09 Mar

Ulasan Film “Salah Gaul”

Apakah menjadi ALay alias Anak Layangan alias Anak Lebay alias Anak Kampung atau terserah lha Anda mau mendefinisikannya seperti apa, merupakan cara bergaul yang salah? Apakah kita yang meng-klaim diri kita bukan bagian dari mereka sudah bebas dari predikat tersebut? Belum Tentu!

Ya, berangkat dari gelagat alay yang sedang naik daun di Indonesia, setidaknya dua pertanyaan di atas membuat duo Abdul Razzaq dan Sahree Ramadhan tergerak untuk mendokumenterkannya. Mulai dari pelajar hingga wanita karir mereka mintai pendapat soal alay dan segala problematikanya.

Tidak ada definisi pasti dari apa yang dinamakan alay yang ditawarkan dalam film ini. Penonton diajak ikut memaknai apa yang disebut dengan alay, apa yang biasanya mereka kerjaan, bagaimana mereka berpenampilan, sampai di mana tempat mereka bersosialisasi. Royal Plaza kompak disebut oleh para narasumber sebagai tempat berkumpulnya para alay, Mall itu paling sering disebut karena memang syutingnya mengambil tempat di Surabaya. Jangan salah, Read More

02 Mar

Ulasan Film “Senyawa”

Film Senyawa

Bagi masyarakat yang bermukim di perkampungan padat penduduk, ketenangan adalah semacam kemewahan yang begitu sulit digapai. Betapa tidak, semenjak roda aktifitas bergulir sesaat setelah Adzan Subuh berkumandang, bunyi-bunyian berasal dari berbagai sumber – bocah-bocah heboh bermain, pertikaian suami istri yang meledak-ledak, lengkingan suara penjaja makanan keliling, kendaraan bermotor berseliweran kesana kemari, hingga sesekali toa masjid mengumandangan Adzan maupun melantunkan ayat-ayat suci – senantiasa menghiasi silih berganti tiada berkesudahan hingga larut malam menjelang… jika cukup beruntung.

Tidak jarang pula walau hari telah begitu gelap, sejumlah pemuda masih asyik nongkrong sekadar untuk bercengkrama seraya menenggak kopi (atau bahkan minuman keras!). Polusi suara yang bercampur mulus bersama polusi udara ini pun telah menjadi bagian tak terpisahkan bagi mereka yang memilih tinggal di perkampungan padat penduduk. Telah terbiasa di lingkungan semacam ini, penduduk pun Read More

26 Feb

Ulasan Film “Gundah Gundala”

Invasi “barang” impor di Indonesia membuat Wimar Herdanto tergelitik bergerilya dengan Gundah Gundala-nya. Mengisahkan obrolan yang tidak begitu santai di sebuah warung kopi, Gundala Putra Petir diketahui baru saja terlibat perbincangan dengan (mantan) kameradnya dalam membasmi tabir kejahatan di kolong nusantara, ya, Gatotkaca.

Di saat tren film kontemporer menyoal heroisme tidak sedang menggunakan aktor yang ganteng-ganteng amat sebagai jagoannya, Wimar pun barangkali menjadi penganut mazhab yang sama. Iron Man (2008) dengan Robert Downey Jr. atau Edward Norton yang berperan sebagai Bruce Banner dalam The Incredible Hulk (2008) menjadi salah duanya. Karena menjadi sesuatu yang nisbi, sisanya silakan Anda cari dan tentukan sendiri.

Di penghabisan era 60-an, pahlawan rekaan kita sebenarnya mulai sanggup mengimbangi serbuan Flash Gordon, Superman, pun Tarzan. Nama-nama seperti Gundala Putra Petir, Godam Manusia Besi, Pangeran Mlaar, hingga Jin Kartubi perlahan-lahan memangkas dominasi Pahlawan-Pahlawan Barat tersebut. Memang, kudu diakui, pengaruh bule-bule itu tidak sekonyong lepas begitu saja dari penggarapan banyak superhero asal Indonesia. Tapi tunggu dulu, Read More

26 Feb

Ulasan Film “Indonesia Sekarang”

Apa yang terlintas di benak Anda bila disodorkan rapid question yang meminta Anda menyebutkan dua kata menyoal Indonesia sekarang? Negara Korup?, Negeri Sepakbola?, atau…Revolusi Mental?. Bila pertanyaan tersebut ditujukan kepada orang-orang di belahan dunia lain mungkin mereka bakal balik bertanya, “Indonesia? Panganan jenis apa itu?” atau kalau kita mau sedikit husnudzon dengan berasumsi “yaa…maksimal mereka pernah dengar lha nama Indonesia sebagai sebuah negara”, namun apakah Anda yakin ia tidak kembali dengan pertanyaan, “dimana tuh?”. Jika Anda tidak ingin bertele-tele dan ogah melulu ditanya balik, jelaskan saja begini “Indonesia itu tetangganya Singapura”, lawan bicara Anda tersebut kemungkinan

Read More

26 Feb

Ulasan Film “Cerita Ivy”

Film Cerita Ivy

Hanya berpatokan pada premis sekaligus judul, penonton akan dengan mudah meremehkan ‘Cerita Ivy’ arahan Rizky Indra Purnama. Kesan pertama yang ditimbulkan oleh film ini adalah usaha lain untuk menjual nasionalisme, patriotisme, atau tindakan-tindakan heroisme yang nantinya berujung pada tatanan kisah bernuansa menceramahi seputar kepedulian terhadap sesama ataupun bela negara. Bukan tanpa alasan pesimisme semacam ini bermunculan mengingat para pembuat film pendek di tanah air kerap kali dihadapkan pada mandegnya gagasan lengkap beserta kekliseannya hanya untuk mengapungkan tatanan kisah yang (maunya) berisi pesan moral, kearifan lokal, atau penabur semangat terhadap generasi muda agar lebih peduli terhadap kondisi Indonesia. ‘Cerita Ivy’ walau tidak betul-betul lepas dari jeratan itu, memiliki gayanya sendiri dalam menghantar penuturannya sehingga penonton yang kadung memandang sebelah mata dibuatnya kecele.

Ya, ‘Cerita Ivy’ memang sebuah film pendek yang diharapkan oleh pembuat filmnya menyampaikan pesan baik bagi masyarakat. Hanya saja, cara tuturnya yang singkat, tepat sasaran tanpa perlu bertele-tele, pula polos yang menjauhkannya dari kesan menggurui membuatnya nikmat untuk disantap. Lagipula, kata kunci yang diberikan di dalam film rupanya menipu seolah mengesankan bahwa film ini akan terjerembab pada nasionalisme semu. Bagaimana bisa tidak berpikiran macam-macam Read More

21 Feb

Ulasan Film “Aku Kudu Piye, Tweeps?”

Peta perpolitikan pascareformasi memang jelas-jelas mengubah wajah media konvensional negeri ini. Rentang 1999-2001 praktis Indonesia masih “meraba-raba internet”. Saat itu, kita (baca: orang tua kita), masih dengan senang hati menunggu pukul 19 atau 21 untuk ‘Dunia dalam Berita’ atau menunggu lemparan koran dari loper keesokan paginya.

Sejak kemunculan Friendster (2002) hingga Facebook (2004), Indonesia mulai melek jejaring sosial. Ketika itu, belum popular istilah ‘jurnalisme warga’, namun praktik para penggunanya sudah mengarah ke sana. Pengguna dapat menjadi “media” itu sendiri. Belum terpikirkan pula oleh pemerintah apa itu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE). Para pengguna masih bisa dengan sangat leluasa menyebarkan opini dan menaburkan segala unek-uneknya.

Medio 2006 muncul Twitter, sosial media temuan Jack Dorsey ini memang Read More

13 Feb

Ulasan Film “Pilem Pertamaku”

Apakah kamu masih ingat pada film pertama yang ditonton di bioskop entah atas ajakan orang tua atau kemauan sendiri? Bagi penulis, pengalaman sinematik pertama terjadi saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Kala itu, keinginan untuk melahap film di layar lebar berasal dari diri sendiri yang memang sedikit banyak telah tumbuh semenjak diperkenalkan oleh orang tua lewat iklan bioskop surat kabar (terdengar aneh, ya?).

Setelah berbulan-bulan merengek berharap memperoleh kesempatan itu – ada beberapa film yang penulis harapkan bisa tonton lantas berlalu begitu saja – akhirnya permintaan pun dikabulkan. Bersama saudara sepupu dan kakak perempuan, penulis diboyong ke salah satu bioskop di kampung halaman (kini telah rata dengan tanah wujudnya!) untuk menyaksikan ‘Batman Forever’ arahan Joel Schumacher. Tidak terlalu ingat siapa yang memilih film, yang jelas saat itu citra Batman di keluarga dianggap sebagai film anak-anak. Hasilnya? Read More

10 Feb

Ulasan Film “Salah Gaul”

Dalam obrolan keseharian di kalangan anak-anak muda, sering kita menjumpai istilah ‘alay’ dilontarkan. Penerapannya pada kalimat umumnya berkisar “gaya kamu itu lho alay banget!”, “jangan seperti anak alay deh!”, “nggak ah, itu kan alay banget!”, dan sebagainya-sebagainya. Seketika menimbulkan kepenasaran, apa sih yang dimaksud dengan alay? Membolak-balikkan Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk menggali informasi definisi paling tepat mengenai istilah ini tentu tidak ada gunanya karena penggunaan kata ‘alay’ sendiri baru berkembang beberapa tahun belakangan ini yang itu Read More