21 Aug

Uwi, Menyentil Indonesia lewat Film

Salah satu elemen dari balik layar yang turut terlibat aktif dalam semua tahapan proses pembuatan film memang tak hanya seorang sutradara. Ya, produser memang lebih sibuk dalam tahapan pra-produksi, namun tugas pokok dan fungsi mereka, menjadi salah satu rukun yang haram dipisahkan dari segala rangkaian produksi sebuah film.

Ada yang sedikit berbeda dalam interviu yang Kineria lakukan hari ini. Apa yang membedakan? Nah, kalau kemarin-kemarin kami mewawancarai para sutradara film, lain halnya dengan laman ini yang bakal memuat hasil bincang kami bersama seorang produser jelita bernama Tri Wuri Anggraini. Uwi—begitu ia biasa disapa—berperan sebagai produser dalam film-nya yang berjudul Teori Nasionalisme. Film yang juga dapat kalian tonton dimana dan kapan saja tersebut, nyatanya sukses menembus 10 besar film terbaik Festival Bulungan 2013.

Mungkin para pembaca yang budiman penasaran mengapa film ini diberi judul ‘Teori Nasionalisme’? Tenang, Uwi akan mengupasnya.

“Karena sesuai dengan konsep cerita, nasionalisme saat ini hanya lah sekadar teori,” ungkap Uwi, membuka sesi tanya jawab bersama Kineria.

Lebih lanjut perempuan kelahiran Jakarta, 25 tahun silam itu membeberkan, “Perkembangan era globalisasi saat ini mengakibatkan pemuda-pemudi bangsa ikut larut dan bergantung pada negara asing. Berbeda dengan pemuda-pemudi ketika masa penjajahan. Oleh karena itu, kami mempertanyakan teori dari nasionalisme saat ini.”

Hmm…jika kita tarik ke konteks masa kini, konsep nasionalisme dalam film ini memang menjadi sangat relevan. Apalagi jika dibandingkan dengan nasionalisme bangsa Indonesia di masa lalu. “Kalau menurut konteks film ini, nasionalisme saat ini tidak Berdikari (kemandirian bangsa ala Bung Karno), dimana kita otomatis bergantung dengan pihak asing. Film tersebut menceritakan ‘buat apa sih kita melawan pihak asing, toh kita juga nanti bergantung dengan mereka’,” Uwi kembali menjelaskan.

Modernisasi dan penetrasi budaya asing juga tak luput “disentil” dalam film yang diproduserinya kali ini. “Seperti teknologi yang terlihat dalam film tersebut, ada gadget yang merupakan buatan asing dan kita sangat membutuhkan media itu kemajuan bangsa. Jadi kami juga mempertanyakan, ‘apa perlu kita memperjuangkan kemerdekaan jika kita masih bergantung pada pihak asing?’,” sambung jebolan Komunikasi Broadcasting Institut Bisnis Nusantara itu.

Tri Wuri AnggrainiMengambil lokasi syuting di Gunung Pancar, kawasan Sentul Bogor, Uwi mengaku proses syuting yang tidak kelar sehari tersebut “memaksa” mereka untuk berkemah di areal tersebut. Ia pun mengutarakan rombongan “Teori Nasionalisme” yang sempat terusik oleh keberadaan makhluk halus. Apa mungkin ya salah satu pejuang bangsa tempo dulu yang ingin mengapresiasi film ini dengan caranya?

Akhwat yang saat ini berprofesi sebagai reporter di salah satu perusahaan konsultan media di bilangan Jakarta Selatan itu, pernah pula menjadi nominator dalam lomba penulisan skenario film yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 2012 lalu. Sempat pula menulis sinopsis FTV SCTV, pos Uwi sebagai campers (juru kamera) dalam dokumenter Si Pitoeng, sukses mengantar film tersebut menjadi finalis dalam kompetisi film dokumenter yang dihelat Erasmus Huis. Tak berhenti sampai di situ, naskah garapannya kembali menuai prestasi, kali ini gelar ’10 besar naskah pilihan terbaik’ dalam ajang penulisan skenario film yang digagas Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).

Saat kami tanya proyek film yang hendak ia produseri selanjutnya, Uwi dengan diplomatis menjawab, “untuk project selanjutnya belum tahu, tapi ada rencana untuk buat lagi,” katanya. Oke, kita tunggu saja gebrakan apa lagi yang bakal hadir dari produser yang juga handal menulis skenario itu.

Ya, jika Ahok mengatakan HUT Indonesia ke-80 adalah tahap menikmati masa “pensiun”. Biar lah dulu HUT Indonesia ke-70 ini kita nikmati dengan suguhan film-film bertemakan kearifan nasional. Salah satunya ya film yang diproduseri Uwi ini.