13 Feb

Ulasan Film “Pilem Pertamaku”

Apakah kamu masih ingat pada film pertama yang ditonton di bioskop entah atas ajakan orang tua atau kemauan sendiri? Bagi penulis, pengalaman sinematik pertama terjadi saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Kala itu, keinginan untuk melahap film di layar lebar berasal dari diri sendiri yang memang sedikit banyak telah tumbuh semenjak diperkenalkan oleh orang tua lewat iklan bioskop surat kabar (terdengar aneh, ya?).

Setelah berbulan-bulan merengek berharap memperoleh kesempatan itu – ada beberapa film yang penulis harapkan bisa tonton lantas berlalu begitu saja – akhirnya permintaan pun dikabulkan. Bersama saudara sepupu dan kakak perempuan, penulis diboyong ke salah satu bioskop di kampung halaman (kini telah rata dengan tanah wujudnya!) untuk menyaksikan ‘Batman Forever’ arahan Joel Schumacher. Tidak terlalu ingat siapa yang memilih film, yang jelas saat itu citra Batman di keluarga dianggap sebagai film anak-anak. Hasilnya?

Pilem Pertamaku

Ugh, mimpi buruk. Jangankan paham dengan jalan cerita yang diusungnya, kesan yang terbawa usai menonton hanyalah: “film ini berisik sekali dan ruang pemutaran gelap ampun-ampun!”. Jelas bukan permulaan baik untuk berkenalan.

Vincent Jose melalui film animasi pendek berjudul ‘Pilem Pertamaku’ mencoba mengajak penonton untuk sedikit bernostalgia pada pengalaman sinematik pertama kala masih bocah entah meninggalkan kesan mengasyikkan atau justru agak pahit seperti penulis alami. Tidak saja sekadar mengenang, dalam film yang juga turut ditulis naskah, diedit, sekaligus diproduseri sendiri olehnya, Vincent Jose – atau sapaan akrabnya, ViJo – juga turut menyelipkan kritik kepada para orang tua dan pihak bioskop di Indonesia yang dianggapnya sama sekali tidak tegas menjalankan peraturan terkait klasifikasi usia penonton. Telah menjadi rahasia umum, bahkan membudaya, bahwa banyak orang tua yang sesuka hatinya memboyong buah hati untuk menonton film berlabel kategori ‘dewasa’ di bioskop tanpa peduli dampak psikologis kepada anak maupun gangguan yang diterima oleh penonton lain saat si anak mendadak rewel. Ironisnya, atas nama bisnis, pihak bioskop pun mempersilahkan tanpa ada tindak lanjut. Bagi mereka, selama membayar, mengapa tidak?

‘Pilem Pertamaku’ ini bertutur mengenai seorang bocah tak bernama – rentang usia mungkin sekitar 4-5 tahun – yang diajak oleh orang tuanya menonton di bioskop. Pilihan film kala itu meliputi “Serangan Maut”, “Kuntilanak Melotot”, dan “Si Kancil 3D”. Tentu, sebagai kanak-kanak, si bocah tertarik untuk menyaksikan pilihan terakhir. Sayangnya, kedua orang tuanya menolak menuruti dan sebaliknya justru memaksa si bocah untuk menonton “Serangan Maut”. Mulanya penjaga loket bioskop melarang mereka membawa anak kecil menyaksikan film tersebut. Tapi setelah sebuah rayuan (atau malah ancaman), si penjaga loket pun luluh dan mempersilahkan ketiganya menyaksikan film bergenre aksi semacam “The Raid” ini. Alih-alih bersuka ria, si bocah malah justru tersiksa bukan kepalang menonton film penuh adegan kekerasan tersebut. Berteriak, merajuk, sampai mengkeret di kursi bioskop dijabaninya sedangkan si ayah hanya bisa ‘ssssttt…!!!’. Tidak ingin tersiksa lebih lama lagi, si bocah pun meminta si ayah untuk menemaninya ke toilet yang ternyata menjadi kesempatan terbaik bagi si bocah untuk akhirnya benar-benar merasakan pengalaman sinematik pertama yang mengesankan.

Ya, ‘Pilem Pertamaku’ bukan saja berniat membuka lembaran kenangan para pecinta film mengenai pengalaman pertama menyaksikan film di bioskop tetapi juga ungkapan kekecewaan (sekaligus bisa juga diartikan sebagai surat cinta) dari seorang penikmat film atas kacaunya dunia perbioskopan tanah air. Vincent Jose mengupas itu dalam film animasi pendek sederhananya yang berdurasi hanya sekitar 3 menit ini. Tanpa tedeng aling-aling atau berbasa basi kesana kemari mempergunakan serangkaian metafora, Vincent Jose nakal-senakalnya mengkritik jaringan bioskop, orang tua, bahkan Lembaga Sensor Film. Saat menyaksikan ‘Pilem Pertamaku’ ini, kentara sekali bahwa Lembaga Sensor Film (LSF) tidak mempunyai pengaruh apapun selain beberapa film yang dianggapnya kurang layak terpotong-potong adegannya. Lha bagaimana bisa berjalan saat orang tua dan pihak bioskop pun enggan untuk patuh pada pengkategorian usia penonton yang telah diterapkan oleh LSF? Akibatnya, LSF pun tidak lebih dari sekadar tukang pemenggal adegan semata sehingga selalu ada alasan bagi mereka untuk tidak berkembang menjadi badan pengklasifikasi usia penonton.

Lucu sekaligus pahit adalah apa yang kamu rasakan tatkala menonton ‘Pilem Pertamaku’. Selain perihal LSF, film ini pun masih menyisakan soal bioskop dan orang tua yang sengaja menutup mata untuk kepentingan masing-masing sehingga mengorbankan anak. Pernahkah kamu menjumpai bocah di bawah umur menyaksikan film dewasa sarat adegan kekerasan (atau bahkan seksualitas)? Bagi penulis, bukan lagi pernah melainkan sering. Ironisnya, mereka menonton didasar kemauan orang tua, tidak dari diri sendiri. Pada kasus film ‘Taman Lawang’ yang dibintangi Olga Syahputra – dialami sendiri oleh penulis – seorang anak sampai mengiba-ngiba kepada sang ayah untuk membawanya keluar dari gedung bioskop karena ketakutan. Persis seperti yang terjadi dalam ‘Pilem Pertamaku’. Hal ini tidak saja membawa dampak buruk kepada sisi psikologis anak – yang bisa saja nantinya berkembang menjadi penakut – tetapi juga memberi gangguan untuk penonton lain yang berniat memperoleh hiburan tanpa diusik gangguan. Pada akhirnya, ‘Pilem Pertamaku’ ini semacam teguran keras kepada para orang tua agar lebih bijak memilih film saat membawa anak ke bioskop dan pihak bioskop pun lebih tegas menegakkan aturan klasifikasi usia penonton yang telah dikeluarkan oleh LSF.