26 Mar

Ulasan Film “The Unlovables”

Film tanpa komunikasi verbal langsung ini mungkin saja tampak terinspirasi dengan novel karangan Junot Diaz berjudul The Brief Wondrous Life of Oscar Wao. Novel yang pula meraih Pulitzer Award atau penghargaan tertinggi dalam bidang jurnalisme di Amerika Serikat untuk kategori fiksi pada tahun 2008.

Priesnanda Dwisatria, sutradara film ini, sempat memberi “mimbar” untuk novel tersebut. Ya, tepat di fragmen ketika si tokoh laki-laki terusik cumbu rayu satu pasangan yang sedang kasmaran di sebuah areal kampus. Hal yang saling memunggungi antara tabiat si tokoh dan realita lapangan.

Jika dalam The Brief Wondrous Life of Oscar Wao, Diaz menjabarkan bahwa tidak ada dominasi dalam dunia yang semakin sempit ini, di dalam keburukan pasti ada sebuah kebaikan, hal yang memang menjadi konsep awal dari pembuatan film macam Garuda Superhero atau film-film serupa jagoan versus penjahat. Nah, dalam The Unlovables, Priesnanda mencoba menggambarkan kesan paradoks tersebut dengan cara yang lebih gemulai.

Cinta, berangkat dari kata multimakna tersebut, film ini menampilkan dua karakter dengan kepribadian yang kontras. Karakter sang tokoh laki-laki yang dikesankan berantakan, introvert, dan malas meladeni remeh-temeh dalam sebuah hubungan antar lawan jenis, namun lucunya, ia malah bertemu dengan seorang perempuan yang membutuhkan perhatian berlebih, selfish, dan doyan dandan.

Priesnanda sebenarnya memulai film ini dengan dua karakter dan dua pertentangannya. Awal sekali ia mencoba mengkonstruksi opini penonton tentang karakter si tokoh perempuan, yaitu dengan bling-bling yang melingkar di tangannya, lensa kontak yang lumayan mempercantiknya, dan kacamata hitam yang tidak dijelaskan asli atau kw. Penampilan yang hmm…berlebihan untuk berkunjung ke sebuah kafe yang tampak biasa-biasa saja atau bertemu seseorang yang baru dikenal sekalipun.

Selepasnya, film ini memunculkan karakter si tokoh laki-laki dan masih berlatarkan salah satu bagian kampus. Diawali dengan tegur sapa tiga orang yang kelihatannya akrab, kamera lalu bergeser ke tokoh laki-laki tersebut yang memang berada tidak jauh dari “tongkorongan” ketiganya. Di situ, ia masih khusyuk seorang diri membaca novel yang agak kami bahas di awal artikel.

Keduanya yang melulu bercakap via Blackberry Messenger (BBM) pun hingga saat mereka akhirnya bersua tepat pada 16.20 di Kafe Koemal, menjadikan film ini resmi tanpa dialog verbal langsung. Walhasil, Priesnanda menggunakan subtitle berupa teks berwarna untuk membantu penonton mengetahui “apa sik yang mereka obrolin”. Tanpa teks tersebut, film ini mungkin hanya menjadi film yang berbentuk novel. Kontradiksi dari sebuah film (mungkin) adaptasi.

Huh! Benar-benar film bisu yang semu nan kontras.