21 Aug

Ulasan Film: “Langka Receh”

Saya teringat kembali tatkala dulu tertawa ngikik berderai-derai ketika pertama kali menyimak “Langka Receh”. Film ini merupakan sebuah tontonan sederhana sarat makna yang sukses menyentil, tanpa pernah sekalipun terkesan ceriwis, yang ide dasarnya beranjak dari kehidupan sehari-hari.

Bersama dengan ratusan penonton yang menghadiri Malam Penghargaan di Festival Film Solo 2012, tepuk tangan riuh bergemuruh dihaturkan kepada dua pembuat film, Miftakhatun dan Eka Susilawati, atas kegemilangan mereka dalam menyalurkan kritik sosial dalam “Langka Receh” melalui cara yang jenaka, menghindari segala sesuatu berbau klise maupun menggurui, namun tanpa kehilangan esensi gagasannya.

Kemenangan berhasil mereka genggam kala itu. Bahkan yang lebih penting dari itu, “Langka Receh” pun berhasil memenangkan hati dari para penonton, terutama saya yang hingga kini selalu merekomendasikan film ini ke beberapa teman lantaran menganggapnya sebagai salah satu film pendek terbaik yang pernah dibuat. Read More

12 Jul

Ulasan Film: “Dunia Yang Lengang”

Di era ketika ponsel cerdas telah menjadi kebutuhan primer bagi pihak-pihak tertentu, dan jejaring sosial menjadi semacam candu yang tak bisa lagi dipisahkan dari keseharian, maka semakin mudah pula bagi masyarakat untuk mengutarakan segala unek-unek yang berkeliaran di pikiran. Kebebasan berpendapat sepenuhnya terjamin, walau masih ada pula yang mempersoalkannya, terlebih saat kepentingannya turut terusik – ini seringkali bergesekan dengan dunia politik. Kemewahan ini bisa jadi tidak didapatkan bila penguasa membelenggu kuat mulut-mulut yang aktif melancarkan kritik dan opini terhadap pemerintah yang tidak sehat. Sebuah masa yang suram bagi media (pula awaknya) serta sejumlah aktivis yang pemikiran kritisnya dikekang oleh aturan-aturan tak manusiawi (yang katanya) demi menjaga stabilitas negara.

Lucunya, meski masyarakat telah dipersilakan untuk melepas pemikiran-pemikirannya dewasa ini, selama itu bertanggung jawab tentunya, Read More

11 Jul

Ulasan Film: “Parkir”

Apakah Anda pernah menemui problem di tempat parkir? Berkonflik ria bersama kawan atau pasangan dipicu oleh masalah pribadi (atau hal lainnya), tersesat mondar-mandir kesana kemari penuh kebingungan, atau kehilangan sesuatu bersifat penting yang menjadi kunci utama agar bisa “meloloskan diri” dari tempat parkir adalah beberapa yang kerap dijumpai – atau bahkan dialami sendiri – di lahan parkir.

Rasa-rasanya, sebagian besar dari Anda pernah dihantam drama semacam ini saat memutuskan untuk menitipkan kendaraan pribadi ke pengelola pusat perbelanjaan (atau tempat lainnya). Semakin luas tempat Anda memarkirkan mobil atau motor, maka semakin besar pula kemungkinan bumbu kehidupan bercita rasa konyol ini menghampiri diri Anda seraya mengejek-ejek sifat alamiah manusia, pelupa dan ceroboh. Read More

12 Jun

Ulasan Film “Jalan Pulang”

Saat kata ‘badut’ dilontarkan dari mulut, apa yang pertama kali melintas di pikiran? Bisa jadi, setiap orang akan memiliki impresi dan pemaknaan yang berbeda-beda terhadap kata yang satu ini meski badut sendiri seringkali diasosiasikan sebagai sesuatu yang lucu, cerah ceria, dan membawakan banyak kegembiraan di suatu pesta ulang tahun. Mengesampingkan betapa ada banyak orang yang mengalami ketakutan (katakanlah, fobia) terhadap sosok ini, badut erat kaitannya dengan nuansa yang diliputi kebahagiaan – seperti pelawak penuh rias wajah. Akan tetapi, pernahkah terpikirkan bahwa badut tidak lebih dari manusia biasa yang mungkin saja kehidupannya tak seriuh pesta-pesta yang dihadirinya, tak selucu tindak tanduknya, dan tak seceria anak-anak yang dihiburnya sedemikian rupa? Bahkan, mungkin saja di balik segala canda tawa yang dikerahkannya, tersimpan rasa pilu yang teramat sangat di hatinya.

‘Jalan Pulang’ arahan Dharma Putra PN yang diproduksi oleh Sinematografi Universitas Indonesia, menampilkan kontras itu; seorang badut yang bertugas memberi keceriaan, memiliki kehidupan yang hampa dan monoton. Mengambil latar di sebuah lorong gang sempit pada malam hari, adegan pembuka ‘Jalan Pulang’ telah berbicara banyak. Seorang lelaki tua yang baru saja Read More

09 Jun

Ulasan Film: “Cinta Seharusnya”

Bagaimanakah perwujudan cinta yang seharusnya hadir mengelilingi orang-orang yang tengah kasmaran? Tidak ada formula baku yang memastikannya. Setiap individu bisa saja memiliki definisinya sendiri untuk menerjemahkan bagaimana cinta yang seharusnya mereka rasakan.

Di dalam film pendek arahan Andry Ganda yang berjudul “Cinta Seharusnya”, seperti inilah cinta yang seharusnya: mengingat orang terkasih bisa membuat tersenyum dan merasa bahagia, tak ada kebohongan maupun kemunafikan – hanya kejujuran, dan merasa nyaman di dekat orang terkasih tanpa ada kecurigaan sedikitpun.

Apakah Anda pun demikian? Menilik betapa rumusan yang diandaikan ada kala tengah merajut hubungan asmara ini cenderung bersifat umum, maka rasa-rasanya Anda pun menyepakati dan mendambakan kehidupan percintaan yang ideal semacam ini.

Tapi apakah ini semua benar-benar terwujud dalam “Cinta Seharusnya” atau sekadar wacana yang melayang di angan-angan? Hanya dengan berpatokan kepada judul, isi film ini seharusnya bisa dengan mudah tertebak, dan sekaligus menjawab pertanyaan sebelumnya: tidak. Apa yang dikuliti oleh sang pembuat film di sini adalah seputar perempuan remaja bernama Hanny (Liu Janice Puspasari) yang mengandai-andai jalinan asmara yang seharusnya dilaluinya. Ya, apa yang hinggap pada Hanny memang tidak sesuai dengan pengharapan. Cinta yang seharusnya terasa manis, malah justru terasa pahit. Cinta yang seharusnya membuatnya berbahagia, malah justru membuatnya bermuram durja. Cinta yang seharusnya membuatnya aman dan nyaman, malah justru membuatnya merasa senantiasa gelisah. Apa yang salah dengannya atau pasangannya, Tom (Albert Halim), sehingga segalanya tidak berlangsung seperti yang diimpikannya? Read More

26 May

Trivia Film: “Nagasari”

Apa yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswa tatkala ingin mengutarakan gagasan, keluh kesah, dan kekalutan mereka? Menggelar orasi, merangkai kata-kata berbentuk surat cinta, atau malah justru membuat film? Bagi dua mahasiswa asal Indonesia yang menimba ilmu di Vancouver, Kanada, Christopher Hanno dan Eduardus Pradipto, cara yang dianggap paling jitu adalah pilihan terakhir. Memanfaatkan medium film, keduanya melahirkan “Nagasari”, sebuah film fiksi pendek yang berceloteh secara lembut, hangat, sekaligus pahit mengenai retaknya sebuah keluarga mungil sepeninggal salah satu anggota keluarga.

Hal utama yang menjadi keunikan dari Film Daerah Terpilih versi Piala Maya 2013 ini adalah adanya balutan budaya Jawa dalam tatanan penceritaan yang berlatar di kota modern yang hiruk pikuk. Ingin tahu lebih mendalam soal proses kreatif dari “Nagasari”? Read More

26 May

Ulasan Film: “Nagasari”

Ada satu ucapan dari kerabat yang melekat erat di ingatan, “Sebuah keluarga akan menemui salah satu ujian terbesarnya tatkala tidak ada lagi yang memegang peranan sebagai ibu.” Ini ada benarnya. Sebagai seseorang yang kerap menjadi penjembatan antara ayah dan anak-anak, absennya sosok ibu berdampak pada timpangnya tatanan struktural dalam keluarga. Tidak ada lagi sosok yang memegang peranan penting sebagai pemersatu keluarga, memberikan kehangatan, serta cinta kasih. Tapi lebih dari itu, Read More

26 May

Profil Sutradara: Christopher Hanno

Tujuan yang diusung oleh Christopher Hanno kala menggarap “Nagasari” boleh dibilang mulia. Betapa tidak, pria lulusan University of British Columbia, Vancouver, Kanada, ini ingin memperkenalkan kebudayaan Indonesia kepada masyarakat internasional, khususnya Kanada. Semangatnya ini mencuat setelah Hanno, begitu dia akrab disapa, memperhatikan film-film negara lain, salah satunya Jepang, yang mencampurkan unsur kultural ke dalam tatanan penceritaan di film secara tepat guna.

“Negara lain, apalagi kayak Jepang, kulturnya sangat kuat dan mereka bisa berhasil membuat film dan nunjukin ke dunia tentang kebudayaannya. Indonesia mempunyai sangat banyak kebudayaan, tapi cara kemasnya Read More