26 May

Ulasan Film: “Nagasari”

Ada satu ucapan dari kerabat yang melekat erat di ingatan, “Sebuah keluarga akan menemui salah satu ujian terbesarnya tatkala tidak ada lagi yang memegang peranan sebagai ibu.” Ini ada benarnya. Sebagai seseorang yang kerap menjadi penjembatan antara ayah dan anak-anak, absennya sosok ibu berdampak pada timpangnya tatanan struktural dalam keluarga. Tidak ada lagi sosok yang memegang peranan penting sebagai pemersatu keluarga, memberikan kehangatan, serta cinta kasih. Tapi lebih dari itu, ada kekosongan yang akan sulit tergantikan — dan diisi oleh siapapun — dalam hati setiap individu yang kehilangan. Jelas butuh waktu yang tidak sebentar dan juga tidak mudah bagi anggota yang ditinggalkan untuk bangkit, merapikan, dan melanjutkan kehidupan.

Itulah perkara yang dihadapi oleh Nala (Dias Herlambang), Kirana (Pinky Hapsari), dan Ayah (Roy Rumantir) dalam “Nagasari”. Menjalani kehidupan sebagai keluarga kecil berdarah Indonesia yang menetap di Vancouver, Kanada, kebahagiaan seolah menaungi hari-hari mereka. Ini terpancar pada adegan pembuka yang memperlihatkan setiap anggota keluarga, termasuk Ibu (Wiwied Conforti), tengah bercanda mesra, menggoda si bungsu yang sepertinya memiliki kekasih baru. Sepiring kue khas Jawa, nagasari, menjadi saksi bisu keriuhan ruang makan keluarga ini. Tak berapa lama, penonton diarahkan ke ruang keluarga dengan nuansa yang beralih rupa guna menampilkan romantika Ibu dan Ayah di hari tua. Keduanya mengenang perjumpaan pertama di masa muda dengan menyaksikan rekaman tari Bedhaya di televisi.Nagasari-2

Adegan ini menampilkan ketenangan yang muncul sebelum badai tiba. Tak berapa lama, suasana yang dipenuhi keintiman tersebut sontak berubah warna dengan pemantik utama meninggalnya sang ibu. Kebahagiaan pun seolah tereduksi sepenuhnya, dan rumah mungil yang sebelumnya terang benderang berubah menjadi suwung (sunyi senyap), kelabu, dan didominasi pencahayaan remang-remang. Kepedihan kian ditambah oleh sang ayah yang didera depresi berkepanjangan sehingga membuatnya sulit untuk diajak berkomunikasi. Secercah harapan mulai menampakkan diri saat Nala kembali pulang setelah lama meninggalkan rumah. Tak ingin keluarganya semakin tercerai-berai, Nala dibantu oleh sang kakak, Kirana, pun berinisiatif untuk membantu sang ayah menemukan kembali semangat hidupnya.

“Nagasari” memberikan contoh kepada penonton bagaimana dampak hilangnya sosok ibu terhadap suatu keluarga. Setiap orang memiliki caranya masing-masing menyikapi rasa kehilangan ini; entah dengan menutup diri, menghancurkan diri, atau justru saling menguatkan satu sama lain bersama anggota keluarga lain. Ketika saya berada dalam posisi yang dilingkupi segala kepedihan ini, pilihan saya tetapkan kepada opsi ketiga. Memberi dukungan moral terhadap sesama akan memberi efek jangka panjang yang lebih positif, tanpa perlu adanya uraian air mata yang berlimpah ruah dan pertengkaran tanpa sebab yang tiada habisnya dari hari ke hari. Proses untuk melanjutkan hidup pun jauh lebih mudah ditempuh dengan beroleh semangat dari orang terdekat.

Duo sutradaranya, Christopher Hanno dan Eduardus Pradipto, tidak membawa kisahnya ke arah yang saya tempuh dalam mengobati duka lara. Di “Nagasari”, para protagonis menentukan opsi pertama sebagai pilihan terbaik. Masing-masing menjauhkan diri sebagai upaya untuk mencari ketenangan dan kedamaian setelah diterpa badai maha besar. Berhasilkah? Sama sekali tidak. Kehangatan yang mendekap adegan pembuka tak lagi tampak saat Nala kembali memasuki rumah setelah perjalanan panjang yang ditempuhnya. Hanya ada rasa dingin yang menusuk hingga tulang … dan kehampaan. Suatu perasaan yang seharusnya telah sirna (setidaknya) setahun setelah badai itu masih menghantui. Ayah yang seharusnya mengambil alih peran Ibu malah memperburuk situasi, begitu pula dengan Kirana dan Nala. Tidak ada yang bisa disalahkan karena masing-masing memiliki andil atas segala kekacauan ini.

Situasi yang nyaris tak pernah menemui titik terangnya ini berlangsung di hampir sepanjang durasi film yang merentang hingga 49 menit. Pertengkaran dan tumpahan air mata menjadi pemandangan yang wajar di sini. Walau terkesan berpanjang-panjang dalam menggulirkan konflik, film ini tetap mampu mempermainkan emosi penonton sedemikian rupa. Yang memiliki jasa besar dalam menghidupkan “Nagasari” adalah musik latar yang begitu melodius, menghentak, dan meresap dengan lembut ke sejumlah adegan. Selain itu, tangkapan gambar yang menabrakkan kota serba modern Vancouver dengan kebudayaan Jawa dalam bentuk tari Bedhaya dan kue nagasari pun tampak sedap dipandang meski porsinya kurang dieksplorasi, mengingat latar penceritaan dalam film sebagian besar dihabiskan di dalam rumah.

Performa para pemain dalam “Nagasari” pun terbilang tak mengecewakan. Sekalipun Dias Herlambang dan Wiwied Conforti masih tampak tak nyaman berlakon di depan layar, Pinky Hapsari mencuri perhatian. Menjelma sebagai tulang punggung keluarga, Pinky dengan mulus melakoni peran Kirana yang sekilas tampak tangguh namun sejatinya begitu rapuh. Momen terbaiknya terletak pada klimaks film ketika kelelahan Kirana mencapai titik akumulasi. Bersimpuh di depan Ayah, melontarkan segala kegusaran yang selama ini dipendam, tangisan Pinky tidak hanya berhasil meluluhkan hati sang Ayah tetapi juga penonton. Mungkin hanya penonton dengan hati paling keras yang tak meneteskan air mata (atau minimal trenyuh) menyaksikan penutup yang menggetarkan ini.

Ingin menonton film “Nagasari” di Kineria? Silakan kunjungi tautan ini.