26 Feb

Ulasan Film “Cerita Ivy”

Film Cerita Ivy

Hanya berpatokan pada premis sekaligus judul, penonton akan dengan mudah meremehkan ‘Cerita Ivy’ arahan Rizky Indra Purnama. Kesan pertama yang ditimbulkan oleh film ini adalah usaha lain untuk menjual nasionalisme, patriotisme, atau tindakan-tindakan heroisme yang nantinya berujung pada tatanan kisah bernuansa menceramahi seputar kepedulian terhadap sesama ataupun bela negara. Bukan tanpa alasan pesimisme semacam ini bermunculan mengingat para pembuat film pendek di tanah air kerap kali dihadapkan pada mandegnya gagasan lengkap beserta kekliseannya hanya untuk mengapungkan tatanan kisah yang (maunya) berisi pesan moral, kearifan lokal, atau penabur semangat terhadap generasi muda agar lebih peduli terhadap kondisi Indonesia. ‘Cerita Ivy’ walau tidak betul-betul lepas dari jeratan itu, memiliki gayanya sendiri dalam menghantar penuturannya sehingga penonton yang kadung memandang sebelah mata dibuatnya kecele.

Ya, ‘Cerita Ivy’ memang sebuah film pendek yang diharapkan oleh pembuat filmnya menyampaikan pesan baik bagi masyarakat. Hanya saja, cara tuturnya yang singkat, tepat sasaran tanpa perlu bertele-tele, pula polos yang menjauhkannya dari kesan menggurui membuatnya nikmat untuk disantap. Lagipula, kata kunci yang diberikan di dalam film rupanya menipu seolah mengesankan bahwa film ini akan terjerembab pada nasionalisme semu. Bagaimana bisa tidak berpikiran macam-macam saat ‘pahlawanku’ adalah tema utama yang hendak dibicarakan oleh si tokoh utama sepanjang durasi bergulir? Mendengar tema ini, tentu bayangan terbersit pertama kali adalah seperti apa yang telah penulis sedikit banyak jabarkan di paragraf pembuka. Kesannya sempit, memang. Tetapi ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar, penulis – yang tak banyak dianugerahi pemikiran kreatif – memang seringkali mengartikan pahlawan kelewat harfiah meski sebetulnya cakupannya luas.

‘Cerita Ivy’ malah membawa cakupan itu lebih luas lagi. Dan tuturannya pun polos sekali, mengikuti cara berpikir bocah SD yang tidak neko-neko dan cenderung berbaik sangka pada hampir setiap lini kehidupan. Tiada prasangka macam-macam. Ivy (Tresna Sumirah) pun demikian. Saat diminta oleh guru kelasnya membacakan karangannya yang berjudul ‘pahlawanku’, dia mengangkat figur sang ayah untuk diperbincangkannya di depan kawan-kawan sekelas maupun guru. Pada kalimat-kalimat awal, ada kebingungan yang melanda penonton karena ayah Ivy digambarkan jauh dari kesan seorang pahlawan. Merokok tiada henti, setiap saat, dimana saja, dan di depan siapa saja. Apa yang begitu heroik dari tindakan semacam itu? Penulis mencoba bersabar mendengarkan cerita Ivy hingga tuntas berharap mendapat jawaban atas rasa kebingungan ini. Tidak berselang lama, setelah kata demi kata terlewati, sebuah penutup dibacakan oleh Ivy yang lantas menggiring penonton pada suatu kesimpulan yang membuat terhenyak.

Rizky Indra Purnama mengungkapkan bentuk kekhawatirannya terhadap para perokok yang seringkali egois dan menutup mata terhadap kondisi di sekitarnya melalui ‘Cerita Ivy’. Tiada tuduhan menyudutkan penuh penghakiman, malah bisa dibilang sekadar menepuk-nepuk pundak secara lembut seraya berujar, “begini lho dampak negatif yang kamu kontribusikan kepada lingkungan sosial sekitarmu.” Pesan yang diusung oleh ‘Cerita Ivy’ ini sebetulnya besar, problematika yang hampir bisa dipastikan sering dijumpai masyarakat Indonesia, tetapi penyampaiannya terasa begitu berkelas, sederhana, mengena, sekaligus menohok dalam-dalam. Sebuah gambaran yang nyata adanya, benar-benar terjadi di sekeliling kita, namun kerap dianggap sepele cenderung disepelekan karena ‘impact’-nya bersifat perlahan-lahan menghampiri pula tidak membawa kerusakan masif sekaligus.

‘Cerita Ivy’ bukan menggunjing mengenai bahaya yang akan ditanggung oleh perokok aktif, melainkan derita yang dihadapi para perokok pasif. Bahkan kenyataannya, menghirup asap rokok orang lain lebih berbahaya dibandingkan menghisap rokok sendiri dan bahaya yang harus ditanggung perokok pasif pun tiga kali lipat dari bahaya perokok aktif. Si pembuat film mencoba mengangkat isu ini agar publik lebih ‘aware’. Entah sengaja menutup mata atau murni ketidaktahuan, kebanyakan perokok memang suka membagikan asap rokoknya pada sekeliling tanpa meminta izin terlebih dahulu seolah-olah asap tersebut tidak mengandung zat berbahaya. Ironisnya, hal ini tidak saja terjadi di ruang publik terbuka tetapi juga unit terkecil dalam lingkaran sosial manusia, yakni rumah tangga. Ayah seenak hati ngebal-ngebul sementara asap dihirup dalam-dalam oleh anak istri.

Efek negatifnya tidak lantas kentara. Itulah yang membuat tingkat marabahayanya kian meningkat. ‘Cerita Ivy’ menunjukkan bagaimana si perokok aktif tidak kunjung berhenti membagi-bagikan asap rokoknya hingga sebuah bencana menimpa keluarganya. Rizky Indra Purnama memperlihatkannya dalam bahasa gambar melalui sebuah adegan penutup sempurna yang sedikit ‘nge-twist’ memberi sebuah definisi ironis (sekaligus menampar) dari ‘pahlawanku’. Mengikuti tafsiran Ivy, maka bisa dibilang para perokok aktif yang memutuskan berhenti untuk merokok selamanya atas pertimbangan satu dua hal layak diberi label pahlawan. Mengesampingkan tujuan utama dari memberhentikan kegiatan menghirup asap dari cacahan daun tembakau berisi kandungan zat nikotin ini, setidaknya mereka telah sedikit banyak berkontribusi dalam memberikan udara yang lebih bersih untuk dihirup, kenyamanan, serta menghindarkan penyakit berbahaya bagi orang di sekitar. Pada akhirnya, bolehlah para perokok yang insyaf ini disebut sebagai pahlawan. Menarik.