23 Sep

Ulasan Film: “Merdeka atau Marni”

Ada satu masa kita pernah mempertanyakan keabsahan tuturan sejarah negeri ini seperti yang tercantum pada buku-buku teks sekolah. Entah terkesan ditutup-tutupi, ditambah-tambah bumbu agar terasa sedap, atau bahkan dituturkan secukupnya saja. Pernah pula beredar kabar angin bahwa sebetulnya apa yang dibaca oleh jutaan siswa selama ini penuh rekayasa yang telah dirancang sedemikian rupa sehingga kebobrokan masa silam tak terekspos meluas. Mengenai kebenarannya, hanya Tuhan dan para pelaku sejarah yang mengetahuinya. Bisa jadi memang betul adanya, tetapi bisa jadi pula hanya teori dari para penikmat konspirasi belaka. Tetapi, apapun itu, satu hal yang benar-benar bisa dipastikan, seluruh peristiwa yang menjadi bagian dari sejarah Indonesia tidak seluruhnya dipaparkan oleh kurikulum sekolah karena satu dan lain hal – utamanya saat relevansinya dipertanyakan.

Inilah yang lantas menggelitik Samsi Rezki untuk membuka kembali lembaran-lembaran sejarah lewat tafsiran berbeda dari sebelumnya dalam film arahannya, “Merdeka atau Marni”. Melalui gagasan utamanya, Samsi Rezki telah membumbungkan rasa penasaran penonton. Kurang lebih seperti inilah catatannya: “Sungguh kita tak pernah benar-benar mengetahui bagaimana sejarah sebenarnya terjadi. Dalam kurikulum sekolah, sejarah kerap diajarkan tanpa memberikan ruang bagi tafsir manusiawi. Padahal ada banyak kejadian unik dan menarik yang bisa dituturkan. Bahwa para pelaku sejarah adalah juga sosok-sosok yang tak melulu serius dan kaku. Membuka jendela persepsi baru yang menjadikan sejarah tetap segar dalam riak-riak kehidupan.” Terasa menggugah selera, bukan? Bagi para sejarawan garis keras, pengulikan semacam ini mungkin terkesan lancang. Tapi, siapa yang tahu apa yang sesungguhnya terjadi di balik proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, bukan?

“Merdeka atau Marni” mengajak penonton untuk membebaskan imajinasi liar mereka. Membiarkan kita berpikir out of the box, membayangkan bagaimana seandainya jika para pelaku sejarah bukanlah pribadi yang kelewat serius dan kaku seperti bayangan kita selama ini. Mungkin saja, mereka adalah sosok yang humoris dengan pertemuan-
pertemuan, lobi-lobi, dalam keadaan serba genting diselingi senda gurau mengasyikkan. Sedikit banyak terdengar absurd, mustahil, pula konyol – terlebih detik-detik Proklamasi bukanlah perkara sepele yang memungkinkan seseorang melawak. Tapi sekali lagi, apa sih yang kita tahu? Malah, bisa saja ada kejadian lucu di baliknya yang sengaja disembunyikan lantaran dianggap tidak ada keterkaitannya, menjaga wibawa, sekaligus karena sejarah seharusnya sesuatu yang bersifat serius. Dalam “Merdeka atau Marni” – yang tentu saja kita sadari ini adalah plesetan dari seruan para pejuang, merdeka atau mati – kekonyolan dipantik oleh teks proklamasi yang tanpa sengaja basah karena tersiram kopi dari cangkir yang tumpah. Nah lho!

Tentu, kejadian menggelikan semacam ini tidak akan bisa kamu temukan di buku teks manapun, karena jelas itu bukan fokus utama penyampaian – dikhawatirkan malah mendistraksi pembaca yang menginginkan informasi mendalam. Samsi Rezki tidak bermaksud kurang ajar pada pelaku sejarah manapun, dia hanya sekadar membagi pemikiran “bagaimana jika”-nya yang liar. Lagipula, tidak ada salahnya bukan sesekali ada sisipan humor di balik peristiwa sejarah paling penting bagi negeri ini ketimbang hanya pengisahan berisi muka-muka serius yang kesulitan untuk menyunggingkan senyum?

Celotehan “Merdeka atau Marni” pun tidak memasuki ranah sensitif maupun menyinggung pihak-pihak tertentu. Malah, seperti tujuan awal si pembuat film, membuka kesempatan bagi generasi muda yang ingin mempelajari sejarah untuk mendapatkan jendela persepsi baru sehingga kemonotonan bisa dikesampingkan. Jika merasa sedikit jenuh, coba bayangkan saja di balik ketegangan setiap peristiwa sejarah ada kisah-kisah lucu yang menyertainya. Akan sedikit banyak efektif memberi suntikan semangat.

Untuk menyampaikan gagasannya ini melalui “Merdeka atau Marni”, Samsi Rezki pun enggan melantur kemana-mana. Waktu yang diperlukannya untuk menuntaskan misi tidak lebih dari 1 menit 26 detik. Sangat singkat, bukan? Kenyataannya, “Merdeka atau Marni” memang bukanlah jenis film yang butuh durasi panjang agar pokok pembahasan dapat dicakup seutuhnya. Walau pendeknya rentang waktu ini membuatnya seolah tidak lebih dari sebuah sketsa, tapi tak bisa dipungkiri inilah cara paling efektif bagi si pembuat film dalam mencelotehkan imajinasi-imajinasi gilanya ke dalam bahasa gambar.

Lucunya (sekaligus uniknya), film produksi WeLo ini juga tidak diperkuat aktor-aktris yang melakonkan perannya untuk menggulirkan tuturan kisahnya. Sebaliknya, hanya sebatas suara dengan kamera yang tidak henti-hentinya menyoroti meja tempat dituliskannya teks proklamasi di mana di atasnya terdapat benda-benda berserakan semacam kertas, pulpen, cangkir, jam tangan, surat kabar, mesin tik, dan lain-lain. Hidup matinya film pun bergantung kepada para penyumbang suara (beserta tangan yang terkadang menampakkan diri) dalam menghidupkan peran sebagai Bung Karno, Bung Hatta, serta seorang pembantu pria yang menjadi sumber masalah dalam “Merdeka atau Marni”. Dan, mereka berhasil melakukannya secara baik.Hasilnya, “Merdeka atau Marni” pun tersaji sebagai sebuah tontonan yang tidak saja unik, tetapi juga kocak, ringan, serta renyah untuk disantap. Sungguh menghibur.

Ingin menonton film “Merdeka atau Marni” di Kineria? Silakan kunjungi tautan ini.