12 Mar

Profil Sutradara: Wimar Herdanto

Mural Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-68 menjadi fragmen menarik di awal sajian film rilisan 2013 ini. Ya, Gundah Gundala, film besutan sutradara kelahiran Surabaya 29 tahun silam, Wimar Herdanto, coba menyinggung kolonialisme yang masih kejadian di Indonesia. Seonggok penjajahan yang dikemas secara komunal dengan sifat yang tidak berbau, laten, dan “dinikmati” jamak priyai dan proletar negeri ini.

“Meskipun usia kemerdekaan Indonesia terus-menerus dirayakan sampe 68 Tahun, sebenarnya tanpa disadari kita masih belum sepenuhnya merdeka dan masih dijajah dalam bentuk lain misalnya kapitalisme, internet, keberpihakan media, propaganda lewat Film Hollywood, dan sebagainya”, tutur Wimar, membuka tanya-jawab dengan Kineria via surel.

Gundala Putra Petir dan Gatotkaca menjadi lakon utama dalam film yang juga memunculkan nama-nama pahlawan super ala barat ini. Bukan kengototan mereka dalam memerangi penjahat dengan tampilan kostum yang ruwet memang. Dalam filmnya kali ini, Wimar menampilkan keduanya dengan lebih manusiawi.

“Dua tokoh itu yang paling familiar saat saya survei mengenai ‘siapa superhero dari Indonesia yang kamu tahu?’, meskipun keduanya berada pada masa dan dengan cerita yang berbeda”, jelas Wimar.

Lebih jauh Wimar menggamblangkan, tabiat Gundala dan Gatotkaca dalam film ini memang sengaja ia gubah sebagai representasi sifat dan perilaku umum masyarakat Indonesia.Wimar Herdanto

“Tokoh Gundala dalam film ini mencerminkan orang Indonesia yang bersifat idealis namun tanpa ada niatan untuk maju dan mandiri. Sedangkan tokoh Gatotkaca mewakilkan orang Indonesia yang oportunis meskipun banyak merugikan bangsa dan negara”, tambah sutradara yang juga berpredikat sebagai Dosen Luar Biasa FISIP UNAIR, Surabaya.

Mengambil lokasi di Surabaya, Wimar mengaku tidak mengalami kendala yang begitu serius selama proses syuting. Menghabiskan waktu selama tiga hari, ia dan kru merampungkan proyeknya tersebut dengan lancar dan sesuai jadwal.

“Yang menarik dalam proses syuting mungkin pada saat nego dan men-direct tokoh Aquanus dan Godam. Mereka sebenernya ga tau tujuannya buat apa mereka disyuting. Kalo yg Aquanus ngiranya kita liputan dari stasiun TV, kalo yang Godam malah sama sekali ga tau dan ga mau tau ini buat apa, pokoknya nurut aja disuruh akting aneh-aneh”, cerita Wimar.

Hanya di Gundah Gundala mungkin, hero nasional dan hero internasional baku kontak lewat ponsel. Dibuka dengan ucapan salam yang memang (wajib) dibalas, dialog itu tidak lupa ditutup dengan salam yang sama di akhir obrolan. Dalam penggalan tersebut, Gatotkaca ditelfon Batman untuk minta ditemani bertugas karena koleganya, Robin, indisipliner.

“Penggunaan kata ‘Assalamualaikum’ itu kasusnya sama kayak ‘Insyaallah’, udah banyak salah kaprah dan didefinisikan jauh dari arti sesungguhnya. Orang bilang ‘Insyaallah’ sekarang buat menolak secara halus. Jadi menurut saya ‘Assalamualaikum’ itu sekarang udah jadi Bahasa Indonesia yang umum, siapa saja dan dari agama mana aja sah kok pake kata itu, termasuk Batman yang juga sekarang tinggal di Indonesia :))”, sambung Wimar.

Saat kami tanya mengenai kandungan Gundah Gundala yang mengidentikkan menjadi seorang superhero adalah sebuah pekerjaan dan bukan lagi seruan sanubari, Wimar pun dengan senang hati membeberkannya.

“Jadi ceritanya di jaman sekarang memang superhero itu bukan lagi panggilan hati, lama-kelamaan jadi semacam persaingan antarsuperhero untuk bisa menguasai daerah tertentu. Nah, ini balik lagi sebenernya ke konsep kapitalis itu sendiri, mengenai kuasa-menguasai dan siapa yang kuat-siapa yang lemah. Di film ini saya membuat konsep superhero menjadi semacam ‘pekerjaan’ juga untuk mengkritisi hal tersebut, yang menurut saya memang sedang terjadi di dunia nyata saat ini”, katanya.

Hmm…penonton film ini barangkali kepincut dengan kesaktian yang dimiliki Gundala yang digambarkan Wimar. Jika pahlawan-pahlawan super di sana mempertontonkan kehebatannya dengan elmu-elmu sakti mandraguna, Wimar memamerkan Gundala-nya dengan seruputan rokok dan tegukkan kopi.

Pas penyusunan ide cerita dan brainstorming sama temen-temen produksi, cara yang paling memungkinkan untuk menunjukkan kekuatan superhero dalam setting warung ya…ngerokok sekali isep dan minum kopi panas itu sih. Soalnya sampe sekarang saya belum pernah nemu orang normal yg bisa kayak gitu…hahaha. Ga ditujukan buat merepresentasikan apa-apa juga, cuma buat memvisualkan logika film, buat set-up cerita dan nyambungin plot-nya aja”, imbuh Wimar.

Gundah Gundala sempat pula mentas di beberapa festival film, sebut saja salah duanya di Hellofest 2013 dan Europe on Screen 2014. Di dua ajang itu, film arahan Wimar tersebut sukses melaju hingga tahap akhir. Tidak kalah dengan filmnya yang lain macam Ganyang, Maghrib, ataupun Tak Kunjung Berangkat.

Sutradara muda yang mengasah kemampuannya di bidang film dengan bergabung bersama Kine Klub FISIP UNAIR semasa kuliah itu, kini tengah menyiapkan film terbarunya. Ditargetkan tahun ini kelar, karya anyarnya tersebut sedang dalam tahap penulisan cerita. Di sela kesibukannya tersebut, Wimar Herdanto juga tengah merintis sebuah komunitas film.

“Selain project film, saya juga sedang merintis komunitas film dengan beberapa teman di Surabaya. Namanya ‘Komunitas Penonton’. Kegiatannya nanti diarahkan ke apresiasi, pemutaran keliling, workshop, diskusi, serta produksi”, pungkasnya.

Jika diibaratkan penyembuhan, Wimar Herdanto benar-benar menemukan obat non-kimia anti-kerinduan superhero nasional yang belum pernah dijual di pasar yang terasa menyentil-nyentil saat dicerna.