18 Jul

Ulasan Film: “Tobi”

Tidak banyak yang bisa diperbincangkan tatkala mengulik soal dunia film animasi pendek di Indonesia. Bukan saja tak banyak film yang benar-benar mampu menciptakan gebrakan, pegiat film di ranah ini pun jumlahnya dapat dihitung menggunakan jari tangan. Makin mengerucut jumlahnya apabila kemudian dipilah berdasarkan keaktifan. Sangat sedikit sekali.

Minimnya kesempatan untuk mengembangkan keahlian di bidang ini menjadi salah satu alasan banyaknya sineas film animasi pendek Indonesia yang punya potensi jadi tidak serius menekuninya, setidaknya di Indonesia. Salah satu animator berbakat besar yang memutuskan untuk hengkang, paling tidak hingga saat ini, adalah Brian Chandra. Alumnus Universitas Bina Nusantara ini menggarap “Tobi” sebagai karya tugas akhirnya yang kemudian menghantarkannya ke karir profesional.

Apa yang sedemikian istimewa dari “Tobi” sehingga memuluskan langkah Brian Chandra untuk menapaki karir di dunia animasi? Untuk sebuah karya yang khusus ditujukan hanya sebagai syarat kelulusan, “Tobi” tidak main-main. Selayaknya apa yang dilakukan oleh rekan seperjuangannya, Andrey Pratama, yang menelurkan “Moriendo”, Brian Chandra pun berani keluar dari zona nyaman.

Ketimbang menggelar tuturan cerita yang memodifikasi (atau malah hanya memindahkan secara mentah-mentah) cerita rakyat dan erat kaitannya dengan kebudayaan Indonesia, si pembuat film memilih untuk mengupas apa yang sekiranya memang terjadi di keseharian. Ketika Andrey memaparkan pandangannya soal kematian dalam film arahannya, maka Brian memilih untuk berceloteh tentang rasa takut. Sebuah perasaan manusiawi yang dapat dipastikan hadir di setiap jiwa manusia.

Saya memiliki rasa takut. Anda memiliki rasa takut. Dan saya yakin, kita semua memiliki rasa takut – entah diakui atau disangkal. Tidak jarang, ketakutan itu bersumber dari apa yang mungkin bagi kebanyakan orang hanyalah sesuatu yang remeh. Tapi, siapa yang tahu apa pemantiknya. Bisa jadi itu berkelindan erat dengan peristiwa tak mengenakkan di masa lalu yang (mungkin) cenderung traumatis. Menjadikannya bahan olok-olok tentu bukan sikap yang bijaksana, lebih tepat jika memikirkan solusi terbaik bersama untuk mereduksi ketakutan ini sehingga tak bersikap mendominasi. Apakah ini yang dikupas oleh “Tobi”? Kurang lebih demikian. Brian Chandra mengajak penonton untuk melawan rasa takut yang melanda diri. Terlebih, jika ketakutan itu dihasilkan oleh sesuatu yang belum diketahui secara pasti.

Dalam “Tobi”, sosok kita sebagai penonton diwakili oleh seorang bocah cilik yang penakut bernama Tobi. Pada suatu malam, kala Tobi hendak tidur, sang ibu memasuki kamarnya untuk membacakan dongeng pengantar tidur. Kisahnya bercerita mengenai seorang pangeran penakut yang harus berjuang mengatasi rasa takutnya saat kerajaannya dilanda permasalahan pelik yang mengancam nyawa perempuan yang dicintainya. Apa yang kemudian terjadi kepada pangeran tersebut? Jawaban atas rasa penasaran Tobi terhadap akhir cerita dongeng tersebut sayangnya harus tertunda. Halaman penting yang mengkonfirmasi nasib sang pangeran ternyata lenyap. Ibu pun terpaksa mengakhiri sesi mendongeng dan memutuskan untuk mencari halaman yang hilang tersebut keesokan harinya. Tak ingin “digantung”, Tobi pun mengendap-ngendap keluar kamar dan melawan segala rasa takutnya demi menemukan secarik kertas yang menyimpan akhir cerita dari dongeng tersebut.

Terdengar menggugah minat untuk menontonnya? Untuk saya, harus diakui, ya. “Tobi” memiliki pondasi cerita yang terbilang menarik. Menyoal bocah cilik penakut yang mau tak mau harus menghadapi ketakutannya sendiri dalam petualangannya menemukan sebuah benda yang dianggapnya berharga, kala itu. Ini mengembalikan segala kenangan terhadap masa kecil di mana saya terlalu takut untuk melangkahkan kaki ke sebuah ruangan yang tak memiliki penerangan memadai sehingga pada akhirnya memunculkan praduga, “Jangan-jangan ada makhluk misterius di sini!” Lucunya, saat ada sebuah dorongan yang memicu semangat untuk melakukannya (atau karena terpaksa lantaran tak ada bantuan), rasa takut itu dapat menghilang dengan sendirinya. Terkadang memang harus nekat karena yah … ketakutan itu pada akhirnya adalah hasil kreasi dari imajinasi yang kelewat liar. Apakah Anda pernah mengalaminya?

Untuk menyampaikan seluruh gagasan yang di dalamnya juga memiliki kandungan pesan moral yang pekat, si pembuat film hanya membutuhkan waktu kurang lebih 4 menit saja. Tidak perlu berpanjang-panjang, tidak perlu melantur kesana kemari, dan tidak perlu pula bercerewet ria melalui sederetan dialog bernada menceramahi. Semuanya tersampaikan secara efektif, pula memikat. Daya tarik terletak pada adanya bubuhan misteri dalam tatanan penceritaan yang mampu menyibukkan penonton untuk menarik simpulan atas apa yang akan terjadi berikutnya. Apa yang menanti Tobi di ujung cerita. Benarkah memang ada monster di gudang gelap tersebut? Atau mungkin makhluk lainnya?

Inilah yang menjadi letak keunggulan dari “Tobi”. Dengan jalinan pengisahan semacam ini, “Tobi” tidak hanya terasa akrab bagi penonton cilik, tetapi juga penonton dewasa yang (bisa jadi) memiliki pengalaman mirip dengan Tobi. Diterjemahkan ke dalam bahasa gambar dengan grafis animasi yang terbilang apik – walau desainnya tak juga orisinil – membuat “Tobi” terasa semakin lezat untuk disantap. Penggunaan skoring yang mencomot film lain memang sedikit banyak mengurangi kadar kenikmatan dalam menonton (meski Brian Chandra mengakuinya secara terbuka, terbukti pada pencantuman di credit title). Untungnya, berkat kekuatan penceritaan, “Tobi” masih bisa tampil sebagai tontonan yang prima.

Ingin menonton film “Tobi” di Kineria? Silakan kunjungi tautan ini.