26 May

Trivia Film: “Nagasari”

Apa yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswa tatkala ingin mengutarakan gagasan, keluh kesah, dan kekalutan mereka? Menggelar orasi, merangkai kata-kata berbentuk surat cinta, atau malah justru membuat film? Bagi dua mahasiswa asal Indonesia yang menimba ilmu di Vancouver, Kanada, Christopher Hanno dan Eduardus Pradipto, cara yang dianggap paling jitu adalah pilihan terakhir. Memanfaatkan medium film, keduanya melahirkan “Nagasari”, sebuah film fiksi pendek yang berceloteh secara lembut, hangat, sekaligus pahit mengenai retaknya sebuah keluarga mungil sepeninggal salah satu anggota keluarga.

Hal utama yang menjadi keunikan dari Film Daerah Terpilih versi Piala Maya 2013 ini adalah adanya balutan budaya Jawa dalam tatanan penceritaan yang berlatar di kota modern yang hiruk pikuk. Ingin tahu lebih mendalam soal proses kreatif dari “Nagasari”? Inilah sepuluh trivia mengenai film “Nagasari”.

Nagasari1. Budaya Indonesia

Berkaca kepada Jepang yang berhasil menghadirkan budayanya yang khas ke dalam film-film nasional mereka lewat kemasan menarik yang modern sehingga mencuri perhatian dari berbagai penjuru dunia, Christopher Hanno dan Eduardus Pradipto, sutradara dari “Nagasari”, pun terpicu untuk melakukan hal yang serupa kepada kebudayaan Indonesia. Terlebih, sebagai mahasiswa Indonesia yang kerap terlibat dalam acara-acara kebudayaan yang diselenggarakan oleh Konsulat Indonesia di Kanada, Hanno memiliki semacam tanggung jawab di pundaknya untuk mengenalkan kebudayaan dan jati diri dari tanah kelahirannya ke publik internasional, khususnya Kanada. Melalui “Nagasari”, Hanno berkesempatan untuk mewujudkan salah satu mimpinya ini.

2. Proses Syuting

“Nagasari” melalui proses pengambilan gambar selama kurang lebih tiga bulan. Kesibukan dalam menjalani rutinitas sehari-hari membuat para pemain dan kru tidak memiliki pilihan lain selain melakukan syuting pada hari Sabtu dan Minggu. Inilah faktor utama yang menjadi penyebab panjangnya masa produksi.

3. Tari Bedhaya dan Nagasari

Ada cerita di balik terpilihnya tari Bedhaya dan nagasari sebagai unsur penting penggerak cerita. Hanno tidak memutuskan ini sendirian, melainkan mendapat saran dan panduan dari konsultan serta rekan sesama kru. Ide memasukkan tari Bedhaya dicetuskan oleh seorang penari yang turut terlibat di “Nagasari” sebagai konsultan, koreografer, dan penari lantaran dianggap lekat dengan kebudayaan Jawa.

Sementara itu, nagasari terpilih sebagai menu utama dalam filmnya setelah Hanno berdiskusi dengan Pinky Hapsari, pemain sekaligus penulis naskahnya, yang asli Jawa. “Apa makanan yang ingin kita angkat?” Hanno melayangkan pertanyaan kepada Pinky, suatu hari. Seraya bernostalgia dengan kenangan masa kecil, Pinky menjatuhkan pilihan kepada nagasari yang merupakan makanan dari masa kecil yang paling dirindukannya.

Menganggap bahwa kue yang berisi pisang ini memiliki nama yang keren, Hanno pun menyepakati usulan Pinky. Kehadiran nagasari dibuat sebagai simbol kerinduan akan kampung halaman bagi keluarga kecil yang hadir dalam film ini. Dalam sebuah acara pemutaran filmnya di Kanada, nagasari dipersiapkan secara gratis sebagai cemilan untuk para penonton.

4. Soundtrack

Apakah Anda bertanya-tanya siapa orang di balik latar musik melodius dan gelaran lagu yang mengiringi sejumlah adegan dalam “Nagasari”? Perkenalkan, Andre Sidharta dan Eduardus Pradipto. Andre yang mengambil jurusan Kehutanan sebagai program studinya ini dikenal sebagai pribadi yang menggemari film, pemerhati score film, dan jago bermain piano oleh kawan-kawannya. Dia yang bertanggung jawab untuk menggubah seluruh lagu asli dalam film, kecuali untuk lagu tarian. Sementara Eduardus Pradipto, atau akrab disapa Dito, bertugas membentuk latar musiknya. Kepekaannya terhadap nada sangat membantu Andre dan Hanno dalam merumuskan latar musik yang tepat untuk “Nagasari”.

5. Kru

Kru yang tergabung di dalam pembuatan “Nagasari” tidak lain adalah teman-teman dari Hanno dan Dito yang telah akrab dengan mereka semenjak tinggal di Vancouver. Mereka kerap terlibat dalam sejumlah acara yang digelar di sana, dan hubungan pertemanan sekaligus profesional yang terjalin diantara mereka kian erat saat Dito mengajak serta beberapa temannya dalam pembuatan video. Ketika hendak memasuki proses produksi, tidak ada kesulitan berarti bagi Hanno dan Dito dalam menentukan barisan kru yang akan terlibat. Bahkan, mereka menunjukkan antusiasme yang tinggi ketika dinyatakan resmi direkrut.

6. Lokasi Syuting

Seluruh proses pengambilan gambar film ini berlangsung di Kanada. Lokasi yang dipergunakan sebagai latar utama di “Nagasari”, yakni rumah mungil yang ditempati oleh sang ayah dan kedua putrinya, merupakan rumah milik Dito. Salah satu bagian di dalam rumah tersebut juga disulap sebagai kafe lantaran syuting di kafe betulan dianggap kurang memungkinkan. Yang berjasa dalam menyulap ruangan rumah menjadi kafe adalah Roy Rumantir, pemeran Ayah di film ini. Karena memiliki latar belakang pekerjaan di bidang konstruksi, Roy tidak mengalami kesulitan berarti dalam menjalankan tugasnya ini.

7. Bujet Produksi

Sebagai sebuah film pendek yang diciptakan dengan semangat independen, maka bujet produksi yang dihabiskan oleh “Nagasari” pun relatif rendah. Meski demikian, Hanno mengakui bahwa tahap penghimpunan dana ini butuh perjuangan keras. Diperkirakan, butuh modal sebesar 15.000 dolar agar proyek dapat berlangsung mulus dan lancar. Namun pada akhirnya, modal yang berhasil dikumpulkan jauh lebih sedikit dari perkiraan.

Sebagian besar uang ini dianggarkan untuk memenuhi kebutuhan pembuatan set, penyediaan properti, dan penyewaan ruang pemutaran film. Sementara itu, para kru bekerja dengan sukarela, dan para pemain baru mendapat bayaran setelah filmnya mendapat untung dari pemutaran.

8. Pemilihan Pemeran

Para pemain film di “Nagasari” didapat berdasarkan open casting, rekomendasi, dan faktor kedekatan. Open casting yang beritanya disebar dari mulut ke mulut membuahkan Dias Herlambang yang dipilih untuk memerankan Nala. Faktor kedekatan memberikan peran bagi Pinky Hapsari, yang juga merangkap sebagai penulis naskah, dan Roy Rumantir. Sementara rekomendasi yang diberikan oleh ibu dari Dito membawa karakter Ibu yang gemar membuat nagasari datang ke pelukan Wiwied Conforti. Kebetulan, selain cocok dengan peran yang ditawarkan, Bu Wiwied pun memang benar-benar jago masak. Nagasari yang terhidang di film — dan juga pemutaran film — adalah hasil kreasinya.

9. Komunitas Indonesia

Salah satu yang membanggakan bagi Hanno adalah “Nagasari” mendapatkan dukungan dari komunitas Indonesia yang berbasis di Kanada dan Konsulat Indonesia. Bahkan, Konsulat Indonesia rela merogoh kocek untuk turut membiayai pembuatan film ini meski jumlahnya terbilang tidak terlalu besar. Sineas Indonesia ternama, Riri Riza, pun memberi dukungan dalam bentuk kritik dan saran setelah menyaksikan trailer dari “Nagasari”.

10. Pembangunan Karakter

Mengingat dirinya belum memiliki pengalaman yang memadai untuk penyutradaraan secara teknis dalam hal character building, Hanno pun meminta bantuan kepada temannya yang terbiasa membuat pementasan drama. Dari sang teman, Hanno mendapatkan informasi serta pelajaran bahwa sebelum proses syuting dimulai dibutuhkan adanya sebuah sesi khusus untuk pendalaman karakter. Berbagai trik dan ilmu dicurinya untuk kemudian diterapkannya saat menggarap “Nagasari”.

Ingin menonton film “Nagasari” di Kineria? Silakan kunjungi tautan ini.