21 Feb

Ulasan Film “Aku Kudu Piye, Tweeps?”

Peta perpolitikan pascareformasi memang jelas-jelas mengubah wajah media konvensional negeri ini. Rentang 1999-2001 praktis Indonesia masih “meraba-raba internet”. Saat itu, kita (baca: orang tua kita), masih dengan senang hati menunggu pukul 19 atau 21 untuk ‘Dunia dalam Berita’ atau menunggu lemparan koran dari loper keesokan paginya.

Sejak kemunculan Friendster (2002) hingga Facebook (2004), Indonesia mulai melek jejaring sosial. Ketika itu, belum popular istilah ‘jurnalisme warga’, namun praktik para penggunanya sudah mengarah ke sana. Pengguna dapat menjadi “media” itu sendiri. Belum terpikirkan pula oleh pemerintah apa itu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE). Para pengguna masih bisa dengan sangat leluasa menyebarkan opini dan menaburkan segala unek-uneknya.

Medio 2006 muncul Twitter, sosial media temuan Jack Dorsey ini memang Read More

03 Feb

Ulasan Film “Hanacaraka”

Bagi masyarakat Indonesia yang tumbuh berkembang di Jawa tentu tidaklah asing dengan Hanacaraka, tetapi bagi mereka yang hanya sedikit tahu mengenai budaya Jawa mungkin akan bertanya-tanya, apa sih Hanacaraka? Well… secara ringkas, Hanacaraka adalah aksara turunan dari aksara Brahmi yang digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, bahasa Makassar, bahasa Madura, bahasa Melayu, bahasa Sunda, bahasa Bali, dan bahasa Sasak. Aksara ini memiliki 20 huruf dasar, 20 huruf pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, 8 huruf utama, 8 pasangan huruf utama, Read More

23 Sep

Ulasan Film: “Lawuh Boled”

Di era ketika teknologi informasi telah merajalela begitu cepat, kenyataan bahwa angka penduduk yang mengalami buta huruf masih terbilang tinggi adalah suatu perkara mengejutkan sekaligus tamparan keras bagi pemerintah. Berdasarkan data statistik yang dirilis oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) beberapa bulan silam, setidaknya 4,2 persen dari jumlah penduduk Indonesia belum melek huruf. Bahkan, tak perlu menengok jauh-jauh ke Papua, Nusa Tenggara Timur, atau Kalimantan, kasus ini bisa pula ditemukan secara mudah di Jawa. Akses serba mudah tidak menjadi alasan pendidikan dapat serta merta berkembang dengan mudahnya, terlebih mendapati fakta bahwa masyarakat di Jawa Barat, Jawa Tengah, maupun Jawa Timur, masih dihadang oleh masalah ini. Ini adalah sebuah pekerjaan rumah yang harus dituntaskan segera oleh Kemendikbud, mereduksi jumlah masyarakat buta huruf sampai sekecil-kecilnya.

Fenomena memilukan ini lantas ditangkap oleh seorang siswi SMK Negeri 1 Rembang Purbalingga, Misyatun, melalui film arahannya yang sarat akan kritik, “Lawuh Boled”. Misyatun bersama konco-konconya dari Pedati Film memperlihatkan bahwa buta huruf masih menjadi salah satu permasalahan yang menghinggapi negeri ini. Read More

21 Aug

Ulasan Film: “Gending Tengah Malam”

Tidak seperti dalam film panjang, genre horor bisa dibilang kurang populer di semesta film pendek. Terbatasnya lahan untuk komersialisasi dan minimnya festival film yang mengkhususkan diri untuk berkecimpung di genre ini – nyaris seluruhnya berada di negara lain – menjadi kendala utama. Sineas enggan mengambil resiko, lebih memilih mengeksplorasi kemampuan diri di ranah lain. Akibatnya, begitu sulit menjumpai film pendek yang bermain-main dengan para memedi di Indonesia. Jumlah yang dipertontonkan ke khalayak ramai setiap tahunnya bisa dihitung menggunakan jari tangan. Itulah mengapa, ketika ada satu yang menonjol, perbincangan di antara para pecinta film pun seolah tak akan menemui titik ujungnya.

Dedy Syahputra berpotensi menggiring film arahannya, “Gending Tengah Malam”, ke arah itu – menjadi bahan pembicaraan mengasyikkan bagi mereka yang mengapresiasi film pendek. Komposisi yang dipersiapkan mengingatkan pada “Titisan Naya” milik Riri Riza, atau jika diperkenankan mencatut film panjang sebagai referensi, maka “Keramat” garapan Monty Tiwa muncul pertama kali ke permukaan. Read More