03 Feb

Ulasan Film “Hanacaraka”

Bagi masyarakat Indonesia yang tumbuh berkembang di Jawa tentu tidaklah asing dengan Hanacaraka, tetapi bagi mereka yang hanya sedikit tahu mengenai budaya Jawa mungkin akan bertanya-tanya, apa sih Hanacaraka? Well… secara ringkas, Hanacaraka adalah aksara turunan dari aksara Brahmi yang digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, bahasa Makassar, bahasa Madura, bahasa Melayu, bahasa Sunda, bahasa Bali, dan bahasa Sasak. Aksara ini memiliki 20 huruf dasar, 20 huruf pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, 8 huruf utama, 8 pasangan huruf utama, Read More

23 Sep

Ulasan Film: “Lawuh Boled”

Di era ketika teknologi informasi telah merajalela begitu cepat, kenyataan bahwa angka penduduk yang mengalami buta huruf masih terbilang tinggi adalah suatu perkara mengejutkan sekaligus tamparan keras bagi pemerintah. Berdasarkan data statistik yang dirilis oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) beberapa bulan silam, setidaknya 4,2 persen dari jumlah penduduk Indonesia belum melek huruf. Bahkan, tak perlu menengok jauh-jauh ke Papua, Nusa Tenggara Timur, atau Kalimantan, kasus ini bisa pula ditemukan secara mudah di Jawa. Akses serba mudah tidak menjadi alasan pendidikan dapat serta merta berkembang dengan mudahnya, terlebih mendapati fakta bahwa masyarakat di Jawa Barat, Jawa Tengah, maupun Jawa Timur, masih dihadang oleh masalah ini. Ini adalah sebuah pekerjaan rumah yang harus dituntaskan segera oleh Kemendikbud, mereduksi jumlah masyarakat buta huruf sampai sekecil-kecilnya.

Fenomena memilukan ini lantas ditangkap oleh seorang siswi SMK Negeri 1 Rembang Purbalingga, Misyatun, melalui film arahannya yang sarat akan kritik, “Lawuh Boled”. Misyatun bersama konco-konconya dari Pedati Film memperlihatkan bahwa buta huruf masih menjadi salah satu permasalahan yang menghinggapi negeri ini. Read More

21 Aug

Ulasan Film: “Langka Receh”

Saya teringat kembali tatkala dulu tertawa ngikik berderai-derai ketika pertama kali menyimak “Langka Receh”. Film ini merupakan sebuah tontonan sederhana sarat makna yang sukses menyentil, tanpa pernah sekalipun terkesan ceriwis, yang ide dasarnya beranjak dari kehidupan sehari-hari.

Bersama dengan ratusan penonton yang menghadiri Malam Penghargaan di Festival Film Solo 2012, tepuk tangan riuh bergemuruh dihaturkan kepada dua pembuat film, Miftakhatun dan Eka Susilawati, atas kegemilangan mereka dalam menyalurkan kritik sosial dalam “Langka Receh” melalui cara yang jenaka, menghindari segala sesuatu berbau klise maupun menggurui, namun tanpa kehilangan esensi gagasannya.

Kemenangan berhasil mereka genggam kala itu. Bahkan yang lebih penting dari itu, “Langka Receh” pun berhasil memenangkan hati dari para penonton, terutama saya yang hingga kini selalu merekomendasikan film ini ke beberapa teman lantaran menganggapnya sebagai salah satu film pendek terbaik yang pernah dibuat. Read More