21 Aug

Ulasan Film: “Konjak Julio”

Referendum pemisahan diri Timor Timur dari Indonesia yang berlangsung pada tahun 1999 menyisakan cerita-cerita pahit di benak banyak keluarga yang dipaksa tercerai-berai lantaran keadaan. Sebagian eksodus ke daerah-daerah terdekat di wilayah Indonesia, sementara sebagian lain memutuskan mendiami tanah kelahiran yang telah beralih rupa menjadi negara republik baru, Timor Leste.

Seolah perpisahan ini belum cukup menyakitkan, bertahun-tahun berada di bawah terjangan konflik membawa kondisi serba memprihatinkan bagi warga sipil yang bermukim di sekitar dengan infrastruktur rusak parah, logistik relatif terbatas, ekonomi di bawah ambang batas, pendidikan tak memadai, hingga penyakit mengintai di mana-mana. Jauh dari kata nyaman, aman, apalagi ideal. Seolah kehidupan yang terpapar dalam opera sabun di televisi swasta nasional saban hari hanyalah angan-angan belaka, muskil terwujud.

Dalam keterkaitannya dengan isu pengungsian hasil perpecahan Timor Timur, beberapa sineas di Indonesia pun sempat mengemukakan kepeduliannya lewat beberapa film panjang yang meninjau betapa konflik berkepanjangan dan kehidupan para pengungsi ini memiliki latar kehidupan yang menarik untuk dikuliti. Dua karya yang berani mengapungkan permasalahan ini – meski dengan konsekuensi akan menjauhi unsur pop – adalah “Tanah Air Beta” karya Ari Sihasale dan “Atambua 39 Celsius” buatan Riri Riza. Pada dasarnya, kedua film ini memiliki pokok pembahasan yang kurang lebih serupa, berkelindan erat bersama konflik internal dalam sebuah keluarga. Hanya saja, apabila film pertama bercerita mengenai sebuah perjalanan menemui sanak saudara yang terpisah, maka film kedua cenderung menilik pergolakan batin (dan sosial) para tokohnya dalam sebuah kehidupan modern yang tidak juga membaik meski pertikaian telah usai bertahun-tahun silam.

Meli R. Hadjo melalui sebuah film dokumenter pendek yang berhasil lolos sebagai finalis Open Competition, Erasmus Huis International Documentary Film Festival 2013, “Konjak Julio”, pun tidak jauh berbeda. Masih memperbincangkan seputar nasib wong cilik – lebih khususnya pada satu keluarga – setelah Referendum belasan tahun lalu. Seperti kebanyakan keluarga lain, Anita Prego pun tidak lebih beruntung. Hijrah ke Indonesia memang memberinya sedikit keuntungan; ada fasilitas pemenuh kebutuhan sehari-hari berupa rumah, uang, dan beras dari pemerintah. Tapi, itu tidak bisa menggantikan kehilangan beberapa anggota keluarga – entah itu meninggal atau terpisah oleh wilayah – yang tentu menyesakkan. Pun demikian, meski latar kehidupan yang menaungi keluarga ini tentunya kelabu, Meli R. Hadjo beserta In Docs tak ingin mencoba mengeksploitasi kisah sedih mereka. Sebaliknya, justru kisah perjuangan dan penerimaan atas nasib lebih ditekankan dalam “Konjak Julio”.

Sesuai judul, “Konjak Julio” menempatkan seorang bocah keling berusia 8 tahun bernama Julianus Nunis Sarmento – atau akrab disapa Julio – sebagai sorotan utama. Di saat bocah-bocah seusianya mengisi waktu dengan menimba ilmu di sekolah, Julio justru memilih untuk bekerja. Menjalani profesi sebagai konjak, atau kondektur angkutan umum, Julio harus siap sedia sekitar pukul 8 pagi untuk berkeliling bersama angkot Imanuel memburu pelanggan hingga sore hari di kisaran pukul 4. Berdasarkan pengakuannya, tidak banyak uang yang diraihnya setiap hari, paling tidak 10 ribu rupiah. Hasilnya memeras keringat ini lantas dimanfaatkannya untuk membantu sang ibu yang kesulitan memeroleh pekerjaan setiap musim hujan berlangsung, meski hanya cukup untuk beli beras dan kue.

Lebih lanjut, si pembuat film pun turut melemparkan pertanyaan kepada Julio atas alasannya enggan kembali ke bangku sekolah. Dengan polosnya, dia memberikan jawaban, “Takut dimarahi guru.” Tapi, kemudian dia menambahkan walau tiada sesal baginya mengisi waktu bermainnya dengan bekerja, ada keinginan di dalam dirinya untuk melanjutkan pendidikan hingga jenjang lebih tinggi. Alasannya pun sederhana, untuk memperoleh ijazah agar lebih mudah baginya mendapatkan pekerjaan lebih layak bergaji memadai. Klise? Ya, tentu saja. Tapi, tentunya ini adalah jawaban wajar yang telah diantisipasi akan terlontar keluar dari seorang bocah. Sebuah sentilan halus pula bagi pemahaman mayoritas masyarakat negeri ini bahwa tujuan utama untuk bersekolah adalah memburu ijazah – ilmu berada di nomor sekian. Ketika ijazah telah berada di genggaman, maka segalanya akan mudah. Begitu saja, jarang ada yang lebih dari itu. Bukankah kenyataannya memang demikian adanya? Ah!

Sebagai sebuah tontonan dokumenter yang hanya berdurasi kurang dari 10 menit, “Konjak Julio” memang tidak memberikan banyak informasi terkait nasib pelarian Timor Timur era kini. Tapi, dari penuturan Anita maupun Julio, secara implisit dapat terlihat bahwa mereka tidak mendapat kemajuan signifikan meski masing-masing telah setidaknya menerima perpisahan tersebut secara legowo. Kehidupan susah dalam taraf penghasilan serba pas-pasan masih merajalela hingga akhirnya dianggap biasa, membuat cara satu-satunya agar tidak selalu dihantui rasa sakit maupun sesal adalah menerima kenyataan apa adanya, mau tidak mau.

Itulah yang ditunjukkan oleh si pembuat film melalui “Konjak Julio”. Bukan eksploitasi air mata lewat potret kemiskinan, namun lebih ingin menunjukkan kepada masyarakat Indonesia bahwa di belahan lain Indonesia – bukan melulu soal Jawa – masih ada masyarakat Indonesia yang kesulitan mendapatkan air (meski hanya sebotol), maupun memperbaiki taraf hidupnya hingga rela menggadaikan pendidikan.

Ingin menonton film “Konjak Julio” di Kineria? Silakan kunjungi tautan ini.