09 Jun

Ulasan Film: “Cinta Seharusnya”

Bagaimanakah perwujudan cinta yang seharusnya hadir mengelilingi orang-orang yang tengah kasmaran? Tidak ada formula baku yang memastikannya. Setiap individu bisa saja memiliki definisinya sendiri untuk menerjemahkan bagaimana cinta yang seharusnya mereka rasakan.

Di dalam film pendek arahan Andry Ganda yang berjudul “Cinta Seharusnya”, seperti inilah cinta yang seharusnya: mengingat orang terkasih bisa membuat tersenyum dan merasa bahagia, tak ada kebohongan maupun kemunafikan – hanya kejujuran, dan merasa nyaman di dekat orang terkasih tanpa ada kecurigaan sedikitpun.

Apakah Anda pun demikian? Menilik betapa rumusan yang diandaikan ada kala tengah merajut hubungan asmara ini cenderung bersifat umum, maka rasa-rasanya Anda pun menyepakati dan mendambakan kehidupan percintaan yang ideal semacam ini.

Tapi apakah ini semua benar-benar terwujud dalam “Cinta Seharusnya” atau sekadar wacana yang melayang di angan-angan? Hanya dengan berpatokan kepada judul, isi film ini seharusnya bisa dengan mudah tertebak, dan sekaligus menjawab pertanyaan sebelumnya: tidak. Apa yang dikuliti oleh sang pembuat film di sini adalah seputar perempuan remaja bernama Hanny (Liu Janice Puspasari) yang mengandai-andai jalinan asmara yang seharusnya dilaluinya. Ya, apa yang hinggap pada Hanny memang tidak sesuai dengan pengharapan. Cinta yang seharusnya terasa manis, malah justru terasa pahit. Cinta yang seharusnya membuatnya berbahagia, malah justru membuatnya bermuram durja. Cinta yang seharusnya membuatnya aman dan nyaman, malah justru membuatnya merasa senantiasa gelisah. Apa yang salah dengannya atau pasangannya, Tom (Albert Halim), sehingga segalanya tidak berlangsung seperti yang diimpikannya?

Titik kesalahan yang menjadi asal muasal dari serangkaian mimpi buruk yang dihadapi oleh Hanny adalah ketidakmampuannya untuk berkata “tidak” dan kepercayaan yang berlebihan terhadap Tom. Menyerahkan tubuhnya tanpa memikirkan efek jangka panjang hanya untuk kepuasan sesaat nyatanya membawa dampak yang tidak main-main, baik terhadap sisi psikologis Hanny, maupun kehidupan percintaannya. Hal ini lantas membawa penonton kepada sebuah pertanyaan, “Apakah untuk mengungkapkan rasa cinta yang sangat mendalam pada kekasih mutlak diwujudkan dengan berhubungan badan? Apakah ini adalah perwujudan dari cinta yang seharusnya?” Sebuah pertanyaan yang (sejatinya) klise, tapi tindakan ini (seringkali) masih memerangkap pasangan muda-mudi yang tengah mabuk kepayang oleh cinta, sehingga merasa jalan satu-satunya untuk mengutarakan isi hati adalah dengan berasyik masyuk.

Tapi, apakah ini cara seharusnya mengungkapkan cinta sejati atau hanya sebatas nafsu yang ingin memanfaatkan (apa yang disebut) cinta sebagai kedok? Inilah yang membuat “Cinta Seharusnya” terasa menarik. Memang betul apa yang dikatakan oleh seorang kawan, formula asmara remaja adalah rumus jualan pembuat film yang tak pernah basi. Walau yang dicelotehkan oleh Andry Ganda berdasarkan tatanan skrip yang dibangun oleh Liu Janice Puspasari – yang juga merangkap sebagai pemain dan produser – bukan lagi sesuatu yang terbilang inovatif, tetapi cara tuturnya yang mengalun lancar disertai topik pembahasan yang mengikat menjadikan “Cinta Seharusnya” tetap terasa nikmat untuk disantap. Terlebih, satu hal yang mencuri perhatian saya semasa menyaksikan film ini adalah lantunan ilustrasi musik gubahan Giovani Anggasta Setiawan yang memberikan nyawa lebih kepada sejumlah adegan yang menjadikannya terasa lebih hidup.

Ya, melodi syahdu yang diberikan oleh Giovani memberi semburat nada melankolis terhadap “Cinta Seharusnya” yang memang membutuhkannya guna menghindari kejenuhan yang berpotensi menghadang penonton. Alunan musik yang mengharu biru (pula menyayat-nyayat) ini turut membantu penonton merasakan gejolak emosi yang melingkupi Hanny, dari keceriaan yang membuncah karena kehadiran seorang terkasih yang dianggapnya memahami bagaimana seharusnya memperlakukannya, hingga suasana yang senantiasa depresif lantaran merasa kepercayaan yang telah diberikannya dengan sepenuh hati kemudian dikhianati tanpa ampun. Hati serasa teriris tatkala musik bersatu dengan narasi pahit dari Liu Janice Puspasari yang merujuk pada rumusan cinta yang seharusnya yang telah dipaparkan di paragraf awal.

Dengan tempo penceritaan yang mengalun pelan cenderung lambat, “Cinta Seharusnya” memang bergantung sepenuhnya kepada kekuatan naskah, musik latar, dan performa dari para pemainnya untuk menyebar semerbak drama romansa yang manis tetapi juga pahit. Untungnya, Andry Ganda mendapat sokongan tim yang solid sehingga jebakan rasa jenuh yang telah mengintai kuat semenjak menit pertama berhasil dihindari hingga film menyudahi gelaran kisahnya di menit ke-12. Intinya, semua perpaduan unsurnya berhasil menggugah emosi penonton.

Memang, ditilik dari segi gagasan maupun presentasi, “Cinta Seharusnya” bukanlah sebuah film yang menawarkan kecemerlangan dan kesegaran sehingga membuatnya layak dikultuskan. Akan tetapi, menilik dari tujuannya dihidangkan sebagai sebuah film drama romantis yang deretan konfliknya diharapkan mampu mempermainkan emosi siapapun yang menyaksikannya – dan memberi semacam pencerahan terhadap generasi muda yang tengah dimabuk asmara namun masih meraba-raba mengenai arti cinta yang sesungguhnya (bahwa cinta itu bukan selalu tentang seks!) –, maka bisa dibilang “Cinta Seharusnya” telah mencapai sasaran yang dituju.

Ingin menonton film “Cinta Seharusnya” di Kineria? Silakan kunjungi tautan ini.