10 Apr

Berbicara Nasionalisme Tanpa Berceramah

Tidak sedikit masyarakat di negeri ini yang menganggap menonton sebuah pertandingan sepak bola merupakan kewajiban dariNYA, pergi ke stadion yang sama halnya dengan naik haji ke tanah suci, dan klub yang mereka bela adalah berkah perpanjangan tangan tuhan dalam bentuk agama kedua. Sepak bola memang menjadi olahraga nomor wahid di Indonesia, walaupun kerap dikecewakan olehnya, riuh suporter kita di dalam stadion boleh dipastikan tak pernah surut jika Evan Dimas cs. mainkan laga kandang. Jangan lupakan pula antusiasme penonton layar kaca yang menyebabkan rating Ganteng-Ganteng Serigala sempat jauh tertinggal.

Karakter utama dalam Sang Suporter menjadi salah satu representasinya, sebut saja namanya Johan. Entah karena ingin memiliki postur sebagaimana yang diidamkan Irina Shayk, penggila bola yang satu ini tampaknya terlalu memforsir latihan fisiknya. Berlatarkan kamar yang lebih mirip locker room-nya Gelora Bung Karno, Wiryadi Dharmawan, kreator animasi ini, benar-benar menggambarkan Johan layaknya seorang pecinta bola sejati. Hingga, karakter dengan kepala plontos ala Antoine Sibierski itu mendapatkan kado manis berupa tiket nonton langsung hajatan empat tahunan, Piala Dunia 0000, yang diselenggarakan di sebuah negara fiktif bernama Balland. Lembaran tiket bernilai maha tinggi yang menjadi biang konflik dalam film tanpa dialog ini.

Segerombolan anak yang (tampak) dibantu ayahnya masing-masing rupanya iri dengan apa yang didapat Johan, setelah baku pukul yang cukup alot, tiket pun berpindah tangan. Johan tak lantas bergeming, dengan sisa-sisa tenaga ia mengejar gerombolan tersebut demi “naik haji gratis”. Fragmen yang memang membesitkan militansi suporter sepak bola—khususnya di Indonesia—yang rela meninggalkan rumah, berkorban fisik dan materi, melanglang antarpropinsi, pulau, bahkan negara demi menyokong negara pun klub kesayangan mereka. Hmm…tak disangka, dalam pergumulan perebutan tiket itu Johan dibantu oleh seekor “tetangga”-nya. Salah satu dari sekian bagian yang memperlihatkan Wiryadi Dharmawan mencoba menabrak keteraturan sebuah film. Imbasnya, penonton pun tidak terasa seperti diceramahi soal nasionalisme dan segala perkara moral di dalamnya.

Ada lagi yang menarik, Johan yang mendapatkan beasiswa kepolisian setelah ia akhirnya sukses menghentikan pelarian gerombolan ayah dari anak-anak yang sempat dibahas di atas—yang kebetulan buronan polisi—, Johan pun bertransisi menjadi seorang polisi, tapiii…robot, lho kok? Ya, satu hal unik lainnya yang coba ditawarkan sang kreator. Lha terus tiketnya? Lalu peluang emasnya nonton langsung Piala Dunia? Berangkat kah? Hangus kah? Tonton lah…Poster

Selain menyuguhi cerita seru bin lucu, film animasi karya Wiryadi Dharmawan—yang juga merupakan adaptasi dari cerita kompilasi komik lokal Gilanya Bola ini—sedikit banyak menyiratkan pesan-pesan yang sangat relevan untuk persepakbolaan nasional khususnya. Salah satunya coretan dinding di kamar Johan berupa lambang hati yang disertai jargon “Peace Soccer”. Dibandingkan prestasi, karut marut (tak kunjung kelar) dari level akar rumput hingga level elite memang yang kerap kejadian dan gamblang terlihat di negeri ini. Tampaknya pula jawaban “rusuh” atau “judi” masih menjadi favorit masyarakat apabila diminta menyebutkan satu kata tentang Sepak Bola Indonesia.

Tak salah bila film ini diganjar Piala Citra 2013 dan Piala Maya 2013. Film yang terasa sukses menggambarkan hati seorang suporter yang ingin sekali mengenalkan hal-hal baik ke mata dunia menyoal bal-balan Indonesia dan segala pemangku kepentingannya (yang dalam hal ini adalah suporter). Sebuah hasrat yang lazim dimiliki Sang Suporter di saat Timnas-nya masih berkutat di Piala Dunia Asia Tenggara.