chika ini.

Label film pelajar – berarti tetek bengek pembuatan masih memiliki hubungan dengan pihak sekolah – tidak menghalanginya buat melancarkan kritik terhadap para pemangku otoritas di sekolah semacam guru maupun kyai. Begitu santainya tuturan yang digulirkannya membuat penonton tak lantas menyadari bahwa “Indo Nesia?” ini menyajikan serangan-serangan beruntun kepada sejumlah pihak di sekolah saat sebuah kegiatan bakti sosial dilaksanakan. Sosok guru digambarkan sebagai sosok pemberi perintah yang selalu benar, lengkap beserta petuah-petuah bijaknya, tanpa sekalipun menawarkan solusi. Tatkala si murid berinisiatif mencari solusinya sendiri, omelan-omelan justru menjadi balasannya.

Apakah kasus ini terdengar begitu familiar di telinga? Tentu, terlebih bagi yang dulunya aktif di organisasi sekolah. Para murid pun tidak digambarkan lebih baik … malah cenderung parah. Terlihat keengganan untuk membantu sesama, walau sekadar mendonasikan pakaian bekas maupun uang recehan. Malasnya siswa bergerak aktif di kegiatan sosial – atau sesuatu di luar pelajaran, ekstrakurikuler misalnya – pun sedikit banyak disentil di sini sampai-sampai tokoh pemuka agama yang umumnya lebih didengarkan pun turut diturunkan.

Pada akhirnya, “Indo Nesia?” adalah semacam ajakan untuk berkontemplasi dari Zed Ridlo melihat ke-Indonesia-an masing-masing. Mempertanyakan bagaimana ajaran yang telah ditetapkan dalam butir-butir Pancasila dilupakan begitu saja, seolah-olah itu hanyalah hiasan agar negeri ini memiliki identitas. Dalam.

Ingin menonton film “Indo Nesia?” di Kineria? Silakan kunjungi tautan ini.