12 May

Review : Bu

Berbincang mengenai tema abadi di dunia sinema Indonesia, maka itu tidak jauh-jauh dengan (salah satunya) adalah eksploitasi kemiskinan. Sineas dalam negeri ini begitu gemar berceloteh perihal duka nestapa dan penderitaan yang ‘sudah jatuh, tertimpa tangga, eh kejedot tembok, nyungsep ke got, kesamber petir pula’. Seolah-olah derita ini tak menemukan ujungnya. Memang bukan suatu tema yang bisa dibilang benar-benar salah (atau buruk) karena selama memeroleh penanganan yang tepat, tema yang berulang ini bisa menghasilkan sebuah tontonan yang menggigit dan menghentak. Selain itu, pemandangan semacam ini masih akrab dijumpai di lingkungan sekitar. Media film hanya sekadar dimanfaatkan untuk merekam keresahan atas kondisi yang masih saja tumbuh berkembang dengan subur ini. Salah satu sineas yang merasa resah, gelisah dan merasa perlu menyuarakan pendapatnya adalah Utha Renton. Dalam film pendeknya yang bertajuk Bu, Utha mengawinkan kemiskinan dengan harga diri dan kejujuran.

Berdurasi kurang lebih 15 menit, Bu berkisah mengenai seorang anak lelaki yang hidup merana bersama ibunya yang sakit-sakitan di sebuah rumah yang tersusun atas kayu, kertas, dan kardus. Meski menjalani kehidupan yang serba kekurangan, sang ibu senantiasa berpesan kepada anak lelakinya tersebut untuk senantiasa rajin menjalankan ibadah Sholat dan tidak pernah mencuri, meski kepepet sekalipun. Amanat dari sang ibu ini digenggam erat oleh si anak lelaki hingga… ajal menjemput sang ibu. Luntang lantung tanpa memiliki seorang terkasih untuk diajak berbagi, si anak lelaki menjumpai permasalahan lain pada hari tersebut; sekelompok anak nakal merundungnya. Mereka melakukan kejar-kejaran kesana kemari yang menemui titik klimaksnya di sebuah gerbong kereta api kosong dekat stasiun. Pengejaran ini kembali terulang saat si anak lelaki tergoda untuk mencuri sebuah koper berisi uang. Pada saat itu, amanat sang ibu dikhianatinya.

Berbincang mengenai pembaruan, Bu tidak memiliki itu. Film masih setia mengikuti pakem lawas yang biasanya dianut film sejenis dan (lagi-lagi) menawarkan penderitaan yang ‘sudah jatuh, tertimpa tangga, eh kejedot tembok, nyungsep ke got, kesamber petir pula’. Si anak lelaki yang menjadi protagonis utama digambarkan sebagai tokoh yang senantiasa diterjang prahara tak berkesudahan. Tidak ada kebahagiaan yang bisa dicicipinya selama durasi film mengalir. Tampaknya, si pembuat film masih merasa ini adalah sebuah cara yang efektif untuk membuat penonton turut terhanyut, terenyuh, dan terpikat kepada film. Untuk sebagian penonton, bisa jadi tatanan penceritaan semacam ini masih memberi dampak yang memicu munculnya simpati, tetapi untuk sebagian penonton lain, apa yang dijabarkan dalam Bu ini bisa jadi malah terasa menjemukan karena keberulangan tema yang tidak menawarkan sesuatu yang segar.

Yang menjadi permasalahan utama dalam Bu adalah serangkaian peristiwa yang terjadi di dalam film hanya sempat diceritakan esensinya semata, atau konsekuensinya, tanpa ada kesempatan yang cukup untuk mengelaborasi atau menampilkan proses. Segalanya berjalan terburu-buru sehingga film pun menjadi selayaknya sebuah sketsa yang menampilkan sentimentalitas belaka. Dengan durasi yang terbilang cukup, Utha tidak memberikan penjelasan mendasar tentang ‘siapa dua protagonis ini?’ yang seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai ajang mengakrabkan diri antara penonton dengan film. Lebih lanjut, hubungan keduanya pun nyaris tak pernah mendapat kesempatan disoroti sehingga saat Ibu dalam kondisi kritis sulit bagi saya untuk menaruh simpati. Malah, durasi dihabis-habiskan untuk adegan kejar-kejaran antara si anak lelaki dengan para anak nakal yang seharusnya bisa diringkas atau malah dihilangkan sama sekali karena tidak memiliki pengaruh yang terbilang signifikan terhadap pergerakan cerita di dalam film itu sendiri. Selain itu, dengan adanya adegan kejar-kejaran (lagi) yang melibatkan si anak lelaki dengan pemilik koper uang yang berlangsung pada klimaks film, maka apa yang ditampilkan lebih akhir terasa redundan dan berpanjang-panjang. Apa yang sedemikian penting dari adegan kejar mengejar menyusuri gerbong kereta dan gang-gang sempit sehingga si pembuat film merasa perlu memberinya porsi durasi yang berlebih-lebih, jauh melampaui apa yang disediakan untuk membangun keintiman penonton dengan para protagonis di film? Pertanyaan inilah yang menghantui saya selama menyaksikan Bu.

Pun demikian, mengesampingkan sejumlah kekurangan di aspek naskah, sebagai sebuah karya, Bu masih tetap layak untuk diberikan apresiasi dari segi pesan yang ingin diutarakan oleh si pembuat film walau penyampaiannya yang kelewat verbal membuatnya terkesan menceramahi. Ya, Bu ingin membagi pesan kepada para penontonnya, “seberat apapun masalah yang menimpamu, jangan pernah sekalipun mengambil hak yang dipunyai orang lain. Berlakulah jujur dan senantiasa perbanyak amalan ibadah, niscaya Tuhan akan membukakan jalan keluar yang terbaik.” Dengan gaya tutur semacam ini, Bu mungkin akan lebih terasa tepat dan cocok untuk dipertontonkan kepada anak-anak usia SD hingga SMP. Setidaknya, oleh target usia ini (di bawah bimbingan penonton usia dewasa, tentunya), Bu akan terasa lebih mengena, memikat, dan gagasan yang ingin disampaikan pun tentunya akan lebih merasuk.