14 Aug

Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (di Meja)

Satu lagi film berlatar Sejarah Indonesia yang dikemas dengan segar. Pakem film bertemakan sejarah yang melulu dibalut epos kepahlawanan, membuat film berjudul Pencuri Sejarah ini menjadi semacam oase di belantara perfilman Indonesia. Menghadirkan sosok Presiden pertama RI Soekarno kualitet super—yang aktingnya juga layak disejajarkan dengan Soekarno KW lainnya, Aryo Bayu, dalam Soekarno: Indonesia Merdeka (Hanung Bramantyo, 2013)—, fiksi ini mengisahkan sepasang laki-laki dan perempuan dengan gaya kekinian yang “berprofesi” sebagai maling alias penggondol dokumen negara. Apa motivasi keduanya melakukan tindakan tak terpuji tersebut? Apa tidak lebih baik bagi mereka meniru sebayanya dengan membuka kios makanan atau minuman di Pasar Santa?

Jangan berpikir film ini seberat atau sekontroversi Balibo (Robert Connolly, 2009) atau The Act of Killing (Joshua Oppenheimer, 2012) karena ada embel-embel sejarah di situ atau bahkan berasumsi macam-macam saat film ini menyambut Anda dengan opening yang kelihatannya menabrak kebiasaan film-film sejarah tempo lalu yang terbiasa dengan plot mundur-maju.

Singkat cerita, sampailah laki-laki dan perempuan—yang sempat kami bahas di awal—di rumah—yang ternyata—milik Bung Karno. Keduanya—yang diketahui ternyata adalah sepasang kekasih—tidak terlihat tuh sebagai maling dengan track record yang mumpuni, terkesan teledor untuk ukuran kejahatan politik. Empunya rumah bukannya tinggal diam, ia pun mencium gelagat tamu tak diundang yang ujuk-ujuk muncul di dalam rumahnya. Abdalah Gifar—sutradara film ini—tak lupa membumbui filmnya kali ini dengan sedikit adegan ala film-film thriller. Akankah aksi keduanya dapat digagalkan pemilik rumah? Sempat dipergoki oleh Bung Karno, namun…

Perbedaan dimensi ruang dan waktu tak menghalangi keduanya untuk tetap setia dengan “profesi”-nya tersebut. Bagaimana cara mereka menjadi time travelers dan mencurangi waktu? Mesin waktu berupa sebuah lemari menjadi jawabannya. Mereka kabur dan hilang “ditelan” sebongkah lemari ketika Bung Karno mendapati keduanya mengambil dua carik kertas—yang tampaknya—berisi tulisan maha penting. Presiden Orde Lama itu pun dibuat bergidik oleh sepak terjang kedua penyelinap tersebut.

Gifar pas menggambarkan sosok Bung Karno juga rumah dan isinya yang terasa so 40-an. Setelan jas putih berpadupadankan peci hitam yang menjadi trade mark-nya terlihat sangat ikonis, flamboyan, dan kontras dengan dua penyusup berpenampilan masa kini yang bertandang ke rumahnya. Tak salah jika professor sejarah salah satu universitas di Amerika Serikat menjuluki gaya berpakaiannya dengan sebutan Indonesian Dandy. Intonasi kata dan gesturnya pun tak luput dari perhatian sang sutradara.Poster

Tidak selesai sampai Bung Karno, pasangan kekasih tersebut nyatanya kembali merencanakan “project” terbaru mereka. Ada beberapa plan yang mereka siapkan, mulai dari mencuri naskah Sumpah Palapa-nya Gajah Mada, membegal Kitab Sutasoma milik Empu Tantular, hingga rencana penculikan permaisuri kepunyaan Ken Arok, ya, Ken Dedes.

Gifar sekali lagi membuat kejahatan kerah putih layaknya kejahatan kerah biru dalam filmnya kali ini, bagaimana tidak? Maling yang ia kesankan “ingusan” dan berpenampilan teratur layaknya anak-anak bermazhab Aksara, sukses menimbun puluhan dokumen berharga yang telah memengaruhi perjmahalanan bangsa Indonesia.

Hmm…apa iya secarik kertas yang diambil mereka di kediaman Bung Karno tersebut adalah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang asli dan pada 2016 mendatang genap belum ditemukan selama 50 tahun? Ataukah kertas tersebut merupakan teks otentik proklamasi kemerdekaan Indonesia yang pembacaannya sungguh bermanfaat bagi kita hingga di ulang tahunnya yang ke-70?