09 Mar

Ulasan Film “Salah Gaul”

Apakah menjadi ALay alias Anak Layangan alias Anak Lebay alias Anak Kampung atau terserah lha Anda mau mendefinisikannya seperti apa, merupakan cara bergaul yang salah? Apakah kita yang meng-klaim diri kita bukan bagian dari mereka sudah bebas dari predikat tersebut? Belum Tentu!

Ya, berangkat dari gelagat alay yang sedang naik daun di Indonesia, setidaknya dua pertanyaan di atas membuat duo Abdul Razzaq dan Sahree Ramadhan tergerak untuk mendokumenterkannya. Mulai dari pelajar hingga wanita karir mereka mintai pendapat soal alay dan segala problematikanya.

Tidak ada definisi pasti dari apa yang dinamakan alay yang ditawarkan dalam film ini. Penonton diajak ikut memaknai apa yang disebut dengan alay, apa yang biasanya mereka kerjaan, bagaimana mereka berpenampilan, sampai di mana tempat mereka bersosialisasi. Royal Plaza kompak disebut oleh para narasumber sebagai tempat berkumpulnya para alay, Mall itu paling sering disebut karena memang syutingnya mengambil tempat di Surabaya. Jangan salah, Royal Plaza-Royal Plaza lain bukan tidak ada di kota Anda.

Tujuan dari pembuatan film ini yang tertera dalam opening adalah mendinginkan gap antara “anak yang dituduh alay” dengan “anak yang mengaku dirinya bukan alay”. Salah satu narasumber menyebutkan, menjadi alay merupakan siklus hidup manusia, pernyataan yang tidak disebutkan oleh banyak narasumber lain di film ini. Secara tidak langsung ia ingin mengatakan kepada “anak yang mengaku dirinya bukan alay” yaitu manusiakanlah alay, tidak ada yang salah dengan menjadi alay, diri Anda pun sedang atau pernah menjadi seperti yang kita anggap alay tersebut. Stigma negatif memang kerap disematkan oleh para peng-klaim “bukan alay” kepada yang mereka klaim sebagai alay.

Sebagai sutradara, Razzaq dan Sahree aktif melakukan intervensi dan provokasi kepada para narasumbernya. Hal tersebut memunculkan kejadian-kejadian spontan bahkan tidak terduga yang semakin menaikan mood film ini. Kesan intim narasumber dengan penonton berhasil dibangun keduanya. Tidak saja melalui ucapan langsung ke kamera, para narasumber pun diajaknya memeragakan apa yang mereka anggap gaya alay. Sehingga, penonton merasa dihadapkan pada realita yang sesungguhnya. Tanpa narasi yang menggurui dan wawancara yang bersifat nonformal, mereka sukses membuat para narasumber tampil sebagai individu yang unik. Ditambah dengan grafik yang menunjang, semakin membuat film yang tidak monoton ini layak tonton.

Menarik pula jika kita mencermati soundtrack yang dimainkan sepanjang film ini. Razzaq dan Sahree memakai musik-musik beraliran Punk yang kini justru memang sedang digandrungi para alay setelah tren Pop Melayu. Sayangnya, mereka “hijrah” bukan karena musikalitas, namun sekadar ikut-ikutan agar dibilang “gokil”.

Menilik dari kajian antropologi, fenomena alay yang marak dalam kurun dua tahun terakhir sebenarnya adalah hasil dari proses yang lama. Contoh fenomena yang menstratifikasi sekelumit kehidupan. Pada kalangan anak orang berduit, kita dapat melihat bagaimana gaya hidup mereka, cara bergaul, bahasa, atau kendaraan yang dipakai. Sama halnya dengan alay. Kita dapat melihat bagaimana mereka berbicara, cara berpakaian, tempat berkumpul, dan lainnya. Mereka mempunyai struktur ciri sendiri yang khas sebagai identias mereka dalam dunia sosial.

Hmm…selama acara musik yang terus melahirkan bibit-bibit ke-alay-an sedari pagi hari tetap eksis, apakah hal itu pula yang akan berbanding lurus dengan keberadaan alay di negeri ini?