21 Aug

Ulasan Film: “Djanggal”

Entah disangkal habis-habisan atau diterima dengan ikhlas, tagline yang diusung oleh “Djanggal” betul adanya. Hidup memang kian aneh. Film pendek arahan Adyatma Abhirama ini merupakan gambaran dari kehidupan sehari-hari yang tingkat kewajarannya makin dipertanyakan dari hari ke hari.

Tidak perlu terlampau jauh memikirkan kejanggalan yang tercipta akibat campur tangan dari dunia gaib, manusia di sekitar pun dewasa ini terbilang ahli menciptakan sesuatu yang tidak biasa. Contoh terhangat, digunjingkan beragam lapisan masyarakat tanpa berkesudahan lantaran terlampau unik menjadi drama yang menyertai pemilihan presiden tahun 2014. Apakah ada dari Anda yang menganggap ini sebagai sesuatu yang, errr … biasa-biasa saja? Mungkin saja nyaris tidak ada karena “lelucon abad ini” dipenuhi beragam keanehan, kegilaan, dan (tentu saja) keganjilan.

Tapi, ah sudahlah, toh Adyatma Abhirama juga bukan memperbincangkan ketidakwajaran ini di dalam filmnya. Yang dicupliknya bukan menyentil keanehan di dunia politik, melainkan cenderung masalah sosial dan kemanusiaan. Bersama rekan-rekannya di Sinematografi Universitas Indonesia, si pembuat film menyoroti perilaku-perilaku aneh – beberapa orang bahkan berani melabelinya dengan menyimpang – yang sulit diuraikan penyebabnya secara detail (selain karena gila, tentunya), sesuatu yang bisa jadi kerap dijumpai di tempat-tempat umum.

Djanggal - PosterApakah Anda pernah dibentak-bentak seorang tak dikenal di terminal bis tanpa alasan yang jelas? Saya juga demikian. Bahkan peristiwa serupa pun sempat dialami saat mengantar orang tua berbelanja di pasar – dan hingga kini misteri itu tidak juga terpecahkan. Tampaknya, urusan-urusan serba janggal memang enggan menjauhi diri ini. Ugh.

Kurang lebih serupa dengan pengalaman tak menyenangkan yang saya hadapi, “Djanggal” pun bertutur. Bermula dari janji temu bersama pelanggan lewat telepon, seorang penjual barang online, Adam (Jagad Narendra), meluncur ke stasiun kereta api untuk melakukan transaksi secara langsung. Di kala menunggu sang pelanggan mengambil barang pesanan, Adam melihat kejanggalan di sampingnya dalam bentuk pengemis yang lantas memancing rasa penasarannya. Ia tidak melakukan tindakan ekstrem yang memancing perhatian orang sekeliling. Ia hanya menyebut beberapa jenis hewan maupun benda kepada orang-orang yang lewat di depannya.

Apa yang dimaksud oleh pengemis tersebut? Sekadar iseng-iseng berhadiah belaka, adanya guncangan kejiwaan, atau menyimpan pesan tertentu? Untuk mengobati rasa ingin tahu yang sedemikian tinggi, Adam pun lewat di depan si pengemis. Seperti yang sudah-sudah, lontaran satu nama benda pun diterima oleh Adam. Untuk sesaat, Adam menganggap ini tidak lebih dari ucapan acak, sampai dia memikirkannya lebih mendalam dan dibuat terkejut atas kesimpulan yang didapatnya.

Premis yang diusung oleh “Djanggal” ini menarik. Ada perkawinan antara kritik sosial dengan misteri yang lantas dibubuhi sedikit humor dalam adonannya saat dieksekusi menjadi bahasa gambar oleh si pembuat film, demi memberikan daya tarik lebih pada film. Memang, sebagai sebuah tontonan yang tujuan utamanya adalah memberikan hiburan, “Djanggal” telah memenuhi persyaratan yang dibutuhkan. Setidaknya ada sisi excitement yang tersematkan.

Pada beberapa menit awal penonton mungkin akan sedikit bertanya-tanya, “Apa sebetulnya yang ingin dicelotehkan oleh film ini?” Tapi ,seiring berjalannya durasi, tatkala si pengemis akhirnya mulai mengambil kemudi cerita secara penuh serta menunjukkan kejanggalan-kejanggalan yang membuat dahi mengerut sekaligus ke-kepo-an membuncah, barulah terpapar secara jelas gagasan yang ingin disampaikan oleh Adyatma Abhirama beserta tim melalui film.

Bagusnya, mengingat durasi penceritaan tergolong cukup panjang, Adyatma Abhirama pun memberikan humor ke dalam guliran kisah yang sedikit banyak ampuh menyingkirkan penonton dari kejenuhan. Melihat beberapa orang berseliweran di depan pengemis, lalu si pengemis mengucap “babi,” “kambing,” “ayam,” dan sebagainya, memberi tanda tanya besar. Ada rasa penasaran yang muncul sekaligus sedikit cekikikan, terlebih saat orang yang dikata-katain tersebut merespon.

Seperti halnya Adam, saya pun ingin tahu lebih lanjut apa sebetulnya maksud si pengemis. Ketertarikan semakin meningkat saat seorang gadis cantik – belakangan diketahui sebagai pelanggan Adam yang telah ditunggu-tunggu – mendapat sebutan paling layak diantara lainnya: manusia. Untuk sementara, ini membalikkan pada kesimpulan awal, si pengemis hanya bermain-main. Mengatakan apa yang ingin dikatakannya … secara acak.

Ada kecurigaan bahwa ini adalah sebentuk kritik dari si pembuat film, saat penilaian seseorang pada orang lain didasarkan penuh pada bentuk fisiknya saja. Lihat saja bagaimana si cantik disebut “manusia” sedangkan perempuan lain yang tak terlampau cantik dibilang “babi”. Diskriminasi karena penampilan, bukan begitu?

Lalu, setelah pertanyaan demi pertanyaan yang mulai terkumpul membutuhkan konfirmasi dari si pembuat film atas jawaban sesungguhnya dari kejanggalan-kejanggalan ini, sebuah pernyataan mencengangkan dipaparkan kepada penonton. Menepuk-nepuk pundak penonton secara lembut seraya membisikkan, “Tuh ‘kan, apa yang terlihat cantik di luarnya sampai-sampai penampilannya layak diberi pujian, tidak selalu berbanding lurus dengan apa yang tersimpan di lubuk hati terdalam. Bisa saja busuk.” Saya pun mengangguk-angguk mengerti (dan juga sepakat). Menyunggingkan pula senyum bahagia melihat ada kemajuan dari Sinematografi UI melalui film yang dibuat dengan apik ini. Well done!

Ingin menonton film “Djanggal” di Kineria? Silakan kunjungi tautan ini.