07 Aug

(Sok) Nasionalis Dulu, Kebarat-Baratan Kemudian

Hmm…singkirkan sebentar film-film bercorak non-Indonesia. Jelang 70 tahun Indonesia merdeka, tak salah jika kita merayakannya bukan dengan makan kerupuk, balap karung, atau menangkap belut (lagi), namun, ya, lewat film. Salah satu soft power potensial kita untuk gantian “menjajah” bangsa lain. Nah, seiring hal tersebut pula Kineria eksis di dunia dalam jaringan (daring). Sembari mengenalkan budaya Indonesia dengan sajian film-film bertemakan keindonesiaan, dunia internet yang tanpa batas tersebut, otomatis pula memudahkan filmmaker-filmmaker muda nan berbakat untuk ‘go internesyenel’.

Tidak hanya film panjang macam, misalnya, Minggu Pagi di Victoria Park (Lola Amaria, 2010) yang acap menyiratkan atau, misalnya, Tanah Air Beta (Ari Sihasale, 2010) yang gamblang mengusung epos perjuangan, sejarah, dan nasionalisme. Singgih Djatmiko dengan Teori Nasionalisme-nya juga mengangkat tema di atas, namun kali ini dalam bentuk yang lebih ringkas dan padat.

Kami sarankan jangan mundur atau ndredeg dulu setelah membaca judul film—yang lebih mirip nama mata kuliah Program Pascasarjana jurusan Ilmu Politik—ini. Isi film tidak dikemas seberat judulnya kok, ringan, mudah dicerna, dan sesuai realitas sosial di kita. Dan semoga saja tulisan ini sukses meminimalisasi “ancaman” di atas.

Dibuka dengan fragmen seorang Arkeolog yang disibukkan dengan pencarian benda-benda peninggalan sejarah, ouch…sepertinya ia menemukan sesuatu? Tapi apa? Ia pun mengais-ngais tanah untuk memastikan benda apa yang membuat alat detektor yang dibawanya tak henti berbunyi.

Menarik melihat penggalan cerita selanjutnya, Singgih menggambarkan perjuangan sekelompok pejuang kemerdekaan negeri ini yang tengah baku tembak dengan pasukan Londo, namun dengan cara yang rada menyentil, bagaimana? Ya, Jika dikaitkan pada realitas sekarang, rasanya mirip-mirip kasusnya dengan ‘jurnalisme warga’ yang lebih memilih kualitas tayangan—walaupun biasanya gambarnya juga kabur—dibanding mendahulukan sikap empatinya kepada korban, misalnya. Fragmen yang mungkin juga memanggil ingatan kita pada tayangan-tayangan ekslusif penggerebekan teroris di televisi yang dikreasi tak ubahnya reality show ‘termehek-mehek’, drama.

Film ini juga menyiratkan bagaimana sikap permisif berlebihan bangsa Indonesia akibat tergerus bangsa lain. Mencoba menganalisa apa sebabnya dengan pertanyaan: Kerap merasa inferior karena hanya menjadi negara dunia ketiga kah? Atau gegara sempat mendapat cibiran ‘random country’ dari mulut pedas Justin Bieber? Attaaau…segan karena hanya pernah lolos Piala Dunia saat masih menggunakan nama Hindia dengan embel-embel Belanda-nya?

Epilog film menyajikan sebaliknya. Kurangnya pertimbangan yang matang justru malah menimbulkan malapetaka. Keteledoran yang juga tak bisa dimaklumi karena terlalu gegabah dan tidak menyadari apa yang menjadi kekurangan selama ini. Adegan demi adegan yang secara tak kasat mata dapat disimpulkan: Celah-celah mana saja yang seharusnya bisa Indonesia manfaatkan untuk berbicara lebih banyak di kancah internasional namun luput dari penglihatan.

Kendati Indonesia hanya diwakili empat orang prajurit, Singgih terbilang berhasil membangun suasana peperangan zaman dahulu. Gaya bahasa, gimik, hingga tata kostum yang ditampilkan pun menunjang plot cerita. Menegaskan inti cerita, simbol-simbol yang melambangkan kekinian zaman, ia tempatkan dengan “centil” namun tetap sesuai porsi. Terlihat kontras, sehingga memudahkan penonton untuk paham apa yang sebenarnya ingin disampaikan sang sutradara dalam filmnya kali ini.

Masih berkaitan dengan penjajahan dalam bentuk yang lain. Film ini pula mengilustrasikan bagaimana serbuan produk asing yang terasa sulit untuk diredam. Realitas zaman yang menjadikan bangsa kita secara tak langsung mudah dibeli oleh iklan-iklan yang dengan kata-kata manis kerap sukses menggoyang iman calon konsumennya. Ya, semoga saja produk—khususnya film—kita terus improve sehingga mampu bersaing dengan para pesaing asingnya di era perdagangan bebas ini. Maka dari itu, jangan bosan-bosan jika iklan perusahaan dengan tagline “Cintailah Plotuk-Plotuk Indonesia” makin sering kita lihat dan dengar.

Jika Ramadan bulannya “taubat mendadak”, boleh kah Agustus diberi predikat bulannya “mendadak nasionalis”?