02 Mar

Ulasan Film “Senyawa”

Film Senyawa

Bagi masyarakat yang bermukim di perkampungan padat penduduk, ketenangan adalah semacam kemewahan yang begitu sulit digapai. Betapa tidak, semenjak roda aktifitas bergulir sesaat setelah Adzan Subuh berkumandang, bunyi-bunyian berasal dari berbagai sumber – bocah-bocah heboh bermain, pertikaian suami istri yang meledak-ledak, lengkingan suara penjaja makanan keliling, kendaraan bermotor berseliweran kesana kemari, hingga sesekali toa masjid mengumandangan Adzan maupun melantunkan ayat-ayat suci – senantiasa menghiasi silih berganti tiada berkesudahan hingga larut malam menjelang… jika cukup beruntung.

Tidak jarang pula walau hari telah begitu gelap, sejumlah pemuda masih asyik nongkrong sekadar untuk bercengkrama seraya menenggak kopi (atau bahkan minuman keras!). Polusi suara yang bercampur mulus bersama polusi udara ini pun telah menjadi bagian tak terpisahkan bagi mereka yang memilih tinggal di perkampungan padat penduduk. Telah terbiasa di lingkungan semacam ini, penduduk pun umumnya telah kebal sehingga kebisingan bukan lagi perkara yang patut dibesar-besarkan. Tetapi tentu, walau telah menjadi santapan sehari-hari, ada kalanya ketenangan pun sesekali dibutuhkan terlebih saat dihadapkan pada permasalahan pelik kehidupan atau sekadar mengerjakan sesuatu yang menuntut kesunyian.

Dalam ‘Senyawa’, Raphael Wregas Bhanuteja memperlihatkan bagaimana seorang perempuan yang tumbuh berkembang di pemukiman Manggarai yang ramai sesak melayangkan harapan kepada Tuhan untuk dilenyapkannya keberisikan di sekitar rumahnya, walau sehari saja. Pengharapannya itu diwujudkan melalui doa yang dirapalkannya sebelum menyantap makan malam.

Hal ini lantas mengundang senyum si bapak, setengah menggoda anak perempuannya. “Ah, kamu seperti tidak tahu Manggarai. Mustahil memperoleh kesunyian di sini.” Ya, seperti yang penulis tuang di paragraf pembuka, ketenangan adalah barang mewah. ‘Senyawa’ bukanlah soal doa-doa dari seorang perempuan remaja bernama Retno (Alice Putri) yang menginginkan adanya keajaiban berupa ketenangan – lalu film pun menjelma sebagai fiksi fantasi. Bukan. Bahkan, sejatinya si pembuat film tidak mengkreasi film arahannya ini menjadi ‘dongeng pencarian ketenangan’.

Terlihat dari adegan pembuka yang menampilkan kekontrasan: sang ayah (Jay Wijayanto) menjalankan ibadah Sholat, sedangkan Retno yang mengeroki sang ibu tengah mendengarkan lantunan tembang ‘Ave Maria’. Tanpa penjelasan panjang lebar – hanya berpegangan bukti pada lagu dan perbincangan soal nama baptis – penonton telah memperoleh gambaran utuh soal toleransi beragama yang dijalankan oleh keluarga ini. Bahwa, ada agama berbeda yang hidup rukun di bawah satu atap tanpa saling mengusik keberadaan satu sama lain maupun menganggap agama yang dianutnya lebih layak dipandang tinggi. Konflik utama memercik di ‘Senyawa’ saat sang ibu yang ternyata mengidap penyakit Jantung menghadap ke Sang Khalik.

Dalam perayaan ulang tahun sang ibu, Retno ingin menghadiahinya berupa rekaman suaranya menyenandungkan ‘Ave Maria’ yang tidak lain salah satu tembang kesukaan ibu Retno. Tapi apa yang kemudian terjadi? Lingkungan tempat tinggalnya yang berisiknya minta ampun seolah enggan mengizinkan – menjadi penghalang utama – Retno mewujudkan niatannya. Ada saja suara-suara (dianggapnya) mengganggu yang kemunculannya silih berganti – entah itu dari suara mercon, pertengkaran, penjual roti, sampai Adzan. Setelah kesialan-kesialan ini, si pembuat film lantas memindahkan ruang dan waktu ke meja makan – menghadirkan peristiwa seperti tertulis di akhir paragraf kedua. Terjadi perbincangan antara ayah dan anak yang menuju pada solusi pemecahan atas permasalahan yang dihadapi oleh Retno.

Berbeda dengan beberapa film romansa di sinema Indonesia yang menempatkan hal-hal bertautan teologis sebagai jurang pemisah antara dua karakter utama – sepanjang film hanya mempergunjingkan kemungkinan keduanya bersatu yang sedari awal telah tampak begitu tipis – dan penyelesaian cenderung bermain aman menghindari kontroversi, maka ‘Senyawa’ boleh dibilang berani mendobraknya.

Raphael Wregas Bhanuteja menunjukkan bagaimana perbedaan keyakinan tidak melulu difungsikan sebagai tembok penghalang bagi dua insan manusia yang memperoleh anugerah bernama cinta. Malah, perbedaan itulah yang lantas membuat keduanya belajar saling menghargai dan mengasihi. Walau tentu konsep pluralisme dalam keluarga semacam ini agaknya sulit dijumpai di Indonesia yang mayoritas warganya masih cenderung konservatif. Yang lalu membuat ‘Senyawa’ terasa menarik adalah si pembuat film tidak melulu mencelotehkan permasalahan teologis sebagai kupasan utamanya. Kembali pada bahasan awal, ada potret sosial masyarakat perkotaan di sini yang sepertinya dari hari ke hari menganggap ketenangan merupakan sebuah barang mewah di sini. Problematika ini, belum juga ditemukan cara mengurainya, telah merembet ke wilayah-wilayah lain di Pulau Jawa.

Tidak lagi sebatas terjadi di Jakarta yang nyaris kehabisan lahan kosong. Membuat kegelisahan Retno dapat pula dirasakan penonton kebanyakan, termasuk penulis. Berniat mengerjakan sesuatu di jam-jam produktif namun seringkali digagalkan oleh bermacam-macam sumber. Berdasar pengalaman penulis, gangguan paling akrab dijumpai adalah bocah-bocah bermain dan tetangga yang asyik ngerumpi. Akibatnya, jalan utama yang ditempuh yakni menggarapnya di tengah malam – berimbas pada kesulitan memejamkan mata. Bukan sesuatu yang mengherankan jika banyak penderita insomnia dewasa ini, bukan?

Pun begitu, ‘Senyawa’ tidak menempuh jalur ini sebagai upaya pemecahan masalah. Jalannya memang sedikit berlebihan demi memunculkan unsur dramatis, tetapi harus diakui, Raphael Wregas Bhanuteja mengakhirinya dengan mulus. Hati ini turut tersentuh dibuatnya.