02 Apr

(Not a) Good News from Indonesia

PosterRetorika normatif Pak Susilo yang makin ke sini makin bikin kangen saja, menjadi mukadimah film bergenre dokumenter ini. Pidato resmi kenegaraan ihwal Pilpres 2009 yang disampaikannya dengan kalem dan runtut dibiarkan oleh Wawan Sumarmo, empunya film, menjadi sebuah narasi pembuka. Lha kan belum genap setahun kita-kita ditinggal beliau, masak sudah sebegitu kangennya? Ya, sayang memang, cuap-cuap-nya yang tampak tegas nan “terbungkus” macam itu sudah kadung menjadi terapi bagi kami-kami yang seringkali mengalami sulit tidur. Hal yang relatif tak terdapati pada “imam” kita sekarang yang entah sedang ada di mana, Pak Joko. Kebalikannya Pak Susilo, Pak Joko memiliki gaya komunikasi pauletics yang lebih low context dengan aksen Jowo yang kental serta ditunjang kerenyit dahi yang melambangkan setiap penekanannya. Tapi Pak, Bapak mungkin sudah boleh memikirkan untuk meng-hire seorang juru cakap.

Obrolan politik ala warung kopi yang mundur membahas dan menimbang era-era presiden terdahulu, berakhir dengan pertanyaan bernada pesimistis. Hingga keesokan paginya timbul pernyataan, golput bukan sesuatu yang apatis jika Anda hadir ke TPS dan mencoblos semua kandidat pasangan capres-cawapres, itu sah, ya, kata Delly. Menutup pembukaan film adalah genjrengan dan lengkingan Imam Besar The Panas Dalam, Pidi Baiq, yang iringi segelintir rakyat—yang mungkin sedang pusing dan lapar—dicekok bualan para politisi yang tengah baku mulut demi tampuk tertinggi negeri ini, hingga kirab dan geliat kampanye terbuka partai-partai politik pengusungnya.

Agak aneh rasanya bila sebuah kemenangan politik—di Indonesia khususnya—tidak mengundang polemik. Kemenangan satu putaran SBY-Boediono saat itu pun tidak begitu saja diterima lawan-lawan politiknya. Seperti resiprokal SBY-Mega yang difilmkan, di beberapa bagian film ini, pernyataan antar keduanya saling menelingsut.

Berseberangan dengan Delly, ada yang namanya Odong. Berangkat dari pernyataan truistis yang intinya “5 menit untuk 5 tahun”, ia menilai mencak-mencak-nya orang yang golput atas hasil Pemilu melambangkan sebuah kemunafikan. Berlatarkan kehidupan bank, Odonk memang lebih realistis matematis memandang Pemilu kala itu.

Ke-alhamdulillah-an hidup Odong dan keruwetan hidup Delly dalam sistem alih daya, seakan menjadi representasi jurang pemisah yang masih kejadian di negeri kita tercinta ini. Ya, negeri yang baru mulai berkutat soal perencanaan dan penanggulangan di saat telah terjadi pengeboman dan kelangkaan. Seruan ‘MERDEKA!!!’ yang masih dianggap seksi saat yang lain sedang menunggu giliran untuk bermigrasi ke Mars.

Tidak lupa, Odong dan Delly pun punya pesan moral yang ditegaskan kepada para pemirsanya. (Mario) Odong memberi kisi-kisi bagaimana agar mendapatkan pekerjaan di Jakarta, kalau Delly (Teguh) menekankan pentingnya bermimpi dan berjuang dalam hidup, bahkan saat sedang dipersulit keadaan sekalipun.

Peliknya kehidupan negeri ini memang sangat terasa dalam cuap-cuap Odong dan Delly. Melek negara yang hanya berujung pada “obrolan warung kopi” belum cukup mampu menyentil para birokrat nakal untuk benar-benar menjadi benar. Sebuah negeri yang masih setengah merdeka dan belum siap berdemokrasi. Borok menahun yang belum ditemukan penawarnya.

Hmmm…mungkin saja akun @GNFI aka Good News from Indonesia bakal sebal dengan Nominator Dokumenter Pendek Terbaik Piala Citra FFI 2009 ini, kenapa tidak? Jika kita menyimak film ini hingga tuntas, tidak ada satu pun hal positif tentang negeri ini yang ditampilkan, melulu jelek. Ya, Indonesia, meminjam cuitan Andibachtiar Yusuf yang isinya kurang lebih seperti ini, “Negara relijius yang mengucap ‘Bismillah’ dulu sebelum korupsi dan jika tertangkap dianggap sebagai cobaan dariNYA”.