23 Apr

Trivia Film: “Moriendo”

Poster "Moriendo"

“Moriendo” membawa angin segar dalam dunia film animasi di Indonesia yang cenderung bergerak statis. Tidak hanya mampu menghadirkan teknik visual animasi yang tergolong apik, film arahan Andrey Pratama ini pun berani berinovasi dalam tatanan pengisahan dengan alur cerita yang keluar dari zona nyaman film animasi pendek Indonesia. Salah satu yang unik dari pemenang Film Animasi Pendek Terbaik Pilihan Media di XXI Short Film Festival 2013 ini adalah pandangannya terhadap kematian yang berbeda. Ingin tahu beragam kisah unik di belakang layar film “Moriendo”? Berikut adalah sepuluh trivia film “Moriendo”.

1. Tugas Akhir

“Moriendo” digarap oleh mahasiswa jurusan Animasi angkatan 2008 di Universitas Bina Nusantara, Andrey Pratama. Pada awalnya, film yang merupakan bagian dari tugas akhir sang sutradara ini hanya dikerjakan oleh Andrey untuk memenuhi syarat kelulusan. Belakangan, dia mempertimbangkan potensi “Moriendo” untuk berkompetisi di festival-festival film. Proses pembuatan yang berlangsung selama empat bulan pun dipersiapkan secara matang.

2. Memecah Matahari

Diminta untuk membuat sebuah film yang mempunyai muatan lokal, Andrey Pratama tertarik mengangkat sebuah cerita rakyat yang berasal dari Papua, “Memecah Matahari”.
“Ceritanya itu dulu di Papua nggak ada yang namanya bulan, adanya hanya matahari. Saat malam, matahari ketutup oleh awan sehingga gelap gulita. Suatu hari, seorang anak berpikir buat mecahin matahari supaya saat malam mereka bisa diterangin oleh matahari. Nah, ini secara nggak langsung seperti cikal bakal munculnya bulan. Matahari dipanah, pecahan yang besar menjadi bulan sementara pecahan yang kecil-kecil jadi bintang-bintang,” ungkap Andrey.

Akan tetapi, rencana dalam menerjemahkan cerita rakyat ke dalam bahasa gambar ini pun terpaksa diurungkan karena Andrey tidak memiliki cukup dana dan banyak waktu untuk mengumpulkan informasi seputar “Memecah Matahari” ke Papua.

Poster "Moriendo"3. Lelaki yang Membelah Bulan

Gagal mengadaptasi “Memecah Matahari”, Andrey Pratama pun kembali berburu di toko-toko buku untuk menemukan sumber cerita lain. Setelah pencarian selama dua bulan, perhatiannya tertambat kepada sebuah buku kumpulan cerpen dengan sampul berwarna merah muda berjudul “Lelaki yang Membelah Bulan” karangan Noviana Kusumawardhani.

Usai membaca buku tersebut, Andrey pun lantas menghubungi sang pengarang untuk meminta restu memvisualisasikan salah satu cerita buatannya. Kebetulan, Noviana Kusumawardhani memang tengah mencari animator untuk mengangkat cerita buatannya ke dalam film, sehingga Andrey memperoleh izinnya dengan mudah.

Andrey Pratama kembali mengubek-ubek buku “Lelaki yang Membelah Bulan” guna mencari cerita pendek yang dianggapnya paling menarik, tidak memiliki banyak tokoh, dan mempunyai interaksi yang terbilang unik. Pilihannya jatuh kepada cerita pendek berjudul “Sebuah Pagi dan Seorang Lelaki Mati”.

4. Karya Sastra

Salah satu yang mendasari Andrey Pratama dalam memilih sumber cerita adalah keinginannya untuk mengangkat dan mengapresiasi karya sastra Indonesia. Andrey ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa masih ada novel karya penulis Indonesia yang memiliki daya magis dan jalinan pengisahan yang berbeda, tidak hanya sebatas teenlit, maupun kisah berlatar reliji semata.

5. Memento Mori

Setelah menemukan cerita, Andrey Pratama menghadapi proses sulit lainnya, menentukan judul. “Sebuah Pagi dan Seorang Lelaki Mati” dianggap terlalu panjang dan kurang catchy oleh Andrey untuk digunakan sebagai sebuah judul film animasi. Maka, sang sutradara pun mencari judul alternatif. Yang pertama terlintas di pikiran adalah “Uban”. Judul ini merujuk kepada salah satu tokoh di film yang satu per satu helai rambutnya berubah menjadi putih setiap kali dia mencabut nyawa manusia.

Dianggap masih tidak menarik, pencarian pun berlanjut hingga akhirnya, Andrey Pratama teringat kepada salah satu judul film arahan sutradara favoritnya, Christopher Nolan, yakni “Memento” (2000). Andrey mengumpulkan berbagai informasi seputar kata yang merupakan kependekan dari Memento Mori ini melalui Wikipedia yang kemudian menuntunnya kepada sebuah frasa berbunyi “moriendo renascor” yang berarti, “in death I am reborn” (dalam kematian aku terlahir kembali).

“Arti dari judul tersebut sinkron dengan apa yang diceritain di cerpen tersebut, di dalam kematian aku hidup. Mungkin maksudnya setelah manusia meninggal semuanya masih belum selesai atau seseorang merasa hidupnya lebih berarti setelah dia meninggal,” paparnya.

Meski sempat mengalami pergulatan batin dengan judul ini karena dianggap “sangat tidak Indonesia”, Andrey akhirnya mantap untuk bertahan. Judul yang semula berbunyi “Moriendo Renascor” pun dipotong menjadi “Moriendo” yang memiliki arti “dying” (sekarat).

6. Metafora

Sebagai sebuah tontonan, “Moriendo” memang bukan tipe yang mudah dilahap. Sang sutradara sendiri mengakui bahwa film buatannya ini merangsang penonton untuk berkonsentrasi dan memainkan daya pikir. Penyebabnya, “Moriendo” kerap menggunakan metafora dalam menceritakan kisahnya. Salah satunya, menyinggung soal hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta.

“Saya pengen bikin metafor di film ini. Kadang saat manusia berharap sesuatu kepada Yang Di Atas, Yang Di Atas tidak memberikan sesuatu yang diharapkan demi kebaikan manusia itu sendiri,” ungkapnya.

7. Christopher Nolan

Tatanan penceritaan yang dianut oleh “Moriendo” berbeda dengan kebanyakan film animasi pendek lain karena cenderung bergerak dengan gaya nonlinear. Ini disengaja, lantaran Andrey Pratama tengah jenuh dengan film yang mempunyai alur cerita linear. Dia ingin melakukan eksperimen dan memberi pengalaman menonton yang berbeda kepada masyarakat.

“Kalau directing, saya lagi bosen dengan yang linear storyline jadi bikinnya yang looping. Mungkin influence ke Christopher Nolan, secara nggak sadar ke “Inception”. Pengennya biar saat nonton, orang nggak cuma nonton tapi juga ikut berpikir,” tukasnya.

8. Mimpi

Dalam membuat desain karakter untuk “Moriendo”, Andrey Pratama ingin membuat sebuah karakter yang terlihat menyeramkan, tetapi di sisi lain juga tampak bersahabat. Proses penciptaan karakter ini membutuhkan waktu selama satu bulan.

“Saya pengen supaya saat orang melihat karakter ini mereka juga inget melihatnya dari film apa. Buat nyiptainnya, saya juga belajar banyak soal anatomi wajah dan apa yang berkaitan dengan kematian,” Andrey berbagi cerita.

Kebetulan saja, inspirasinya muncul dalam bentuk mimpi. Suatu malam saat sedang tidur, sebuah siluet melintas di mimpi Andrey. Andrey yang selalu mempersiapkan buku dan alat tulis di samping tempat tidurnya langsung membuat sketsa gambar keesokan harinya berdasarkan siluet yang dilihatnya di alam mimpi.

9. Patrick Rundbladh

Salah satu yang menjadi kekuatan dari “Moriendo” adalah musik latarnya yang indah, melodius, dan menyatu ke dalam setiap adegan. Andrey Pratama berterima kasih kepada seniornya di Bandung yang bernama Chandra Wijaya Setiawan dan Surya Darmadi yang menghubungkannya dengan sosok paling bertanggung jawab atas musik latar yang apik ini, Patrick Rundbladh. Patrick sendiri merupakan seorang musisi asal New York yang sebelumnya telah terbiasa menangani pembuatan musik untuk games.

10. Lima Konsep Gambar

Tidak mudah menemukan komposisi yang tepat dalam merancang bentuk tampilan karakter di “Moriendo”. Andrey Pratama mengakui, setidaknya ada lima konsep gambar yang dipersiapkan sebelum jadi seperti yang telah Anda saksikan seperti sekarang ini.

“Saya nggak ngerasa langsung puas saat udah nemuin bentuk karakternya, masih terus di-develop sampai ada sekitar lima konsep gambar. Untuk style, jujur saya nggak tahu dapet pengaruh dari mana. Yang jelas, pokoknya kelihatan keren dan unik,” bebernya.

Ingin menonton film “Moriendo” di Kineria? Silakan kunjungi tautan ini.