12 Jul

Ulasan Film: “Dunia Yang Lengang”

Di era ketika ponsel cerdas telah menjadi kebutuhan primer bagi pihak-pihak tertentu, dan jejaring sosial menjadi semacam candu yang tak bisa lagi dipisahkan dari keseharian, maka semakin mudah pula bagi masyarakat untuk mengutarakan segala unek-unek yang berkeliaran di pikiran. Kebebasan berpendapat sepenuhnya terjamin, walau masih ada pula yang mempersoalkannya, terlebih saat kepentingannya turut terusik – ini seringkali bergesekan dengan dunia politik. Kemewahan ini bisa jadi tidak didapatkan bila penguasa membelenggu kuat mulut-mulut yang aktif melancarkan kritik dan opini terhadap pemerintah yang tidak sehat. Sebuah masa yang suram bagi media (pula awaknya) serta sejumlah aktivis yang pemikiran kritisnya dikekang oleh aturan-aturan tak manusiawi (yang katanya) demi menjaga stabilitas negara.

Lucunya, meski masyarakat telah dipersilakan untuk melepas pemikiran-pemikirannya dewasa ini, selama itu bertanggung jawab tentunya, sebuah jejaring sosial anyar bernama Twitter malah justru membatasi penggunanya dalam menyampaikan serangkaian ide dan gagasan hanya dengan 140 karakter. Tidak lebih, boleh kurang. Jika pengguna melanggar ketentuan yang telah disepakati ini secara nekat, konsekuensi yang harus diterima adalah tulisan (istilah yang digunakan di situs ini adalah “kicauan”) yang telah susah payah Anda rangkai tidak akan ter-publish. Kalaupun bisa – menggunakan aplikasi tertentu pengguna dapat sesuka hati menulis tanpa dibatasi karakter – pengguna lain akan kesulitan melihat pesan yang ingin Anda utarakan secara utuh. Rangkaian kata hanya jadi sebatas potongan-potongan. Satu-satunya solusi terbaik memanfaatkan jejaring sosial ini adalah patuh terhadap peraturan yang telah ditetapkan oleh mereka: Kicauan tidak melampaui batasan maksimal 140 karakter. Sesederhana itu.

Tetapi menjadi tidak sederhana saat ketetapan jumlah karakter maksimal dari Twitter ini dimanfaatkan oleh pemerintah untuk membatasi masyarakat dalam menyuarakan pendapat. Era Orde Baru yang telah usai bertahun-tahun lalu mengalami pengulangan di masa mendatang, atau setidaknya itulah yang tampak dalam sebuah film pendek berjudul “Dunia Yang Lengang” arahan Deli Luhukay. Entah ini Indonesia atau sebuah negara antah berantah memang tidak bisa diketahui secara pasti, karena informasi tersebut (entah sengaja atau tidak) disembunyikan oleh si pembuat film dari penonton. Yang bisa kita lihat, pemerintah merepresi rakyatnya sedemikian rupa dengan memberlakukan aturan jumlah kata yang boleh dipergunakan setiap harinya. Bisa jadi agar tak banyak kata-kata mubazir yang meluncur dari mulut manusia yang kerap kali khilaf – dan kritis, tentu saja. Ketika Twitter masih lebih murah hati memberi 140 karakter per kicauan, maka pemerintah di negeri ajaib ini hanya membolehkan setiap warganya berbincang sebanyak 130 kata per harinya. Sungguh menyiksa, bukan?

Bagi Jesse (Jesse Rezky), upaya para petinggi di pemerintahan untuk mengontrol rakyat secara efisien yang telah berlangsung sepanjang dua generasi ini tidak dianggapnya sebagai sebuah siksaan. Malah, menurutnya, 130 kata per hari yang disediakan sudah mencukupi kebutuhannya untuk berinteraksi dengan manusia lain. Akan tetapi, tentu hal ini tidak selamanya akan berjalan sesuai dengan rencana, bukan? Seringkali kejutan-kejutan datang menghampiri (entah diharapkan atau tidak sama sekali) yang kerap mengobrak-abrik rancangan kegiatan dalam sehari yang bisa jadi telah terorganisir secara rapi. Itulah yang menimpa Jesse. Hari-hari sempurnanya mendadak runtuh saat salah seorang bawahannya di kantor gagal menuntaskan pekerjaan tepat dengan waktunya dan lantas memicu luapan emosi. Ini berarti, penggunaan karakter lebih banyak dari hari biasanya sementara hari masih berjalan panjang, dan Jesse pun tak tahu apa yang akan menantinya di ujung hari.

Bayangkan ketika apa yang terjadi di “Dunia Yang Lengang” ini betul-betul diaplikasikan ke dunia nyata. Mustahil ada kesenangan hidup yang dapat Anda rasakan. Sebagai pengganti, kemonotonan adalah sahabat karib sekaligus makanan pokok yang mau tidak mau harus diterima secara legowo oleh masyarakat. Tidak ada pilihan lain. Manusia pun dituntut untuk memanfaatkan penggunaan kata secara efisien atau kebisuan akan menghantui, mengancam keberadaan pesan-pesan penting yang mungkin masih berjeje-jejer untuk disampaikan. Dengan demikian, kebebasan untuk bersuara pun hanya menjadi sekadar bagian dari mimpi di siang bolong. Menyeramkan. Kondisi memprihatinkan semacam ini – yang masih menggelayuti beberapa negara – lantas diterjemahkan oleh Deli Luhukay ke dalam bahasa gambar sarat metafora mengenai cara penekanan yang dilakukan oleh pemerintah yang kentara sekali terinspirasi dari keberadaan Twitter.

“Dunia Yang Lengang” pun betul-betul lengang. Selain Jesse, tak banyak pemain lain menghiasi layar kecuali rekan-rekan kerjanya. Ketika berinteraksi atau ngobrol-ngobrol santai adalah bentuk pemborosan, maka tentu keberadaan pemain tidak dibutuhkan karena toh pada akhirnya manusia di dalam film lebih sering sendiri. Begitu pula dengan kesunyian serta suasananya yang cenderung monoton begitu-begitu saja. Mungkin akan menyiksa bagi sebagian penonton, tapi ini adalah penggambaran paling masuk akal yang bisa dilakukan oleh si pembuat film.

Dunia menjadi sunyi karena tiada suara-suara berisik menggunjingkan orang lain (atau pekerjaan), koar-koar demonstrasi, lantunan nyanyian yang merdu, atau sekadar kehangatan suara orang terkasih membicarakan hari panjang melelahkan. Yang bisa dilakukan oleh Jesse pun hanya melakoni rutinitasnya sehari-hari dan merokok. Tidak lebih. Dengan minimnya suara, apa lagi yang bisa dilakukan olehnya? Hampir tidak ada. Itulah mengapa penonton pun tidak diberikan gejolak-gejolak emosi di dalamnya karena ya, dunia tanpa suara memang seharusnya terasa begitu sepi, datar, dan menjemukan.

Ingin menonton film “Dunia yang Lengang” di Kineria? Silakan kunjungi tautan ini.