07 Jan

Review : Maling (The Thieves)

Apa yang terlintas di benak Anda tatkala mendengar kata ‘maling’? Seseorang (atau sekelompok orang) yang kejam, perampokan, barang-barang hilang, atau yang lainnya? Yang jelas, apapun itu, erat konotasinya dengan sesuatu yang negatif, buruk, dan mengerikan. Itu tidak salah. Bagaimanapun, maling adalah salah satu ‘pekerjaan’ tak halal yang dilakoni lantaran ingin mendulang harta dalam waktu yang singkat, tanpa perlu mengusap keringat, atau semata-mata tidak ada pilihan lain. Di khasanah film Indonesia, maling identik dengan penjahat sementara lawan si maling adalah lakon (jagoan). Kalaupun ditempatkan sebagai hero, biasanya hanya untuk seru-seruan atau lucu-lucuan semata. Jarang (atau malah tak ada) yang memanusiawikan si maling, seolah-olah tidak ada kebaikan yang dimiliki. Melalui Maling (The Thieves), Ismail Basbeth mencoba untuk membalik konsep yang biasanya diterapkan di film kebanyakan tersebut. Yang istimewa, Ismail Basbeth tak sekadar membalik atau memanusiawikan maling semata, tetapi juga memaparkan kenyataan yang ironis.

Screen Shot 2015-01-07 at 3.48.22 PMBerlatarkan waktu di malam hari, di tengah hutan (atau mungkin hanya pekarangan kebon milik warga, tak terlihat jelas), dua orang pria dengan pontang-panting berlarian menembus kegelapan. Salah satu dari mereka mengeluh kelelahan, nafas ngos-ngosan, dan sudah tidak mampu untuk terus berlari guna menghindar dari warga yang melakukan pengejaran secara berbondong-bondong ditemani obor. Amarah yang mencengkram kuat dapat dirasakan. Kedua pria yang belakangan diketahui menggondol televisi ini lantas bertukar dialog di ‘sesi istirahat’ yang memaparkan motif dan sikap pesimis. “Kalau aku tertangkap, aku titip anak dan istriku ya,” bilang salah satu maling kepada rekannya dan ditimpali si rekan, “kalau kita tidak tertangkap, semua bagianku untukmu.” Apakah kedua pria ini akhirnya berhasil meloloskan diri dari amukan warga atau malah justru tertangkap?

Ismail Basbeth tidak memosisikan ‘maling’ dan ‘warga’ di Maling (The Thieves) ini sebagai antagonis dan protagonis murni. Masing-masing dari mereka digambarkan memiliki sisi yang lain, baik dan buruk. Yang menjadikan film terasa sedap untuk disantap adalah saat posisi dari kedua pihak dibalikkan, “bagaimana jika pihak yang buruk sesungguhnya di sini adalah para warga alih-alih para maling?.” Lewat sebuah pengungkapan motif utama di balik pencurian televisi ini, ada sedikit rasa simpati yang tersemat ke para maling. Mereka rela menempuh resiko yang tidak main-main hanya untuk sekotak televisi yang bisa saja bernilai rendah dengan harapan mampu melunasi hutang yang telah menumpuk. Sebuah potret suram tentang salah satu cara yang dilakoni oleh masyarakat golongan ekonomi rendah di negeri ini dalam menyambung hidup. Pada titik ini, ada keinginan (dan harapan) untuk melihat mereka berhasil meloloskan diri dari amukan warga. Tapi tentu saja, ini mustahil terjadi karena bukan itu inti persoalan yang ingin disampaikan oleh si pembuat film.

Maling (The Thieves) mengapungkan sebuah pilihan untuk para penonton, “manakah yang lebih kejam, diadili oleh penegak hukum yang korup atau diadili oleh masyarakat yang buta hukum?.” Keduanya sama beratnya. Telah menjadi rahasia umum bahwa ada yang salah dengan sistem peradilan di Indonesia. Betapa tidak, koruptor yang menelan uang masyarakat dengan lahapnya hanya dibebani hukuman yang sepele sementara pencuri ayam (yang bisa jadi hanya merugikan satu dua pihak saja) menanggung beban hukuman menahun. Sungguh kacau, bukan? Akan tetapi, terlepas dari penerapan hukuman yang tampak seenak udelnya sendiri ini setidaknya aparat penegak hukum masih memiliki acuan yang jelas. Penjara sebagai jujugan para pelaku tindak kriminal pun masih (agak) manusiawi karena pelaku diberi kesempatan dan waktu yang lebih dari cukup untuk berintrospeksi. Mereka diberi kesempatan untuk menebus kesalahan. Sementara hukuman dari warga? Tidak ada kesempatan.

Bukan hukuman berbentuk alienasi atau semacamnya yang dibicarakan di sini. Melainkan, apa yang disebut dengan main hukum sendiri. Ismail Basbeth ingin menunjukkan sebuah kenyataan ironis betapa terkadang masyarakat yang menyebut dirinya taat hukum, tak memiliki catatan kriminal, dan memainkan peran sebagai korban bisa lebih keji dari mereka yang terbiasa bermain kotor. Ketimbang bersusah payah menanti para penegak hukum untuk membereskan masalah, para warga ini memilih untuk menuntaskannya sendiri dengan cara yang sama sekali tidak manusiawi yang membuat saya bertanya-tanya, “kalau begini, apa bedanya mereka dengan para maling itu?” lalu “bukankah itu membuat mereka lebih rendah dari para maling?” dan akhirnya “apakah mereka manusia?”. Atas nama menegakkan keadilan, mereka bertindak selayaknya orang barbar, mengizinkan tindak kekerasan, dan pada akhirnya, melakukan eksekusi seperti algojo.

Kebobrokan moral masyarakat yang mengagungkan kekerasan yang dianggap sebagai solusi terjitu dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dalam kehidupan. Inilah kritik yang diapungkan oleh Ismail Basbeth melalui Maling (The Thieves). Ketimbang berbelit-belit dan berpanjang-panjang, si pembuat film hanya memanfaatkan durasi kurang dari 4 menit untuk menyuarakan gagasannya. Ini terasa begitu efektif terlebih Ismail Basbeth pun bisa menghidangkannya secara ringkas, tangkas, padat, jujur, berani, dan tajam. Satu lagi hidangan yang menarik dari seorang Ismail Basbeth.