10 Feb

Ulasan Film “Salah Gaul”

Dalam obrolan keseharian di kalangan anak-anak muda, sering kita menjumpai istilah ‘alay’ dilontarkan. Penerapannya pada kalimat umumnya berkisar “gaya kamu itu lho alay banget!”, “jangan seperti anak alay deh!”, “nggak ah, itu kan alay banget!”, dan sebagainya-sebagainya. Seketika menimbulkan kepenasaran, apa sih yang dimaksud dengan alay? Membolak-balikkan Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk menggali informasi definisi paling tepat mengenai istilah ini tentu tidak ada gunanya karena penggunaan kata ‘alay’ sendiri baru berkembang beberapa tahun belakangan ini yang itu pun sebatas di ruang lingkup para remaja. Sementara mereka yang telah beranjak dewasa hanya menempatkan istilah ini di saat waktu senggang – semisal, katakanlah bersenda gurau bersama teman – dan nyaris tidak pernah membawanya ke jenjang lebih serius, kecuali untuk pemberitaan. Kalaupun memiliki keterkaitan dengan sesuatu ilmiah, maka itu bersifat penelitian terhadap fenomena ‘alay’ yang marak berkembang. Tujuan yang ingin dicapai kurang lebih adalah mencari pendefinisian paling tepat soal alay.

Salah Gaul

Memanfaatkan Wikipedia sebagai rujukan, alay adalah akronim dari anak layangan atau anak lebay. Secara penafsiran, alay merupakan sebuah stereotipe yang dipergunakan untuk menggambarkan seseorang (atau sekelompok orang) dengan gaya hidup cenderung bersifat norak, kampungan, dan serba tidak sewajarnya hanya untuk menarik perhatian khalayak ramai. Yang kerap dijadikan acuan dalam menentukan ke-alay-an seseorang adalah bahasa tulis yang dipergunakan saat menuliskan status di jejaring sosial atau pesan singkat di telepon genggam. Mendeteksinya pun terbilang mudah. Apabila penulisan sebuah kalimat ditemukan gabungan antara huruf besar dan kecil, huruf dengan angka maupun simbol, serta melakukan penyingkatan secara berlebihan, maka diagnosa bisa segera dilayangkan tanpa banyak berpikir panjang. Jika ingin mendapat kesimpulan lebih sahih, cara berbusana, berbicara, dan selera terhadap budaya populer pun perlu dicermati secara seksama pula mendalam. Seringkali, alayers (sebutan untuk para alay) memiliki trennya sendiri yang bisa jadi berbeda dari masyarakat kebanyakan yang menganggap dirinya gaul atau normal.

Wikipedia telah berbicara. Lantas, bagaimana tanggapan masyarakat umum – dalam hal ini, remaja usia belasan hingga dua puluhan awal di kota Surabaya – terhadap fenomena ini? Apakah mereka memiliki pendapatnya sendiri bagaimana seharusnya alay didefinisikan atau sekadar mengamini apa yang telah dirangkum di situs Wikipedia? Itulah yang ingin dicari tahu oleh dua sutradara muda, Abdul Razzaq dan Sahree Ramadhan, melalui film dokumenter pendek mereka yang berjudul ‘Salah Gaul’. Mempergunakan metode penceritaan berbentuk wawancara, si pembuat film menyeleksi narasumber berdasarkan isian terhadap kuesioner yang disebarkan secara acak ke sejumlah sekolah, kampus, atau tongkrongan gaul para remaja. Dalam durasi yang merentang cukup panjang hingga sekitar 17 menit, duo sutradara melontarkan beberapa pertanyaan-pertanyaan dari yang paling mendasar seperti ‘bagaimana kamu mengartikan alay?’ hingga semacam ‘dimana kamu bisa menemukan alay di Surabaya?’ atau ‘bagaimana kamu memandang alay sebagai salah satu fenomena sosial paling berkembang saat ini di Indonesia?.’

Narasumber yang kita lihat sepanjang film terdiri atas beberapa mahasiswa laki-laki yang sedang asyik nongkrong di warung pinggir jalan, penggandrung K-Pop, mahasiswi, presenter televisi lokal, hingga remaja usia belasan di sebuah SMA. Mereka lantas mengemukakan opini masing-masing seputar alay dimulai dari bagaimana mereka mengartikan istilah ini, memandang alayers dari sisi positif maupun negatif, sampai harapan kecil yang ingin mereka lihat dari alayers di masa mendatang. Menyesuaikan dengan pokok pembahasan, pangsa pasar yang disasar, dan usia pembuat film (beserta narasumber), maka ‘Salah Gaul’ pun dihantarkan secara ringan, jenaka, dan cenderung bernada cerah ceria – terkadang visualisasinya pun sengaja dibuat sealay mungkin dari sisi tulisan, sudut pengambilan gambar dan semacamnya – selayaknya para remaja. Hal ini sekaligus menjadi tujuan dari duo sutradara agar film dokumenter yang seringkali identik sebagai tontonan edukatif membosankan bisa lebih diterima di kalangan remaja. Tidak lagi menjadi momok yang sepatutnya dihindari.

Ya, sebagai sebuah film dokumenter, ‘Salah Gaul’ memang jauh dari kesan membosankan. Penonton yang akrab betul dengan dunia para alay, hanya sekadar tahu, atau bahkan pernah melewati fase ini bisa jadi akan terhibur menyaksikan film ini. Beberapa kali gelakan tawa akan terlontar terlebih saat Abdul Razzaq dan Sahree Ramadhan memberi pertanyaan jebakan yang mengarah pada “berarti kamu juga termasuk alay, dong?” dan membuat para narasumber salah tingkah. Ada yang menerima secara legowo, malu-malu mengakui, hingga penolakan habis-habisan dengan beragam pembelaan. Bisa dibilang, inilah bagian terbaik dari film. Memaksa penonton untuk berkontemplasi. Selama ini sering memberi prasangka kepada alayers entah ada sebab atau tidak, jangan-jangan ternyata diri sendiri pun termasuk bagian kaum alay di mata orang lain. Bisa jadi, kan? Karena itulah yang terlihat di beberapa narasumber bahwa mereka pun sejatinya juga tidak lebih ‘normal’ dari para alay. Masing-masing memiliki jiwa alay entah diakui terang-terangan atau disangkal tanpa ampun. Tapi seperti pertanyaan balik salah seorang narasumber kepada tim pembuat ‘Salah Gaul’, “apakah salah menjadi seorang alay?”. “Jika memang tidak merugikan orang lain, lantas mengapa menjadi alay adalah sesuatu yang begitu dipermasalahkan?”. Dipikir-pikir ada benarnya juga.