21 Aug

Ulasan Film: “Langka Receh”

Saya teringat kembali tatkala dulu tertawa ngikik berderai-derai ketika pertama kali menyimak “Langka Receh”. Film ini merupakan sebuah tontonan sederhana sarat makna yang sukses menyentil, tanpa pernah sekalipun terkesan ceriwis, yang ide dasarnya beranjak dari kehidupan sehari-hari.

Bersama dengan ratusan penonton yang menghadiri Malam Penghargaan di Festival Film Solo 2012, tepuk tangan riuh bergemuruh dihaturkan kepada dua pembuat film, Miftakhatun dan Eka Susilawati, atas kegemilangan mereka dalam menyalurkan kritik sosial dalam “Langka Receh” melalui cara yang jenaka, menghindari segala sesuatu berbau klise maupun menggurui, namun tanpa kehilangan esensi gagasannya.

Kemenangan berhasil mereka genggam kala itu. Bahkan yang lebih penting dari itu, “Langka Receh” pun berhasil memenangkan hati dari para penonton, terutama saya yang hingga kini selalu merekomendasikan film ini ke beberapa teman lantaran menganggapnya sebagai salah satu film pendek terbaik yang pernah dibuat.

Langka Receh - PosterSalah satu yang menjadikan “Langka Receh” terasa begitu istimewa adalah si pembuat film tidak menganggap keterbatasan sebagai suatu penghalang yang merepotkan. Sebaliknya, melalui teknis pembuatan yang dikerjakan seadanya, film masih berhasil tampil solid berkat kekuatan ide cerita yang diusungnya. Beberapa dari penonton mungkin akan mengeluhkan betapa filmnya memiliki kemasan yang tidak sedap dipandang; editing kasar maupun sudut pengambilan gambar sesuka hati terkesan amatiran. Itu pula yang sempat mengganjal di dalam diri saat menyaksikannya pertama kali.

Tapi, ketika kita mengintip ke latar belakang Miftakhatun dan Eka Susilawati, keterkejutan, pula pukulan telak, pun seketika dirasakan. Siapa yang menyana jika “Langka Receh” terlahir dari dua remaja perempuan yang masih duduk di bangku SMP? Menjadi semakin membuat terperangah, kenyataan bahwa SMP tempat mereka menimba ilmu ini berlokasi di lereng Gunung Slamet, Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Sebuah tempat yang notabene terpencil dengan akses sumber daya yang serba terbatas. Wow!

Maka, bisa dimaklumi jika lantas ditinjau dari aspek teknis, film ini tidak terlalu memukau. Semangat juang yang muncul dari anak-anak didik ekstrakurikuler Sawah Artha Film di SMP Negeri 4 Satu Atap Karangmoncol ini merupakan sesuatu yang lebih layak diacungi jempol dan diapresiasi. Tentu, bukan berdasar atas belas kasih, melainkan pada paparan fakta bahwa di tengah kondisi yang (bagi sebagian orang) tidak memungkinkan untuk berkreasi dalam medium film, mereka mampu menelurkan sebuah karya yang menggigit.

“Langka Receh” bukanlah produksi perdana dari kelompok ekstrakurikuler ini. Sebelumnya, telah terlahir “Baju Buat Kakek”, “Sang Patriot”, dan “Pigura”. Deretan judul-judul tersebut telah mendulang penghargaan film pendek dimana-mana. Malah, untuk judul terakhir diganjar penghargaan khusus oleh Festival Film Indonesia (FFI). Sekali lagi saya harus mengatakan … wow! Bukankah membanggakan (serta mengejutkan) masih ada bakat-bakat apik bagi perfilman Indonesia dari sebuah wilayah di pedalaman?

Tentu saja. Tapi mari kita kembali fokus kepada “Langka Receh”. Berdurasi sekitar lima menit, Miftakhatun dan Eka Susilawati mengobrol tentang tindak kecurangan yang dilakukan oleh penjual di lingkungan sekeliling. Apakah Anda pernah mendapatkan uang kembalian berupa beberapa bungkus permen lantaran si penjual ngakunya sih tidak memiliki recehan yang mencukupi? Pernah? Rasa-rasanya hampir semua orang pernah mengalami ini. Bahkan ini tidak saja terjadi di lingkup toko kelontong kepunyaan pribadi, tetapi merembet pula hingga ke toko waralaba tingkat nasional!

Diceritakan di dalam film “Langka Receh”, si tokoh utama berniat menabung dari uang kembalian untuk membeli buku yang persediaan kertasnya makin menipis demi keperluan sekolah. Dengan digantikannya uang recehan dengan beberapa bungkus permen, lantas bagaimana dia bisa menabung? Apakah permen-permen ini bisa dimanfaatkan sebagai alat barter? Tentu saja, tidak. Ini dipaparkan lewat sebuah adegan ketika si tokoh utama nekat ke warung untuk membeli buku menggunakan beberapa bungkus permen hasil pemberian si penjual. Melihat ini, si penjual pun mencak-mencak marah, “Ya nggak bisa beli buku pakai permen!” Tapi, si tokoh utama tidak menyerah begitu saja sehingga terjadi eyel-eyelan (adu mulut) antara keduanya.

Dihantarkan menggunakan bahasa Jawa Banyumasan, dikenal pula sebagai bahasa ngapak, menjadikan perdebatan heboh yang menjadi bagian terbaik dari film ini terasa begitu lucu, bikin gregetan, sekaligus menyentil – potret dari penjual curang di sekeliling kita yang berusaha mengambil untung sebanyak-banyaknya dari pembeli. Sebuah penggambaran betapa cikal bakal timbulnya praktik korupsi pun bisa jadi berasal dari lingkungan yang telah kita kenal dengan baik: tidak berhubungan dengan nominal uang besar-besar maupun pejabat berpangkat tinggi. Penjual rumahan bisa melakukannya, bahkan kita pun bisa melakukannya.

Sebagai sebuah film yang ide dasarnya tercetus dari siswi SMP, “Langka Receh” menjadi menarik atas orisinalitasnya. Ketika rekan-rekan sebayanya umumnya berkoar-koar soal nasionalisme semu – pula konteksnya hanya sebatas pada kehidupan sekolah dengan hormat pada bendera dijadikan sebagai simbol – maka Miftakhatun dan Eka Susilawati berani bertindak lebih jauh. Cakupannya tidak terlampau tinggi-tinggi membicarakan negara, (lagi-lagi) nasionalisme, atau saudara sejenisnya, namun cukup mengupas fenomena yang telah dikenalnya secara baik, dijumpai setiap hari, hingga tanpa sadar telah mengakar sebagai kebiasaan. Itulah letak kekuatan dari “Langka Receh”. Bagusnya, ketimbang berdrama ria, si pembuat film justru menuturkannya secara polos apa adanya dan kocak sehingga tidak ada dahi mengerut sepanjang menyaksikan film. Yang ada, hanya deraian tawa.

Ingin menonton film “Langka Receh” di Kineria? Silakan kunjungi tautan ini.