19 Mar

Profil Sutradara: Luhki Herwanayogi

“Karakter terbatas di Twitter kerapkali memunculkan bias-bias pesan yang tidak jarang menimbulkan banyak masalah”- Luhki Herwanayogi. Sebiji perkara yang memang tidak jarang timbulkan berjibun petaka. Gejala yang diangkat sutradara asal Yogyakarta itu dalam karya film terbarunya, Aku Kudu Piye, Tweeps?.

Hanya berlatar kamar pribadi yang dijejali pernak-pernik khas lelaki belia, Luhki mencoba menguak ketidaknyamanan yang bahkan bisa hadir di zona nyaman kita itu. Didot—tokoh utama film ini—digambarkan terpusing-pusing di bilik tidurnya hanya lantaran ia tidak menggunakan sosial media dengan arif.

“Sosial media punya dua sisi, positif dan negatif, sehingga kita harus pintar-pintar menggunakannya. Sosial media bisa sangat berguna, tapi bisa juga jadi petaka, bahkan datang dari tempat ternyaman kita,” ujar Luhki.

Menarik menilik beberapa fragmen dalam film ini. Sekali tempo, Luhki sempat menyisipkan sebuah kiasan dalam bahasa Jawa yang berbunyi ‘koyok munyuk ketulup’. Didot yang saat itu mencak-mencak kepada kakaknya imbas sebab sepele, ya, charger-nya telat dikembalikan. Respon Didot yang berlebihan itulah yang membuat frase tersebut terlontar begitu saja dari mulut sang kakak yang notabene diperankan pula oleh sang sutradara.

Luhki Herwanayogi

“itu peribahasa bahasa jawa, ‘koyo munyuk ketulup’ artinya seperti monyet yang terkena panah, bingung siapa yang memanah. Jadi intinya seperti orang bingung,” Luhki menjelaskan.

Luhki sepenuhnya menggunakan bahasa Jawa untuk filmnya kali ini. Namun, Anda yang tidak menguasainya tak perlu repot-repot mencari kamus lengkap 1 juta kata Jawa-Indonesia, Luhki sudah siap dengan subtitle-nya. Yaaa…walaupun sedikit membutuhkan usaha yang agak cukup besar untuk memandangi terjemahan tersebut, karena ukuran font-nya yang memang tidak cukup besar.

Menarik pula jika Anda cukup jeli di setiap Didot mem-posting twit-nya. Salah satu akun portal berita yang terkenal dengan “jurnalisme duh” atau “jurnalisme ciyeh”-nya kerap dimunculkan Luhki. Saat ditanya via surat elektronik, apakah itu merupakan bentuk kesengajaan atau bukan, ia menjawab…

“Hahahaha, setengahnya sengaja. Alasan personal sih, aku sering terganggu sama judul-judul berita portal-portal online di Twitter. Suka aneh-aneh dan kadang-kadang nggak relevan sama isi beritanya”.

Aku Kudu Piye, Tweeps? tidak tok tayang (perdana) di Festival Film Solo 2013. Ajang-ajang penghargaan film yang cukup masyhur di Indonesia pun sempat pula memutarnya. Buktinya, film ini tidak absen dalam Piala Maya 2013, Psychocinema Festival 2014, hingga Bioskop Festival Kesenian Yogyakarta 2014.

Hari-hari belakangan ini, Luhki Herwanayogi tengah sibuk melakukan riset untuk mempersiapkan dua proyek film pendek terbarunya. Rencananya, masing-masing film terbarunya itu bergenre fiksi dan dokumenter.

Ya, Sosial media hanyalah benda mati yang dihidupkan oleh penggunanya yang banyak itu. Disahkannya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sejak 2008 lalu adalah salah satu bentuk respon pemerintah kita yang membuktikan bahwa sosial media tak melulu soal selfie, dapat pacar, atau jualan barang sekalipun.

Hmm…pembaca yang bijak, sudahkah Anda menggunakan sosial media dengan bijak?