23 Apr

Menikmati Rutinitas Banjir Jakarta

Banjir Jakarta tak lagi terasa sebagai musibah melainkan telah menjadi sebuah rutinitas. Imbasnya, masyarakat kembali harus menurunkan standar kesejahteraannya tatkala memilih berdomisili di Jakarta. Selain masalah macet, banjir katanya menjadi pokok konstrentasi dari para pemangku kepentingan ibu kota. Ya, sembarang membuang sampah sambil mencak-mencak menyalahkan pemerintah memang memuakkan, namun pengejawantahan dari program penanganan yang tampak kalah banyak dari mal-mal baru pun tak kalah memuakkannya.

Siklus banjir lima tahunan juga tengah dirasakan Enjeh, dara manis asal Daerah Khusus Taman Air Jakarta ini nyatanya harus melintasi genang-genang air untuk bisa sampai ke pasar demi makanan enak untuk kedua orang tuanya. Harus menempuh jarak sejauh 20 kilometer pulang-pergi rumah-pasar, tak membuat Enjeh beserta pacar dan sepupu menikmati jalan-jalan mingguannya itu. Gagasan Enjeh cs. yang memang mendahului zamannya di saat kaum urban masa kini hanya lari-lari cantik demi tren semata.Poster

Blessing in disguise mungkin bagi mamanya Enjeh, banjir kali ini membuatnya lebih luang untuk bersih-bersih rumah, “lebih bersih dari ga ada banjir”, beliau berkata. Lain halnya dengan papanya Enjeh yang lebih memilih bergelut sebagai “pencari harta karun”. Narator film dokumenter ini pun melakukan provokasi kepada papa-mama Enjeh dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan memancing. Mendengar nada dan pemilihan kata dalam narasinya, sang narator sukses membuat (musibah) banjir—setidaknya dalam film ini—bukan sesuatu yang harus diratapi-diratapi amat.

Kala banjir melanda, perahu karet-lah yang menjadi primadona. Enjeh dkk. dengan senang hati mengiyakan instruksi sang papa untuk membeli moda transportasi musiman itu. Alhasil, sebuah perahu karet berwarna kuning cerah, secerah wajah Enjeh saat berhasil mendapatkannya dengan harga tega nan tak biasa. Fragmen yang benar-benar memperlihatkan sisi lain Enjeh sebagai negosiator ulung…hehe. Namun, tampaknya mereka lupa membeli salah satu alat penunjang dalam menahkodai sebuah perahu, hmm…ya, pengayuh alias dayung.

Walaupun majalah kesayangan harus hanyut terseret air, Enjeh malah ingin air bah macam ini terus membanjiri kotanya, lho kok? Yaa…setidaknya apa yang “dihajatkan” Enjeh tersebut masih kesampaian sampai sekarang. Mungkin saja Enjeh sepemikiran dengan papa dan mamanya yang menganggap banjir kali ini mengubah Jakarta bak Venice minus gondola. Kemacetan level memprihatinkan yang disertai melambungnya harga BBM menjadi salah dua hal mengapa mereka merindukan waterway di Jakarta.

Tingkah Enjeh memang menggelikan dalam film ini. Sebagai pusat cerita, ia mampu mengembangkan jawaban-jawaban out of the box-nya disertai mimik dan gimik yang unik dan atraktif. Pertanyaan-pertanyaan memancing ala Andra Fembriarto—sutradara film ini—pun tak kalah menarik, ia mampu menghadirkan opini-opini tak biasa dari sebuah keluarga kecil menyoal banjir dan segala sebab-akibat-nya. Ditambah dua peran membantu dari Zico, pacarnya Enjeh, yang mengingatkan saya pada legenda Brasil dan Yaya, sepupunya, yang mengingatkan saya pada King Kolo, Andra pun menambahi Jakarta 2012-nya dengan angka-angka imbas tabiat buruk warga, yang memang menjadi faktor penyebab banjir Ibu Kota tak kelar-kelar. Angka-angka apa sik itu? Dari mana asalnya? Anda terlibat di dalamnya? Berapa besar jumlahnya? Biarkan epilog film ini yang menjawabnya.

Film yang pernah ditahbiskan sebagai yang terbaik dalam Melbourne Indonesia Film Festival dan South to South Film Festival ini nyatanya dibuat tahun 2007 dan memang tidak mengagetkan jika film ini masih sangat relevan hingga kini dan nanti. Maka dari itu, sah-sah saja kalau Jakarta 2012 menjadi tontonan wajib warga Jakarta dan Basuki Tjahaja Purnama.