14 Jul

Ulasan Film “Lewat Sepertiga Malam”

Dewasa ini, agama kerap dimanfaatkan sebagai tameng oleh segelontor pihak. Disalahgunakan untuk melegalkan tindakan-tindakan yang (bahkan) bertentangan dengan nilai-nilai agama yang dianutnya. Tidak sekali dua kali ini terjadi, bahkan tampaknya malah telah membudaya di berbagai penjuru dunia. Melakukan pembenaran atas serangan sarat kekejian, kebencian, dan tanpa welas asih sedikit pun dengan mengatasnamakan Tuhan dan Rasul sebagai sang pemberi perintah. Sebuah fenomena nyata yang kian menggeliat dan menjadi-jadi tanpa terkendali dalam satu kuartal terakhir di 2014 setelah pesta (yang katanya sih bernama) demokrasi memercikkan gejolak politik gila-gilaan di tanah air, belum lagi adanya pembantaian memilukan di Palestina nun jauh di sana. Dendam bercampur lenyapnya akal sehat (pula welas kasih) yang telah tertimbun oleh ambisi-ambisi memantik kebutaan mata hati dan mematikan kebajikan yang telah diserukan berkali-kali oleh kitab suci. Menyedihkan.

Pilunya lagi, penggunaan agama sebagai penutup kebobrokan moral ini tidak saja diaplikasikan oleh para penggedhe-penggedhe maupun dunia perpolitikan semata, tetapi turut turun ke lapangan mengunjungi wong-wong kecil yang (mungkin saja) tidak terlampau peduli soal kisruh rebutan jabatan. Berapa kali sih kita melihat radikalisme atau perilaku barbar tanpa pemicu rasional menghiasi halaman terdepan surat kabar maupun pemberitaan di televisi nasional disebabkan oleh salah satu kelompok agama (yang ngakunya relijius)? Berulang kali. Bisa-bisanya seolah tanpa dosa, malah merasa bagaikan malaikat yang memperjuangkan keselamatan agamanya mengikuti jalan Tuhan. Mungkin daya pikir mereka terjebak di ribuan tahun silam ketika peperangan memberangus kemunkaran bersifat wajib dan tidak menyadari bahwa zaman telah mengalami perubahan signifikan sehingga ayat-ayat dalam kitab suci tidak lagi bisa serta merta ditelan bulat-bulat tanpa melalui pemahaman yang mumpuni.

Jika ingin semakin turun ke dalam – memasuki lingkungan normal di sekitar masyarakat – perkara ini pun masih juga membayangi. Bukan lagi soal menegakkan agama hingga memberantas apa yang dianggapnya melenceng menggunakan kekerasan, melainkan soal menyembunyikan ‘wajah asli’ dengan bersembunyi di balik agama, atau katakanlah atribut yang berkenaan dengan agama. Yang paling populer saat ini adalah hijab. Dari awalnya sebatas dikenakan oleh perempuan muslimah untuk menutupi aurat, dalam beberapa tahun terakhir hijab melesat tinggi menjadi salah satu tren berbusana yang digandrungi oleh kaum hawa khususnya di kalangan remaja belia. Hanya sekenanya memakai hijab, untuk sekadar ikut-ikutan tren agar tidak dianggap ketinggalan zaman, tanpa pernah mengetahui apa fungsi sesungguhnya. Tanpa didasari niatan tulus, hijab pun dimanfaatkan sekadar sebagai penanda bahwa dia beragama Islam. Tidak lebih.

Lewat-Sepertiga-Malam-posterTidak mengherankan jika lantas banyak dijumpai perempuan berhijab dengan kelakuan dan tindakan yang jauh dari koridor Islami. Ironisnya, ini tidak saja menghinggapi masyarakat awam yang (mungkin) tidak banyak mengetahui soal hukum agama, tetapi juga mereka yang menghabiskan waktunya untuk menimba ilmu lewat pesantren. Paradigma yang terbentuk di masyarakat (dan seringnya salah kaprah) adalah orang-orang yang nyantri – ditambah memiliki pengetahuan agama mencukupi – dianggap lebih tinggi derajatnya dan nyaris mustahil berbuat khilaf apalagi yang bertentangan dengan syariat agama. Betulkah? Syarat dan ketentuan berlaku, tentu saja. Tidak sepenuhnya bisa dibenarkan, tetapi juga tidak bisa pula disalahkan seutuhnya. Kembali kepada pribadi masing-masing. Satu hal yang jelas, tumbuh berkembang di lingkungan pesantren tidak lantas membuat seseorang suci. Tidak.

Itulah yang coba digambarkan oleh Orizon Astonia dalam ‘Lewat Sepertiga Malam’. Mengikuti tradisi yang telah dilakukan oleh Teddy Soeriaatmadja yang mengulik sisi gelap dari orang-orang relijius lewat ‘Lovely Man’ dan ‘Something in the Way’, Orizon pun menjabarkan perilaku-perilaku tak senonoh dari tiga santriwati yang lantas berbenturan dengan judulnya itu sendiri. Ketika lewat sepertiga malam dianggap sebagai waktu paling mustajab untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa dimanfaatkan untuk memenuhi hasrat duniawi, bertindak maksiat sesuka hati. Mengendap-endap meninggalkan lingkungan pesantren pada tengah malam, tiga santriwati ini lantas meluncur jauh ke sebuah pos ronda dan melakukan hal-hal ini; menanggalkan hijab untuk digantikan dengan pakaian serba minim, berasyik masyuk layaknya pasangan suami istri, menenggak minuman beralkohol dan merokok. Bahkan, salah seorang dari mereka yang tampaknya alim pun tidak jauh berbeda dengan melampiaskan pikiran-pikiran ngeresnya soal orang-orang bersetubuh lewat medium gambar.

Pesantren dengan gaya hidupnya yang konservatif kerap dianggap sebagai pemicu timbulnya jiwa-jiwa yang rusak oleh sejumlah pembuat film. Entah itu melahirkan teroris maupun perempuan-perempuan (yang diam-diam) nakal. ‘Lewat Sepertiga Malam’ bergabung menjadi salah satunya, walau pesan yang diutarakannya tentu tidak bermaksud mengkritisi pendidikan di pesantren. Apa yang ingin dikupasnya cenderung lebih kepada paparan bahwa sejatinya sifat alamiah dari manusia susah untuk dibendung. Tidak peduli serelijius apa lembaga pendidikan yang menaungi, selama tidak ada upaya dari diri untuk berubah maka akan terasa sia-sia. Bukankah demikian? Rasa-rasanya, kenakalan yang dilakukan oleh ketiga santriwati itu memang bawaan dari sononya, bukan bentukan atas kerasnya hidup di pesantren – walau bisa juga memberikan kontribusi. Penggambaran yang dilakukan oleh Orizon Astonia dalam ‘Lewat Sepertiga Malam’ ini tentunya menarik meski perbincangannya tidak memberikan sesuatu yang baru untuk penonton.