22 Sep

Ulasan Film: “400 Words”

Setidaknya, ada tiga fase terpenting dalam kehidupan manusia: kelahiran, pernikahan, dan kematian. Fase terakhir disambut dengan tangisan pilu bermuram durja, sementara kedua fase lainnya dirayakan dengan semangat penuh cita. Akan tetapi, di balik segala gegap gempita dan senyum mengembang, pernikahan kerap kali menyimpan segudang cerita, khususnya di detik-detik terakhir menuju hari-H – dan itu tak selalu menggembirakan, walau pastinya layak untuk dikenang.

Ismail Basbeth, melalui karya terbarunya yang berjudul “400 Words”, menganggap bahwa persiapan pernikahan adalah sesuatu yang unik, penting, dan menarik sehingga dirasa perlu untuk diabadikan melalui lensa kamera. Namun, bentuknya tidak melalui tuturan fiksi, melainkan menempuh jalur dokumenter. Yang dijadikannya sebagai obyek penceritaan sekali ini bukan lagi orang asing dengan setumpuk pengalaman dan latar belakang yang menggugah rasa penasaran, melainkan orang yang paling dikenalnya luar dalam di dunia ini. Dirinya sendiri.

Ya, melalui film berdurasi 13 menit ini, Ismail Basbeth secara terbuka menyampaikan peliknya persiapan pernikahan yang dilaluinya. Berlatar di sebuah warung makan pinggir jalan, diiringi suara kendaraan bermotor yang terdengar riuh berlalu-lalang, Ismail Basbeth dan tunangannya, Lyza Anggraheni, dengan serius mendiskusikan soal perkembangan dari kebutuhan pernikahan seraya menyantap makanan masing-masing. Apa-apa saja yang dibutuhkan, apa-apa saja yang telah terpenuhi, dan apa-apa saja yang masih kurang.

Walaupun awalnya tampak seperti obrolan serius tapi santai, sejalan dengan berlalunya durasi, obrolan ini kian memanas dan memanas tatkala mereka memperbincangkan soal aturan-aturan dan tradisi dalam pernikahan. Dalam hal ini, seserahan. Sempat terjadi perbedaan pendapat dan tentunya, pemikiran, di antara keduanya perihal seserahan yang menciptakan sedikit nuansa dramatis di meja makan warung pinggir jalan tersebut. Ketegangan ini mereda – meski tak sepenuhnya lenyap – saat topik obrolan berpindah ke pembuatan video pre-wedding.400Words

Lagi-lagi, sutradara penghasil “Harry van Yogya” dan “Shelter” ini mengupas sesuatu yang luput dari perhatian kebanyakan sineas dokumenter lantaran dianggap remeh, membosankan, dan tidak penting: persiapan pernikahan. Lewat “400 Words”, Ismail Basbeth tidak “mengobrak-abrik” kehidupan seorang yang asing, melainkan mengajukan pengalamannya sendiri dalam mengurus tetek-bengek pernikahan yang masih berselimutkan adat Jawa kental, untuk ditelaah oleh para penonton filmnya.

Si pembuat film dengan senang hati menunjukkan betapa menyiapkan ini dan itu di salah satu hari terbesar dalam kehidupannya tidaklah seindah, senyaman, dan semenyenangkan seperti ketika pasangan ini (akhirnya) duduk berdampingan di singgasana pada hari H, di mana seluruh mata memandang, seluruh tangan menjabat tangan, dan hampir setiap tubuh meminta foto bersama. Untuk merasakan sehari menjadi raja dan ratu, ada proses melelahkan, membuat stres, dan berliku-liku di belakangnya.

Anda pun tak perlu risau akan ikut-ikutan menjadi stres akut saat menyimak “400 Words”, karena Ismail Basbeth mengemasnya dengan ringan, santai, dan jenaka. Kita seperti sedang menyaksikan sanak saudara sendiri yang tengah berdebat menentukan bagaimana seharusnya prosesi seserahan dilakukan. Dituturkan lewat dialog serta lakonan pemain yang apa adanya, film ini terasa begitu lekat dengan keseharian kita.

Apabila Anda paham betul dengan Bahasa Jawa – khususnya yang berkembang di area Yogyakarta dan sekitarnya – maka percakapan antara Ismail dan tunangannya ini akan terdengar lebih seru, lucu, dan mengasyikkan. Pun demikian, Anda yang tidak memahami Bahasa Jawa tak perlu takut akan terpinggirkan (atau gagal menikmati ceritanya) karena subtitle dalam Bahasa Inggris telah dibubuhkan, dan sejatinya apa yang dipersoalkan di film ini terbilang universal walau tradisi yang dikulik adalah tradisi Jawa. Problem yang dihadapi di sini adalah problem yang pastinya hadir saat mempersiapkan sebuah pernikahan.

Tapi, lalu, film mendadak memiliki semacam “twist” ketika memasuki obrolan tentang video pre-wedding yang membuat saya teringat dengan kata-kata si pembuat film, “Batasan antara film fiksi dan film dokumenter sangat tipis dan samar.” Ternyata, percakapan serius yang melibatkan Ismail dan tunangannya seputar seserahan (dan lain sebagainya) di paruh pertama film adalah bagian dari sebuah film dengan ditunjukkan adanya aktivitas syuting pada menit-menit terakhir dan keduanya adalah aktor. Lho, lho? Apakah ini berarti kebingungan yang melanda Lyza adalah akting belaka dan tidak benar-benar terjadi? Apakah ini berarti gesekan yang sempat muncul antara Ismail dan Lyza hanya dibuat-buat, diada-adakan, dan sesungguhnya tidak pernah ada? Lalu, apa ini berarti semua yang telah kita saksikan di film hanyalah fiksi belaka? Tidak. Itu memang benar terjadi.

Sekali lagi, Ismail Basbeth tidak memilih gaya konvensional untuk menghantarkan gagasannya. “400 Words” dituturkan selayaknya sebuah video pendek dari proses di belakang layar sebuah film, alih-alih hanya sekadar menghabiskan durasi dengan menyoroti pasangan yang meributkan persiapan pernikahan. Bisa jadi, ini akan membingungkan sejumlah penonton yang kemudian melahirkan pertanyaan, “Jadi cerita di “400 Words” ini benar-benar ada atau rekaan?”. Ini kembali lagi ke pernyataan sang pembuat film di paragraf sebelumnya, dan lewat “400 Words” ini dia ingin menunjukkan betapa batasan antara film fiksi dan film dokumenter memang samar adanya.

Lebih lanjut, film ini pun ingin menemukan jawaban atas pertanyaan, “Apakah film yang mempengaruhi kehidupan kita? Atau kehidupan kita lah yang mempengaruhi film?” Apakah Anda bisa menjawabnya usai menonton “400 Words”? Dan omong-omong, apakah Anda menyadari bahwa video pre-wedding yang diperbincangkan pada film sesungguhnya merujuk pada film ini? Sungguh sebuah film yang unik.

Ingin menonton film “400 Words” di Kineria? Silakan kunjungi tautan ini.