03 Feb

Ulasan Film “Hanacaraka”

Bagi masyarakat Indonesia yang tumbuh berkembang di Jawa tentu tidaklah asing dengan Hanacaraka, tetapi bagi mereka yang hanya sedikit tahu mengenai budaya Jawa mungkin akan bertanya-tanya, apa sih Hanacaraka? Well… secara ringkas, Hanacaraka adalah aksara turunan dari aksara Brahmi yang digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, bahasa Makassar, bahasa Madura, bahasa Melayu, bahasa Sunda, bahasa Bali, dan bahasa Sasak. Aksara ini memiliki 20 huruf dasar, 20 huruf pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, 8 huruf utama, 8 pasangan huruf utama, lima aksara swara (huruf vokal depan), lima aksara rekan dan lima pasangannya, beberapa sandhangan sebagai pengatur vokal, beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, dan beberapa tanda pengatur tata tulisan.

Hanacaraka

Sayangnya, aksara yang seharusnya dilestarikan sebagai warisan budaya Jawa ini perlahan tapi pasti mulai tergerus keberadaraannya akibat modernisasi di setiap lini kehidupan. Sebatas diajarkan di bangku sekolah – yang mana kini pun mata pelajaran Bahasa Jawa kian dianggap tidak penting – tanpa ada pengaplikasian yang nyata. Satu-satunya cara Anda menemukan keberadaan aksara ini adalah saat berkunjung ke Jogjakarta atau Solo, dimana beberapa penunjuk jalan masih mempertahankan penggunaan aksara Jawa, atau kala bertandang ke situs-situs peninggalan masa lampau. Selain itu, yah… melalui internet. Mustahil menemukannya di sekitaran masyarakat madani di Jawa yang bahkan bisa jadi tidak lagi mengenalnya. Sungguh sesuatu yang terbilang ironis, bukan?

Kenyataan tidak bisa berbohong, memang seperti itulah adanya. Di kalangan anak muda yang masih menimba ilmu di sekolah, Hanacaraka adalah semacam momok. Bentuk aksaranya yang unik (pula banyak) serta adanya beragam peraturan penggunaan yang rumit menuntut kinerja ekstra bagi para pelajar untuk menghafalkannya. Tingkat kesulitannya yang menandingi rumus-rumus di mata pelajaran eksakta maupun grammar dalam Bahasa Inggris, menjadikan aksara Jawa tak terlampau diminati terlebih jika tidak memiliki niatan untuk mengabdi sebagai pengajar di mata pelajaran Bahasa Jawa. Sedangkan di kalangan umum, tidak lebih baik. Keberadaan aksara Jawa telah diletakkan dalam posisi tak penting dalam kehidupan lantaran dianggap kuno, bukan lagi zamannya. Menyedihkannya, tak sedikit pula yang kerap mengasumsikannya sebagai sesuatu yang berbau klenik dan bersifat mistis. Duh.

Memanfaatkan dasar fenomena inilah, Yasin Hidayat yang merupakan salah satu anggota di ekstrakurikuler Sawah Artha Film dari SMP Negeri 4 Satu Atap Karangmoncol dengan jejak rekam membanggakan – menghantarkan salah satu film garapannya, Pigura, ke Festival Film Indonesia – mencoba berucap dalam ‘Hanacaraka’. Problematika di dalam film mencuat disebabkan ujian Bahasa Jawa yang menyelipkan ancaman: siapapun yang perolehan nilai ujian di bawah 60 harus menulis aksara Jawa sebanyak 10 kali. Tak ingin terjebak di ‘kamp karantina’ ini, dua pelajar pun memutuskan untuk mengambil jalan pintas, mencontek. Sialnya, persediaan kertas yang umumnya dijadikan sebagai medium contek mencontek tak lagi tersisa. Tanpa kehilangan akal, keduanya menggunakan batu adas. Diukir aksara Jawa di atasnya. Sebagai percobaan awal, mereka menuliskan aksara Jawa dari Kartini.

Merasa hasilnya buruk, salah seorang dari mereka membuang batu tersebut sekenanya. Ndilalah, batu mendarat di sebuah pohon beringin keramat dan ditemukan oleh orang tua dari si bocah yang tengah meminta pesugihan agar barang dagangannya laris manis. Batu dianggap sebagai jimat pesugihan pemberian dari arwah leluhur. Melihat kekonyolan ini – dimana banyak orang lantas berbondong-bondong datang ke tempat tersebut – kedua bocah tersebut pun memanfaatkan keadaan untuk berusil-usil ria. Menjumput batu sebanyak mungkin sebagai bahan persediaan, beberapa aksara Jawa pun kemudian diukirkan di batu-batu tersebut. Setelah dirasa siap, mereka pun melemparkan batu-batu berukir ini ke orang-orang yang tengah meminta-minta jimat pesugihan. Sebagai pelengkap dari aksi iseng, mereka pun turut melemparkan sebuah buku Pepak Bahasa Jawa yang memuat pengenalan terhadap huruf Jawa Hanacaraka.

Seperti halnya karya-karya dari Sawah Artha Film yang lain semacam ‘Pigura’ maupun ‘Langka Receh’, tuturan kisah dalam ‘Hanacaraka’ pun tak jauh-jauh dari kehidupan keseharian. Memotret fenomena sosial yang berkembang di lingkungan sekitar si pembuat film – maupun sebagian besar dari kita. Dalam hal ini, masih adanya kepercayaan bahwa sebuah tumbuhan (yang dipercaya keramat) dapat memutarbalikkan nasib seseorang di kehidupan serba modern. Lucunya (sekaligus ironisnya), hal ini kian menjadi-jadi saat di sekitar tempat tersebut didapati sebuah benda dengan ukiran aksara jawa yang begitu random. Banyak yang menganggap bahwa aksara Hanacaraka ini erat kaitannya dengan dunia mistis, kerap dipergunakan sebagai jimat keberuntungan. Hanya bisa tertawa geli sekaligus pahit menyaksikan apa yang dijabarkan oleh Yasin Hidayat di sini karena memang masih banyak masyarakat di sekitar yang mempercayai hal seperti ini.

Menjadi ironis lantaran aksara Hanacaraka tidak pernah lepas dari pengajaran Bahasa Jawa di sekolah… selama 12 tahun! Lalu, kemana perginya kemampuan membaca aksara Jawa hingga tak menyadari bahwa ukiran di batu tersebut tertulis Kartini? Dimana letak mistisnya Kartini? Apakah ini berarti pemberian dari R.A. Kartini? Tampak jelas bahwa banyak orang terlampau malas menjaga ilmu – atau mempelajari – aksara Jawa lantaran dianggap sebagai sesuatu yang tidak memiliki peranan penting, sepele, dan kuno sehingga tiada mengherankan saat banyak dari mereka yang terkena tipu-tipu mengatasnamakan dunia mistis karena kebodohan. Sisi inilah yang disoroti dan dikritik habis oleh Yasin Hidayat dalam ‘Hanacaraka’ lewat cara yang halus, santai, dan kocak, tapi tetap begitu menohok hingga ke dalam.