11 Jul

Ulasan Film: “Parkir”

Apakah Anda pernah menemui problem di tempat parkir? Berkonflik ria bersama kawan atau pasangan dipicu oleh masalah pribadi (atau hal lainnya), tersesat mondar-mandir kesana kemari penuh kebingungan, atau kehilangan sesuatu bersifat penting yang menjadi kunci utama agar bisa “meloloskan diri” dari tempat parkir adalah beberapa yang kerap dijumpai – atau bahkan dialami sendiri – di lahan parkir.

Rasa-rasanya, sebagian besar dari Anda pernah dihantam drama semacam ini saat memutuskan untuk menitipkan kendaraan pribadi ke pengelola pusat perbelanjaan (atau tempat lainnya). Semakin luas tempat Anda memarkirkan mobil atau motor, maka semakin besar pula kemungkinan bumbu kehidupan bercita rasa konyol ini menghampiri diri Anda seraya mengejek-ejek sifat alamiah manusia, pelupa dan ceroboh.

Anehnya, walau persoalan yang kerap kali dipantik karena kelupaan ini seolah telah menjadi pengalaman pribadi siapapun, muskil mendapati film dalam koleksi sinema Indonesia yang memperbincangkannya. Sepertinya banyak sineas yang luput (atau malah memandang remeh) tempat parkir yang bisa jadi juga merupakan saksi bisu atas beragam persoalan hidup. Kalaupun disentil, seringkali bentuknya hanya sebagai sketsa dalam suatu film komedi – menjadi pemicu kelakar semata – atau malah dimanfaatkan oleh para sineas film horor untuk memancing nuansa seram yang memang dimiliki sepenuhnya oleh tempat satu ini. Tidak pernah lebih dari itu. Di kala pengharapan nyaris sepenuhnya padam, saya akhirnya menemukan sebuah film pendek yang sejak menit awal hingga credit title menampakkan diri bertutur sepenuhnya tentang kegilaan di tempat parkir. Dan film tersebut digarap oleh Jason Iskandar.

Apabila Anda mengenal betul rekam jejak Jason Iskandar di semesta film pendek nasional, tentu tiada mengherankan saat tahu dia membuat film semacam ini. Maksud saya dari “semacam ini” adalah persoalan yang diapungkan di film adalah sesuatu yang bisa jadi dianggap kelewat sepele, terlalu sederhana, dan hampir tidak mempunyai bobot dalam konfliknya. Ringan. Tapi kemudian kita lihat bagaimana dia memerlakukan “Seserahan”, “Tanya Jawab”, serta filmnya yang (bagi saya) paling fenomenal, “Territorial Pissings” – begitu istimewa. Ada sesuatu yang unik, menyentil, juga lucu saat Jason Iskandar mengupas soal adat Jawa, persiapan menjelang ujian, serta gender, tanpa perlu penjabaran kelewat ribet. Mengetahui ini, tentu ada semacam perasaan penuh semangat kala menyimak salah satu filmnya yang berjudul “Parkir” dan bertanya-tanya dalam hati, “Apa yang akan dikulik (serta tentu disentil) oleh sutradara muda jenius ini?”

Judulnya telah menjelaskan secara gamblang apa yang akan menjadi fokus utama tuturan cerita dan lokasi kejadiannya. Pada menit pembuka, kita lantas diperkenalkan kepada tiga tokoh utama dari “Parkir”; seorang supir tua (Dorman Borisman) dan sepasang kekasih (Natasha Widjaja dan Sunny Soon). Si sopir tampak baru saja bangun dari tidur lelapnya di mobil milik majikannya seraya menunggu sang majikan yang tak kunjung datang. Kemunculan sepasang kekasih yang ribut-ribut kecil lantaran si cowok lupa memarkir mobilnya menaruh perhatian si sopir. Si cowok pun memutuskan mencari-cari keberadaan mobilnya, sedangkan si cewek menunggu di dekat mobil majikan si supir berada. Berbasa-basi, si sopir menanyakan apa yang tengah terjadi di antara mereka berdua. Terlibat percakapan singkat, si sopir tersebut lantas menawarkan bantuan untuk membantu si cewek menemukan mobil yang “menghilang secara misterius” tersebut. Sementara itu, si cowok malah justru tersesat entah kemana.

Walau beranjak dari ide yang sebetulnya teramat sederhana, “Parkir” sukses membetot perhatian akan tuturan penceritaannya yang mengikat. Anda mungkin akan bertanya-tanya, “Di mana sesungguhnya mobil dari pasangan tersebut diparkir?” Pada awalnya, rasa penasaran itulah yang menjadi landasan utama ketertarikan. Tapi, ketika menit demi menit berlalu, memasuki percakapan canggung (tapi terasa sedikit pula kehangatan) antara si cewek dan si sopir tua, penonton mengetahui bahwa keberadaan mobil sesungguhnya bukanlah yang menjadi kupasan inti. Film justru sebetulnya menitikberatkan kepada kondisi dari karakternya itu sendiri. Apakah bisa ini dijadikan semacam studi karakter? Boleh saja, meski mungkin saya tidak akan melihatnya hingga sejauh itu. Tapi si pembuat film seolah ingin menyingkap bagaimana reaksi-reaksi yang timbul dari sejumlah orang kala menyikapi suatu permasalahan. Dalam hal ini, lupa lokasi parkir.

Oleh karena itu dihadirkanlah seorang laki-laki, seorang perempuan, dan seorang laki-laki tua yang telah banyak makan asam garam kehidupan sebagai percontohan. Entah mengakui atau tidak, langkah yang mereka tempuh di “Parkir” ini merefleksikan apa yang terjadi di sekitar – atau setidaknya itu yang kerap dilihat oleh si pembuat film. Si perempuan kesal ampun-ampunan, mendahulukan emosi, dan meminta kekasihnya tersebut untuk mencari mobilnya sendiri, seolah kesalahan sepenuhnya ditanggung oleh si laki-laki (dan karena dia perempuan, maka dia merasa sewajarnya dipersilakan untuk beristirahat). Lalu, si laki-laki mencari kesana kemari tiada hasil tanpa pernah sekalipun berusaha. Apakah ini pertanda adanya kegengsian, takut dianggap gagal menjalani kodratnya sebagai seorang laki-laki? Bisa jadi. Sementara itu, si laki-laki tua menyikapinya secara santai dan malah berujung pada temuan sekaligus pengungkapan rahasia bahwa kesalahan tidak sepenuhnya berada pada pihak laki-laki (ya, kunci mobil!). Sebuah sentilan (sekaligus gambaran nyata) yang tepat sasaran dari Jason Iskandar, menjadikan “Parkir” nakal sekaligus menarik.

Ingin menonton film “Parkir” di Kineria? Silakan kunjungi tautan ini.