21 Aug

Ulasan Film: “Gending Tengah Malam”

Tidak seperti dalam film panjang, genre horor bisa dibilang kurang populer di semesta film pendek. Terbatasnya lahan untuk komersialisasi dan minimnya festival film yang mengkhususkan diri untuk berkecimpung di genre ini – nyaris seluruhnya berada di negara lain – menjadi kendala utama. Sineas enggan mengambil resiko, lebih memilih mengeksplorasi kemampuan diri di ranah lain. Akibatnya, begitu sulit menjumpai film pendek yang bermain-main dengan para memedi di Indonesia. Jumlah yang dipertontonkan ke khalayak ramai setiap tahunnya bisa dihitung menggunakan jari tangan. Itulah mengapa, ketika ada satu yang menonjol, perbincangan di antara para pecinta film pun seolah tak akan menemui titik ujungnya.

Dedy Syahputra berpotensi menggiring film arahannya, “Gending Tengah Malam”, ke arah itu – menjadi bahan pembicaraan mengasyikkan bagi mereka yang mengapresiasi film pendek. Komposisi yang dipersiapkan mengingatkan pada “Titisan Naya” milik Riri Riza, atau jika diperkenankan mencatut film panjang sebagai referensi, maka “Keramat” garapan Monty Tiwa muncul pertama kali ke permukaan.

Selayaknya kedua film tersebut, Dedy membenamkan elemen budaya Jawa kental ke dalam tuturan penceritaan yang nantinya berfungsi sebagai alat pemicu ketakutan; rumah Joglo, tari-tarian, dan suara gending. Ketiganya memang kerap dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat mistis bagi masyarakat Jawa tulen, khususnya yang bermukim di Yogyakarta dan sekitarnya. Ketika sayup-sayup terdengar suara gending di tengah malam, hampir bisa dipastikan Anda tengah menerima ajakan untuk berpesta ria dari … ah, sudahlah.

Memiliki pengalaman tak mengenakkan dengan suara gending kala bermalam di rumah kerabat, membuat saya sedikit banyak menaruh perhatian terhadap “Gending Tengah Malam” yang berceloteh seputar peristiwa aneh yang menimpa seorang pemuda bernama Prasetyo (Qausar Harta Yudana). Sepeninggal kedua orang tuanya, Prasetyo kembali ke kampung dan mendiami sebuah rumah tua milik keluarganya. Sejak malam pertama menjejakkan kaki di rumah ini, keganjilan telah menyambut kedatangan Prasetyo. Dimulai dari terdengarnya suara gending pada tengah malam yang berlanjut pada hadirnya sesosok wanita misterius berlenggak-lenggok membawakan tari Bedhaya. Siapa dia? Berdasarkan keterangan yang dihimpun dari Larasati (Tika Meyditha), sang penjaga rumah, belakangan diketahui bahwa rumah tersebut dihuni hantu dari masa lalu yang berniat untuk menuntut balas dendam.

Terkesan menjanjikan, bukan? Bahkan ketika masih dalam bentuk premis, “Gending Tengah Malam” pun telah begitu mengundang. Terlebih lagi, apabila berada dalam penanganan sineas yang tepat, budaya Jawa dan film horor adalah kombinasi tepat yang  akan menghasilkan sebuah sajian mencekam. Rasa penasaran pun tersemat kepada film ini, berharap Dedy Syahputra mampu menaklukkan gagasan hebat yang diusungnya. Akankah “Gending Tengah Malam” menjelma sebagai sebuah tontonan yang senantiasa diperbincangkan setiap kali topik “film pendek seram” dibuka dalam percakapan, atau ini akan menjadi film horor generik lain yang sekadar memiliki premis menjanjikan tanpa beranjak kemanapun? Untungnya (atau justru sayangnya), “Gending Tengah Malam” tidak bergabung dalam kategori manapun. Posisinya berada di tengah-tengah.

“Gending Tengah Malam” jelas bukan film yang buruk. Sama sekali bukan. Bahkan, langkah berani yang ditempuh oleh si pembuat film dengan menghasilkan sebuah karya yang (bisa jadi) sulit diterima oleh mayoritas programmer festival film di negeri ini patut untuk diapresiasi. Akan tetapi, tentu saja keberanian tidak cukup dijadikan sebagai modal dalam menghadirkan tontonan yang mengesankan. Dibutuhkan skrip dengan guliran kisah yang solid, performa gemilang dari jajaran pemain, dan departemen teknis yang saling menopang satu sama lain. Ditilik dari sisi naskah, “Gending Tengah Malam” sebetulnya mempunyai potensi bagus untuk hadir sebagai tontonan yang menggigit. Hanya saja, film terasa timpang di sektor lain, terutama penggunaan musik latar.

Problem paling mendasar yang hinggap di nyaris setiap film horor buatan dalam negeri adalah musik latar yang berisik. Dimaksudkan untuk membuat penonton terperanjat, musik mengagetkan pun didentumkan hampir setiap menit, sehingga hal ini malah terasa sangat menjengkelkan. “Gending Tengah Malam”, sayangnya, melakukan kesalahan serupa. Nuansa menggelisahkan dan tak nyaman yang menghadirkan sensasi deg-degan cukup berhasil terbangun di menit-menit awal, lalu pada akhirnya malah roboh seketika saat musik kelewat sering mendominasi. Apakah si pembuat film tidak percaya diri sehingga merasa perlu memanfaatkan audio untuk memberi efek seram terhadap sejumlah adegan? Seandainya Dedy Syahputra lebih bergantung pada atmosfer, maka bisa jadi hasil akhirnya lebih menghentak.

Mengesampingkan betapa “Gending Tengah Malam” masih patuh pada konvensi film seram Indonesia yang cenderung meneror telinga, dan adanya kekurangan teknis yang sedikit banyak mengganggu – dubbing tak mulus berbentuk ucapan dan gerak bibir tak muncul di saat bersamaan –, “Gending Tengah Malam” tetap tersaji sebagai sebuah hidangan yang cukup nikmat. Teror awal yang menandai terdengarnya suara gending untuk pertama kali di layar terbilang mengusik. Nuansa rumah Joglo yang sunyi senyap dengan pencahayaan remang-remang pun memunculkan perasaan tak nyaman dalam diri, begitu pula penampakan dari penari wanita misterius. Hiiii…. Memang sederetan teror dan keganjilan dalam “Gending Tengah Malam” ini tak menawarkan sesuatu yang segar, tetapi dalam urusan menakut-nakuti, usaha Dedy Syahputra masih terbilang efektif.

Ingin menonton film “Gending Tengah Malam” di Kineria? Silakan kunjungi tautan ini.